Mari Kita Bersukacita!

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Mereka sujud menyembah Dia, lalu pulang ke Yerusalem dengan sangat bersukacita” (Luk. 24:52). Demikianlah catatan Lukas dalam Kitab Injilnya berkait dengan kenaikan Sang Guru dari Nazaret.

Apa yang membuat mereka bersukacita? Bukankah Sang Guru tak lagi bersama mereka? Lalu, mengapa mereka bersukacita? Dalam Alkitab BIMK tertera: ”Mereka sujud menyembah Dia, kemudian kembali ke Yerusalem dengan hati yang gembira sekali,”.

Mengerti Kitab Suci

Mengapa mereka bergembira sekali? Kelihatannya mereka semakin mengerti makna kematian dan kebangkitan Sang Guru. Lukas mencatat: ”Lalu Ia membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci.” Jelaslah, Sang Guru membuka pikiran mereka sehingga mereka memahami Kitab Suci berkenaan dengan diri-Nya.

Ini menjadi penting karena selama ini mereka begitu ketakutan menghadapi Mahkamah Agama, ahli Taurat, dan orang Farisi. Ketidakmengertian memang tidak menyenangkan, bahkan membuat orang ketakutan.

Sang Guru menyatakan bahwa kematian-Nya bukanlah kematian biasa. Kematian-Nya sendiri telah dirancangkan Allah sejak dosa pertama demi keselamatan manusia. Ia memang mati disalib, namun itu sarana untuk penyelamatan manusia. Sang Guru sendiri menyatakan bahwa Ia tidak dicabut nyawa-Nya, tetapi menyerahkan nyawa-Nya. Inilah yang membuat mereka bersukacita.

Salib dan kebangkitan mestinya juga membuat kita—orang percaya abad XXI—bersukacita. Jangan minder karena salib! Memang kisah penyaliban tak mudah dicerna manusia kebanyakan. Bagaimana mungkin Allah mati? Allah kok mati. Yang Mahakuasa kok mati. Di mana kehebatan-Nya. Jika ada orang yang mempertanyakan penyaliban itu, bahkan menghina-keallahan-Nya, kita bisa menyatakan inilah Allah kita.

Penyaliban adalah bukti keallahan-Nya. Penyaliban adalah bukti kasih-Nya. Dan ini seharusnya membanggakan kita. Sebab, tanpa salib entah apa jadinya kita. Saliblah yang menjadikan kita selamat—menjadi anak-anak Allah. Dan karena itu kita bisa bermadah: ”SalibMu, salibMu yang kumuliakan, hingga dalam sorga k’lak ada perhentian” (Kidung Jemaat 368).

Dan jangan kita lupa, kebangkitan Yesus Orang Nazaret membuktikan bahwa penyaliban-Nya sungguh ada gunanya. Tanpa kebangkitan, kematian Yesus adalah tragis dan mengenaskan, bahkan terkesan konyol. Tanpa kebangkitan, Dia bukanlah Allah. Kebangkitan membuktikan—sebagaimana dikatakan Kitab Suci—bahwa Yesus menyerahkan nyawa-Nya dan mengambil-Nya kembali.

Sekali lagi jika ada orang yang menghina penyaliban itu, kita bisa menyatakan, bahwa Dia bangkit. William Barclay menyatakan bahwa Tuhan yang bangkit itu bukan hantu atau halusinasi. Ia sungguh-sungguh riil. Yesus yang mati adalah sungguh-sungguh Kristus yang bangkit lagi. Dan ini fakta historis. Kristus sungguh-sungguh bangkit. Ia bangkit beneran.

Lukas menyatakan dalam Kisah Para Rasul: ”Kepada mereka Ia menunjukkan diri-Nya setelah penderitaan-Nya selesai, dan dengan banyak tanda Ia menunjukkan bahwa Ia hidup. Sebab, selama empat puluh hari Ia berulang-ulang menampakkan diri dan berbicara kepada mereka tentang Kerajaan Allah” (Kis. 1:3). Empat puluh hari. Dan karena itu kita merayakan Kenaikan Yesus pada ”empat puluh hari setelah Paskah”. Ia sungguh bangkit.

Ada Hari Esok

Itulah yang membuat para murid bersukacita, juga kita orang percaya abad XXI. Karena ada hari esok. Kebangkitan-Nya membuat kita juga akan mengalami kebangkitan orang mati. Kematian bukan hal yang menakutkan bagi orang Kristus. Kematian bukanlah akhir kehidupan, tetapi awal kehidupan yang baru. Dan hidup dalam kebangkitan berarti hidup dalam hidup yang baru.

Kebangkitan Yesus Orang Nazaret membuat kita bisa bernyanyi: ”Sbab Dia hidup, ada hari esok. Sbab Dia hidup, ku tak gentar. Karena ku tahu Dia pegang hari esok. Hidup jadi berarti sbab Dia hidup.”

Oleh karena itu, ”Dalam nama-Nya berita tentang pertobatan untuk pengampunan harus diberitakan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem” (Luk. 24:47). Inilah inti kesaksian Kristen. Bukan tentang kehebatan agama Kristen, tetapi tentang pertobatan untuk pengampunan dosa. Setiap orang dipanggil untuk bertobat. Allah mau bersekutu kembali dengan manusia. Dan Allah siap mengampuni. Pertanyaannya adalah apakah manusia mau bertobat?

Ini jugalah yang membuat para murid bersukacita. Ada pengampunan. Kita enggak mungkin, atau malah takut minta ampun, kalau kita tahu enggak ada pengampunan. Kita diampuni. Dan kita dipanggil hidup dalam pertobatan untuk pengampunan dosa. Mulai dari Yerusalem.

Dengan kata lain, mulai dari keluarga kita sendiri. Keluarga semestinya menjadi tempat bagaimana pertobatan untuk pengampunan dosa dipraktikkan. Kalau salah, ya minta maaf. Namanya juga salah. Dan anggota-anggota keluarga akan berani minta maaf ketika tahu tersedia pengampunan bagi mereka.

Inilah tugas kita: memberitakan pertobatan untuk pengampunan dosa. Susahkah? Sebenarnya tidak juga? Kuncinya: kita hidup dalam pertobatan dan pengampunan. Hidup sebagai orang yang bertobat dan diampuni. Inilah artinya menjadi saksi: mempraktikkan hidup dalam pertobatan dan pengampunan.

Dan para murid itu pulang ke Yerusalem dengan bersukacita karena telah tiba waktunya bagi mereka, mengutip frasa William Barclay, mengubah pandangan dari percaya kepada Yesus duniawi menjadi Kristus surgawi; Yesus yang terlihat menjadi Kristus yang tidak terlihat. Dari yang dibatasi ruang dan waktu menjadi yagn tak dibatasi ruang dan waktu. Dengan demikian, para murid mempunyai seorang Sahabat bukan saja di atas bumi, tetapi juga di surga.

Inilah inti berita kenaikan Yesus ke surga: kita punya Sahabat baik di bumi maupun di surga. Kenaikan Yesus ke surga kembali membuktikan bahwa Yesus adalah Allah—penguasa baik bumi maupun surga. Karena itu, mari kita bersukacita. Amin.

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Freepik