Koyakkanlah Hatimu!
”Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu!” (Yl. 2:13). Inilah inti seruan Nabi Yoel kepada umat Israel. Nabi mengingatkan umat untuk tidak berhenti pada mengoyakkan pakaian.
Di Israel, pada masa itu, mengoyakkan pakaian merupakan tanda kabung. Pengoyakkan pakaian menandakan bahwa orang tersebut tengah mengakui dosanya. Dan itu merupakan hal baik.
Mengapa? Sebab, siapa diantara kita yang suka mengoyakkan pakaian? Saya sendiri merasa sayang jika pakaian yang sudah disetrika dengan sangat baik sengaja dikoyakkan! Mengoyak berarti mencabik, merobek, dan membuat pakaian menjadi compang-camping. Kalau sudah begini, siapa di antara kita rela melakukannya?
Dengan kata lain, pengoyakkan pakaian sendiri bukan hal sederhana. Bagaimanapun, banyak orang senang, dan itu pasti wajar, mengenakan pakaian yang bersih, rapi, bahkan licin.
Bukan Ajang Pamer
Namun, nabi mengingatkan agar umat tidak berhenti pada sesuatu yang kelihatan. Sangat berbahaya jika pengoyakkan pakaian sebagai tanda pengakuan dosa malah menjadi ajang pamer. Tentu saja, pamer kesalehan. Dan inilah bahayanya suatu tindakan yang kasat mata. Lebih berbahaya lagi tatkala pengakuan dosa malah menjadi proyek.
Sekali lagi, memang nggak mudah mengoyakkan pakaian, tetapi nabi mengajak umat untuk bertindak lebih jauh, yakni mengoyakkan hati. Dan mengoyakkan hati memang lebih sulit ketimbang mengoyakkan pakaian.
Bagaimanapun, hati terletak di dalam tubuh. Pakaian yang berada di luar tubuh pastilah gampang dikoyakkan, tetapi bagaimana dengan hati yang berada di dalam tubuh. Lagi pula, siapa pula yang dapat melihat hati manusia?
Mengoyakkan hati tentulah akan bertambah sulit bagi setiap orang yang senang pamer. Sebab, apa yang terjadi di dalam tubuh pastilah tidak akan dilihat orang. Jika memang demikian, pastilah jauh dari pujian orang!
Ini serupa dengan saat Anda diminta menyanyi bagi Tuhan, tetapi dengan syarat dalam hati. Mungkin, ada yang protes nyanyi aja kok diminta dalam hati! Namun, sekali lagi keindahan suara sering membuat penyanyi jatuh dalam bahaya ingin pamer. Dan kalau sudah begini, ya tak beda dengan mengoyakkan pakaian tadi!
Pengolesan Abu
Ketika kita maju menerima abu, janganlah kita pandang sebagai demonstrasi belaka. Janganlah pula dipandang sebagai ajang pamer kesalehan! Kita menerima abu karena kita telah lebih dahulu mengoyakkan hati kita. Jadi, bukan mengoyakkan pakaian dahulu baru mengoyakkan hati. Akan tetapi, pengoyakkan hati itulah yang memampukan kita mengoyakkan pakaian. Pengoyakkan hati itulah yang memampukan kita menerima abu di dahi sebagai lambang pengoyakkan hati!
Yang juga perlu kita ingat, meskipun berada di dalam tubuh, tidak terlihat oleh manusia lain, nabi hendak mengingatkan bahwa pengakuan dosa sejatinya merupakan tindakan aktif manusia. Kata kerja yang dipakai bukanlah kata kerja pasif, melainkan kata kerja aktif. Kata kerja yang dipakai adalah mengoyakkan dan bukan dikoyakkan. Artinya, pengakuan dosa bukanlah tindakan terpaksa. Manusia diminta untuk bertindak aktif dengan mengoyakkan hati mereka.
Bukan Tanpa Dasar
Dan mengoyakkan hati di sini bukanlah tanpa dasar! Pengakuan dosa bukanlah tanpa alasan. Alasan pertama adalah karena manusia memang debu dan abu. Manusia adalah makhluk lemah, ringkih, dan rentan.
Kisah Adam dan Hawa adalah kisah kita juga. Kadang, sebagaimana Adam dan Hawa kita terpikat untuk melakukan apa yang kita pikir dan kita rasa benar.
Ya, apa salahnya tahu yang baik dan jahat! Bukankah itu akan membuat kita menjadi lebih bijak? Apa salahnya menjadi bijak? Apa salahnya berpengetahuan? Sesat pikir dan sesat rasa macam begini membuat manusia melanggar kesepakatan yang telah dibuatnya bersama Allah.
Inilah salah satu bukti keabuan manusia. Kita sering bertindak menurut apa yang kita rasa dan pikir benar dan melupakan bahwa semuanya itu telah membuat kita melanggar perintah Allah. Di sini kita sering mengandalkan akal dan rasa kita dan melupakan bahwa akal budi merupakan karunia Allah. Pada titik ini kita merasa lebih pandai dan lebih peka ketimbang Allah.
Atau, kita beranggapan bahwa Allah pastilah maklum dengan kesalahan yang kita buat. Pemahaman bahwa Allah pasti maklum akan membuat kita merasa boleh berbuat sesuka hati. Ini juga merupakan sesat pikir dan sesat rasa. Sesungguhnya, kesalahan besarnya adalah kita telah meremehkan Allah. Ngeri bukan, kita berani berbuat salah karena tahu Allah itu pengasih. Bukankah ini pula bukti keringkihan kita selaku manusia?
Dan menyadari keberadaan kita selaku manusia lemah, terbatas, ringkih inilah yang akan memampukan kita mengoyakkan hati!
Alasan kedua ialah Allah itu pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya. Inilah kenyataan yang seharusnya membuat kita mampu mengoyakkan hati! Pengakuan dosa hanya akan terjadi tatkala orang menyadari bahwa Allah bersedia menerima kita apa adanya. Saya meyakini, banyak orang tidak mau mengakui dosanya karena alasan ini: mereka tak yakin adanya pengampunan. Kalau tak ada kepastian akan pengampunan dosa, maka buat apa kita mengaku dosa. Dan inilah yang terjadi: pengampunan dosa akan diberikan kepada setiap orang yang mengakui dosanya.
Dan karena itulah, saat kita mengakui keberadaan kita selaku manusia berdosa baiklah kita mengoyakkan hati, dan bukan pakaian kita. Baiklah kita mengakui dosa kita secara tulus, tanpa pamrih apa pun. Dan dalam situasi semacam inilah Allah hadir!
Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media
Foto: Istimewa