Kisah Adam, Yesus, dan Kita

Published by Yoel M. Indrasmoro on

yesus-dicobai-di-padang-gurun

Kisah Adam adalah kisah semua manusia. Penulis kitab mencatat: ”TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya di Taman Eden untuk mengerjakan dan memelihara taman itu” (Kej. 2:15).

Perhatikanlah: catatan ini sejatinya kisah hidup semua manusia. Allahlah pemrakarsa! Dialah pengambil inisiatif pertama. Manusia tak berbuat apa-apa. Allah adalah subjek. Allah yang mengambil dan menempatkan manusia di taman itu.

Tujuan Penciptaan

Jelas di sini, Allah berdaulat. Adakah di antara kita yang pernah memberikan usulan kepada Allah agar dilahirkan dalam keluarga tertentu, dengan warna kulit tertentu. Tentu, tidak! Manusia sebagaimana Adam—manusia pertama—tak bisa berbuat apa-apa. Allah berdaulat.

Dan—sebagaimana manusia pertama—Allah menjadikan manusia bukan tanpa tujuan. Adam ditempatkan dalam taman Eden bukan untuk menjadi penganggur. Adam ditempatkan di Eden bukan untuk bertopang dagu. Adam ditempatkan di Eden bukan untuk menjadi penguasa. Allah menempatkan Adam di Eden untuk mengerjakan dan memelihara taman Eden. Artinya, Allah menjadikan Adam sebagai pekerja dan pemelihara!

Istilah pekerja dan pemelihara perlu digarisbawahi di sini karena manusia bukanlah pemilik bumi. Dia diciptakan bukan untuk menjadi pemilik, bukan pula untuk menguasai, tetapi untuk mengerjakan dan memelihara bumi. Mengapa? Hanya dengan cara itulah kehidupan manusia dapat berlangsung baik.

Karena itulah, kita perlu teliti melihat larangan Allah ini: ”Buah dari semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan dengan bebas, tetapi buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, jangan kaumakan, sebab pada hari engkau memakannya, engkau pasti mati.” (Kej. 2:16-17).

Larangan Allah ini tidak timbul dari kesewenang-wenangan Allah. Bukan pula muncul karena Allah takut disaingi. Bukan. Bukan itu maksud Allah. Namun, agar manusia hidup.

Jadi, sekali lagi, tak boleh kita terpancang pada frasa: ”jangan kaumakan”, namun baik bila kita memerhatikan kalimat selanjutnya: ”sebab pada hari engkau memakannya, engkau pasti mati”.

Persoalannya: manusia kadang lebih suka berfokus pada larangan Allah dan melupakan tujuan di balik larangan itu. Bukankah itu pula yang kerap kita rasakan saat masih kanak-kanak. Misalnya: saat orang tua melarang kita memegang pisau, kita kadang memahami larangan ini sebagai tindakan orang tua yang suka mengatur dan melupakan apa maksud di balik aturan itu.

Allah menciptakan manusia bukan tanpa tujuan. Allah menciptakan manusia supaya manusia hidup dalam persekutuan dengan Allah. Dan itu hanya dapat terjadi ketika manusia mengerjakan dan memelihara taman itu. Larangan Allah ini sejatinya merupakan wujud kesetiaan Allah.

Kisah Adam

Nah, persoalan muncul tatkala manusia ingin naik pangkat; melawan kodrat. Kodrat sebagai pekerja dan pemelihara tak lagi cukup baginya. Dia ingin menjadi penguasa. Dosa terjadi ketika manusia menjadi penguasa.

Hakikat dosa ialah pemberontakan kepada Allah! Manusia tak lagi menaati Allah. Pemberontakan inilah yang akhirnya membuat manusia merasa sah-sah saja menguasai orang lain, juga alam.

Itu terlihat jelas ketika manusia pertama ternyata tidak mau mengakui kesalahannya dan melemparkannya kepada orang lain. Dia lebih suka mencari kambing hitam ketimbang mengakui kesalahannya sendiri. Sesungguhnya inilah sisi negatif penguasa. Mereka lebih suka melemparkan kesalahan kepada orang lain ketimbang mengakui kesalahannya.

