Koyakkan Hatimu!

Published by Yoel M. Indrasmoro on

Saat merayakan Rabu Abu, 14 Februari 2024, kita diingatkan bahwa kita memang abu. Manusia adalah debu tanah yang karena perkenan Allah enjadi makhluk mulia. Dari bobotnya saja, dibanding kerikil pun, abu tak seberapa. Apalagi dibanding gunung.

Pemazmur bermadah, ”Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun, Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat” (Mzm. 8: 4-6).

Itulah kisah penciptaan. Manusia dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat. Hanya persoalannya, manusia tak mampu memelihara kemuliaan dan hormat itu. Adam dan Hawa—juga kita seluruh manusia—dengan sengaja menjatuhkan diri ke dalam lubang dosa.

Tak perlu contoh rumit. Saat kita melihat tulisan ”Awas! Cat Basah!”, bisa jadi kita malah menyentuhnya. Mengapa? Sebab, kita enggak percaya dengan tulisan itu.

Kita memang debu dan abu, yang diciptakan dengan kemuliaan dan hormat, namun jatuh ke dalam dosa, yang akhirnya membuktikan bahwa kita memang abu. Dan ketika kita merayakan Rabu Abu, kita bisa merayakan bahwa kita memang abu yang dikasihi-Nya. Pertobatan merupakan panggilan bagi orang-orang yang dikasihi Allah. Dan karena itu, kita dipanggil untuk mengoyakkan hati dan bukan sekadar pakaian kita.

Pesan Yoel

”Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu!” (Yl. 2:13). Inilah pesan Nabi Yoel kepada umat Israel. Nabi mengingatkan umat untuk tidak berhenti pada mengoyakkan pakaian.

Mengoyakkan pakaian merupakan tanda kabung. Pengoyakkan pakaian menandakan bahwa orang tersebut tengah mengakui dosanya. Dan itu merupakan hal baik.Mengapa? Sebab, siapa diantara kita yang suka mengoyakkan pakaian? Sayang bukan?

Dengan kata lain, pengoyakkan pakaian sendiri bukan hal mudah. Bagaimanapun, banyak orang senang, dan itu pasti wajar, mengenakan pakaian yang bersih, rapi, bahkan licin.   

Akan tetapi, Nabi mengingatkan agar umat tidak berhenti pada sesuatu yang kelihatan. Sangat berbahaya jika pengoyakkan pakaian sebagai tanda pengakuan dosa malah menjadi ajang pamer. Tentu saja, pamer kesalehan. Dan inilah bahayanya suatu tindakan yang kasat mata. Lebih berbahaya lagi tatkala pengakuan dosa malah menjadi proyek.

Pamer kesalahan, itu jugalah yang diingatkan Tuhan Yesus: ”Ingatlah, jangan kamu mengamalkan kesalehanmu di depan umum supaya dilihat mereka, karena jika melakukan demikian, kamu tidak memperoleh upah dari Bapamu yang di surga” (Mat. 6:1).

Sekali lagi, memang nggak mudah mengoyakkan pakaian, tetapi nabi mengajak umat untuk bertindak lebih jauh, yakni mengoyakkan hati. Dan mengoyakkan hati memang lebih sulit ketimbang mengoyakkan pakaian.

Bagaimanapun, hati terletak di dalam tubuh. Pakaian yang berada di luar tubuh pastilah gampang dikoyakkan, tetapi bagaimana dengan hati yang berada di dalam tubuh. Lagi pula, siapa pula yang dapat melihat hati manusia?

Mengoyakkan hati tentulah akan bertambah sulit bagi setiap orang yang senang pamer. Sebab, apa yang terjadi di dalam tubuh pastilah tidak akan dilihat orang. Jika memang demikian, pastilah jauh dari pujian orang!

Sama halnya saat kita diminta menyanyi bagi Tuhan, tetapi dengan syarat dalam hati. Mungkin, ada yang protes nyanyi aja kok diminta dalam hati! Namun, keindahan suara sering membuat seorang penyanyi jatuh dalam bahaya ingin pamer. Dan kalau sudah begini, ya tak beda dengan mengoyakkan pakaian tadi!

Pengolesan Abu

Ketika maju menerima abu, janganlah kita memandangnya sebagai demonstrasi belaka. Janganlah pula dipandang sebagai ajang pamer kesalehan! Kita menerima abu karena kita telah lebih dahulu mengoyakkan hati kita.

Jadi, bukan mengoyakkan pakaian dahulu baru mengoyakkan hati. Akan tetapi, pengoyakkan hati itulah yang memampukan kita mengoyakkan pakaian. Pengoyakkan hati itulah yang memampukan kita menerima abu di dahi sebagai lambang pengoyakkan hati!

Pengolesan abu menyatakan dengan jelas bahwa dosa tak perlu ditutup-tutupi. Bisa jadi itu hanya akan membuat kita berbuat dosa untuk menutupi dosa sebelumnya. Dosa pun makin menjadi-jadi, beranak pinak.

Yang juga perlu kita ingat, meski berada di dalam tubuh, tidak terlihat oleh manusia lain, nabi hendak mengingatkan bahwa pengakuan dosa sejatinya merupakan tindakan aktif manusia. Kata kerja yang dipakai bukanlah kata kerja pasif, melainkan kata kerja aktif. Kata kerja yang dipakai adalah mengoyakkan dan bukan dikoyakkan. Artinya, pengakuan dosa bukanlah tindakan terpaksa. Manusia diminta untuk bertindak aktif dengan mengoyakkan hati mereka.

Ya, koyakkan hatimu dan jangan pakaianmu!

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa