Ketika Sekolah Menjadi Komunitas

Published by Admin on

Jean Vanier dalam buku Sehati Sejiwa dalam Satu Roh menyinggung perbedaan sekolah dengan komunitas. Jika seseorang ingin mengembangkan suatu bentuk spiritualitas tertentu atau untuk memperoleh pengetahuan tentang perkara-perkara Tuhan dan kemanusiaan bisa bergabung dengan sebuah sekolah. Namun, sekolah itu belum tentu komunitas. Sebuah sekolah akan menjadi suatu komunitas hanya bila orang-orang di dalamnya mulai peduli satu dengan yang lain dan saling mendukung pertumbuhan masing-masing.

Ada sebuah sekolah kejuruan Kristen yang sudah berdiri  sejak tahun 1969. Letaknya di pinggiran sebuah kota kecamatan, jaraknya dua puluh kilometer dari kota kabupaten. Saat sekolah itu berdiri jumlah siswanya tujuh belas orang. Jurusan atau kompetensi yang dimiliki adalah pemasaran dan akuntasi. Dari tahun ke tahun jumlah siswanya bertambah. Lima tahun setelah berdiri, sekolah itu memiliki siswa 102 orang. Jumlah siswa dari tahun ke tahun bertahan di kisaran seratus orang hingga tahun 2011. Setelah itu dari tahun ke tahun mengalami penurunan jumlah siswa.

Pada awal tahun ajaran 2023-2024 sekolah itu memiliki enam orang siswa. Kelas sepuluh dan sebelas masing-masing siswanya satu orang. Kelas dua belas siswanya empat orang. Didampingi tujuh orang guru. Yang membuat para guru tetap semangat melestarikan sekolah tersebut adalah kekeluargaan yang solid di antara mereka. Demikian kesaksian kepala sekolahnya yang adalah seorang ibu.

Para guru dan yayasan tetap berusaha mempertahankan sekolah Kristen yang sekarang jumlah siswanya sedikit itu. Pikiran yang mendasari penyelenggaraan dan upaya mempertahankan sekolah tersirat pada nama yayasannya, yakni Yayasan Perguruan Kristen.  Dengan sadar para pendiri yayasan dan perintis sekolah memilih kata ”perguruan” bukan ”pendidikan”,  mengingat yayasan ini ada karena peran yang sangat besar dari para  guru. Merekalah  yang merintis sekolah-sekolah Kristen, dengan keyakinan bekerja di sekolah Kristen adalah mengabdi di kebun anggur Tuhan. Yayasan berperan mengimbangi kiprah para guru dengan mendukung sekuat tenaga upaya para guru untuk  mempertahankan sekolah Kristen berapa pun muridnya.

Masih ada harapan bagi guru dan yayasan untuk mempertahankan sekolah Kristen walau siswanya sedikit.  Selama masih ada seseorang yang ingin bergabung dengan sekolah Kristen, itulah kesempatan untuk ikut menapaki jalan Tuhan dan menjadikan sekolah Kristen sebagai komunitas. Jalan Tuhan adalah belarasa, bukan persaingan. Tidak perlu bersaing untuk memperoleh kasih Tuhan. Kasih dianugerahkan secara cuma-cuma oleh Dia yang mengundang siapapun untuk berbelarasa.

Hidup yang berbelarasa adalah hidup yang bergerak ke bawah. Dalam masyarakat yang ukuran keberhasilannya adalah bergerak ke atas, bergerak ke bawah bukan hanya tidak popular, tetapi sering kali dinilai tidak bijaksana, tidak sehat, atau bahkan bodoh.

Siapa yang dengan bebas akan memilih pekerjaan yang gajinya rendah kalau ditawari pekerjaan dengan gaji tinggi? Siapa akan memilih menjadi miskin kalau orang dapat menjadi kaya? Siapa yang akan memilih tempat tersembunyi kalau ada tempat yang terkemuka?  Siapa yang akan memilih tinggal bersama dengan satu orang yang membutuhkan bantuan kalau ada begitu banyak orang yang sebenarnya perlu dibantu? Siapa akan memilih untuk menarik diri ke tempat yang sepi dan berdoa kalau ada begitu banyak permintaan mendesak yang harus ditanggapi?

Sekolah Kristen betul-betul menjadi komunitas kalau ia terbuka terhadap yang lain, kalau ia mau menerima kelemahan dan sederhana. Dan anggotanya selalu berkembang dalam cinta, belas kasih dan kerendahan hati. Setiap anggotanya dipanggil dengan tekun memperhatikan para saudara dalam komunitas, melayani setiap anggota dalam semua keunikan masing-masing daripada memedulikan komunitas sebagai keseluruhan. Komunitas tidak pernah boleh mendahului persoalan setiap anggotanya. Ia tercipta untuk anggota-anggotanya dan untuk pertumbuhan mereka.

Memang tidak ada komunitas ideal. Komunitas terdiri atas orang-orang dengan semua kekayaannya, tetapi juga dengan kelemahan dan kemiskinannya, terdiri dari orang-orang yang saling menerima dan mengampuni, yang menyakiti satu sama lain. Kerendahan hati dan kepercayaan merupakan dasar hidup komunitas, lebih daripada kesempurnaan dan kemurahan hati.

Dalam komunitas begitu penting memperhatikan nasihat rasul Paulus: ”Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dengan saling membantu” (Ef. 4:2).

Tyas Budi Legowo

Foto: Istimewa