Inilah kisah Adam. Adam yang tak lagi menaati Allah. Paulus menegaskan: ”Sungguhpun demikian maut telah berkuasa dari zaman Adam sampai kepada zaman Musa juga atas mereka, yang tidak berbuat dosa dengan cara yang sama seperti yang telah dibuat oleh Adam, yang adalah gambaran Dia yang akan datang.” (Rm. 5:14).

Kisah Yesus

Dan kisah Adam merupakan kisah seluruh umat manusia. Manusia tak luput dari cobaan. Yesus pun demikian. Dan tiga cobaan itu sejatinya mengarah pada satu titik: cobaan menjadi penguasa. Mari kita telaah satu demi satu!

Cobaan pertama: keinginan untuk menguasai alam. Inti cobaan adalah pemuasan keinginan manusia untuk bebas dari hukum-hukum alam. Ada proses alamiah dalam sekerat roti. Membuat roti dari batu hanyalah keinginan untuk lepas dari hukum alam dan menguasai alam.

Hukum alam di sini ialah roti tidak datang secara tiba-tiba. Ujug-ujug. Tidak. Ada proses di sana. Bahan dasar roti adalah gandum. Kita tahu gandum pun tidak datang dengan sendirinya. Ada proses mulai dari tanam hingga panen. Ini pun butuh waktu yang tidak pendek. Dan bulir-bulir gandum itu perlu digiling, diolah, diberi ragi, dan setelah berapa lama barulah menjadi adonan roti. Sudah siap dimakan? Tentu belum. Adonan itu harus dimasak, entah dibakar, entah digoreng, entah dikukus. Setelah melewati semua itu, barulah muncul roti siap saji.

Namun, menarik untuk dicermati, Yesus tidak merasa perlu membebaskan diri dari hukum alam. Yesus tidak merasa perlu melanggar hukum alam. Terlebih jika semua itu hanya untuk memuaskan ego. Memang pernah, Guru dari Nazaret itu membuat mukjizat penggandaan roti sewaktu memberi makan 5.000 dan 4.000 orang laki-laki. Namun, mukjizat itu tidak dilakukan setiap hari. Dan itu pun untuk kepentingan orang lain, dan bukan memuaskan ego-Nya sendiri.

Dengan kata lain, Yesus masih menghargai hukum alam. Allah yang menjadi manusia itu ternyata membiarkan diri-Nya terikat oleh hukum alam. Dia tidak merasa perlu bebas dari hukum alam. Mengapa?

Pertama, Yesus sungguh-sungguh memahami panggilan-Nya selaku manusia sejati. Manusia sejati tentulah terikat oleh hukum alam. Yesus merasa perlu mengikatkan diri pada hukum alam. Dia menghargai proses.

Kedua, Yesus tidak ingin memuaskan ego-Nya. Dia lapar. Tetapi, Yesus tidak ingin menghilangkan rasa lapar itu dengan melanggar panggilan-Nya sebagai manusia sejati.

Ketiga, Yesus pastilah menghargai para pengusaha roti. Bisa bangkrut mereka semua jika Yesus menggunakan kemampuan-Nya itu saat Dia lapar. Lebih parah lagi, jika Yesus merasa perlu menggunakan mukjizat-Nya memberi makan bagi orang sekota setiap hari. Jika jalan ini yang diambil, Yesus berarti mematikan usaha para pengusaha roti.

Lagi pula, kata Yesus: ”Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.” (Mat. 4:4). Yesus mengingatkan bahwa manusia adalah manusia. Dia adalah ciptaan Allah. Dan sebagai ciptaan Allah, manusia tak perlu melawan kodrat alam, demi kepuasan ego semata. Manusia harus tunduk pada proses. Dan bicara soal manusia, manusia tak hanya terdiri atas daging semata, tetapi juga roh. Manusia memang tak hidup tanpa roti, tetapi manusia tak cukup hidup hanya dengan roti. Sebagai ciptaan Allah, manusia butuh Firman Allah.

Bagaimana dengan kita? Lebih sukakah kita mencari jalan pintas guna memperoleh apa yang kita inginkan? Lebih sukakah kita hidup dalam pola hidup instan demi kepuasan ego kita? Sungguh-sungguhkah kita membutuhkan Firman Allah?

Cobaan kedua: keinginan untuk menguasai kehendak Allah. Allah memang berjanji bahwa dia akan memelihara hidup anak-anak-Nya. Namun, menuntut janji Allah sejatinya hanyalah mencoba untuk mengatur Allah. Allah tidak lagi dilihat sebagai Pribadi yang berdaulat. Namun, Dia dipahami sebagai Pribadi yang harus menepati janji-Nya demi kepuasan ego manusia.

Jawaban Yesus pun sederhana: ”Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu!” (Mat. 4:7). Memang, Tuhan pernah berjanji, tetapi mengapa kita merasa perlu menuntut janji tersebut demi kepuasan ego kita? Bukankah Yesus tidak dalam kondisi terjepit? Bukankah itu artinya mempermainkan Allah? Dan yang penting pula ialah jangan ragukan kemahakuasaan Allah. Dia Mahakuasa. Dia mampu melakukan segala sesuatu asal Dia mau.

Cobaan ketiga: keinginan berkuasa tanpa batas; menjadi tuan atas segala tuan. Bahkan merasa lebih hebat dari Tuhan sendiri. Semuanya berpusat pada diri sendiri.

Perhatikan kata-kata Iblis: ”Dan Iblis membawa-Nya pula ke atas gunung yang sangat tinggi dan memperlihatkan kepada-Nya semua kerajaan dunia dengan kemegahannya, dan berkata kepada-Nya: ’Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud menyembah aku.’ ” (Mat. 4:8-9).

Inilah kuasa tanpa batas. Inilah godaan untuk menjadi tuan atas segala sesuatu. Bahkan merasa lebih hebat dari Tuhan sendiri. Semuanya berpusat pada diri sendiri.

Inilah puncak dosa: pemberontakan manusia terhadap Allah; bahkan merasa lebih hebat dari Allah. Pada titik ini jelas bahwa manusia tak merasa perlu butuh Allah. Manusia merasa otonom. Manusia merasa bisa lebih hebat dari Allah. Dan sampai titik ini, persoalan terbesar manusia ialah tidak memerlukan penyelamatan Allah.

Lagi-lagi, jawaban Yesus sederhana: ”Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” Yesus mengingatkan bahwa segala sesuatu di luar Allah adalah ciptaan Allah. Dan sebagai ciptaan Allah, semua makhluk harus berbakti kepada Allah saja.

Di titik ini kita perlu bertanya: Apakah manusia otonom? Apakah manusia bisa hidup tanpa campur tangan Allah? Apakah manusia bisa hidup hanya dengan berpusatkan kepada dirinya sendiri, kebenaran dirinya sendiri, hikmat dirinya sendiri?

Jawabnya tidak! Manusia tanpa Allah hanya berbuahkan kekacauan. Manusia tanpa Allah hanya berbuahkan anarki. Manusia tanpa Allah hanya akan menjadi serigala terhadap sesamanya. Kalaupun dia baik terhadap manusia lain, kebaikan itu lebih berdasarkan kepada akal budi dan bukan keinginan mengasihi.

Terhadap semua cobaan yang dilancarkan Iblis kepada-Nya, Sang Guru dari Nazaret selalu menggunakan formula ”Ada tertulis”. Yesus berbeda dengan Adam. Yesus lebih menaati Bapa-Nya ketimbang apa pun.

Kisah Kita

Bagaimana dengan kita? Kita diajak meneladan Yesus orang Nazaret—yang lebih memilih menaati Bapa-Nya ketimbang menggugu diri-Nya sendiri.

Memang itu bukan perkara gampang. Sebab kita sering jatuh ke dalam dosa. Nah, ketika kita jatuh marilah kita belajar dari Daud yang mengakui dosanya di hadapan Tuhan (Mzm. 32:5). Dosa bukan untuk disembunyikan, tetapi harus diakui. Penyembunyian dosa malah akan membuat kita membuat dosa yang baru.

Pada saat itulah saat itulah Daud bisa berseru lega, ”Berbahagialah orang yang kejahatannya tidak diperhitungkan TUHAN, dan yang tidak suka menipu.” Allah memang membenci dosa, tetapi mengasihi manusia berdosa. Allah adalah Pribadi yang memulihkan.

Dan ketika kita telah menerima anugerah pengampunan dosa, baiklah kita belajar hidup sebagaimana Yesus orang Nazaret itu hidup! Sehingga kisah Yesus juga menjadi kisah kita!

Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media

Foto: Istimewa