Memuliakan Kristus

Published by Yoel M. Indrasmoro on

Pada Minggu Transfigurasi ini marilah kita sungguh-sungguh bertanya, ”Apakah kita telah memuliakan Allah?”

Kisah transfigurasi memang tidak disaksikan oleh banyak orang. Yesus sendiri hanya mengajak Petrus, Yakobus, Yohanes. Mereka orang pilihan. Mengapa terpilih? Hanya Yesus orang Nazaret yang bisa menjawabnya. Itu memang prerogatif Sang Guru. Bisa dikatakan anugerah. Dan itu sangat tampak dalam diri Petrus.

Iblis: Semua Pikiran yang Melawan Allah

Perhatikan, bukankah enam hari sebelumnya, Petrus dimarahi Yesus? Tak sekadar dimarahi, tetapi Petrus disebut Iblis. Petrus disebut Iblis karena tidak tunduk pada kehendak Allah. Dan siapa pun yang tidak tunduk pada kehendak Allah akan mendapatkan predikat ini: Iblis.

Namun, kelihatannya Petrus hanya melantangkan pendapat semua murid pada waktu itu. Bisa jadi para murid bingung dengan jalan yang hendak ditempuh Yesus. Mungkin mereka bertanya-tanya: ”Bagaimana mungkin Sang Guru mati dibunuh? Mungkinkah orang membunuh-Nya? Mungkinkah orang menangkap-Nya, setan-setan saja takut kepada-Nya? Bukankah itu suatu kemustahilan?”

Memang suatu kemustahilan. Namun, baiklah kita ingat bahwa Yesus tidak pernah ditangkap. Yang benar: Dia menyerahkan diri-Nya. Dan kematian bukanlah akhir; kebangkitan membuktikan bahwa Dia sungguh Allah.

Akan tetapi, bisa jadi yang menghantui pikiran para murid adalah kenyataan yang telah mereka saksikan bahwa Yesus adalah Anak Allah. Bukankah Dia itu Manusia tanpa cela? Masak Allah akan membiarkan Dia menanggung sengsara! Bukankah Dia orang baik? Masak orang baik menderita!

Pendapat semacam ini pada dasarnya berbeda dengan kehendak Allah sendiri. Jalan salib adalah jalan sengsara yang harus dilalui sang Guru. Hanya dengan jalan itulah keselamatan manusia menjadi nyata. Lagi pula, jika bukan Yesus yang disalibkan, lalu siapa? Jika bukan Yesus yang disalibkan, maka saya dan Saudaralah yang harus disalibkan.

Yesus menyebut Petrus Iblis karena Petrus telah menggunakan pola pikirnya sendiri, yang memang bertentangan dengan kehendak Allah. Dan segala yang bertentangan dengan kehendak Allah disebut Iblis.

Namun, yang menarik untuk disimak, Yesus membawa Petrus ke gunung itu untuk menyaksikan kemuliaan diri-Nya. Mengapa? Tampaknya karena Yesus sungguh-sungguh mengasihi Petrus. Bagi Yesus kesalahan bukanlah aib. Aib adalah ketika seseorang berbuat salah, namun tidak mau mengakui kesalahannya.

Elia dan Elisa

Kisah Yesus mengajak para murid-Nya mirip dengan kisah Elia yang mengajak Elisa. Bedanya Elisa sungguh-sungguh merasa dirinya sebagai orang pilihan. Agaknya, itu juga yang membuat Elisa bersikeras untuk terus mendampingi Elia. Mengapa karena Elisa merasa diri sebagai orang pilihan. Dan keyakinan diri itulah yang menyebabkan Elisa bahkan bersumpah tidak akan meninggalkan Elia.

Meski harus mengiringi Elia dari Gilgal ke Betel, lalu ke Yerikho, dan kemudian ke Sungai Yordan, Elisa tetap mendampingi Elia. Mengapa Elisa melakukannya, di mata saya karena Elisa menganggap gurunya adalah orang penting. Dan karena itu, dia merasa harus mengutamakan gurunya.

Sehingga ketika Elia bergerak, Elisa pun bergerak. Dia ingin terus melayani gurunya karena dia menganggap Elia adalah sosok yang penting di matanya. Pada titik ini Elisa memprioritaskan Elia. Dan karena itulah, Elia pun merasa perlu memprioritaskan Elisa. Menarik disimak ketika seseorang mengutamakan orang lain, orang lain malah terdorong untuk memuliakannya.

Ketika Elia bertanya kepada muridnya apa yang diinginkannya, Elisa hanya berkata, ”Kiranya aku mewarisi dua bagian dari kuasa kenabianmu” (2Raj. 2:9). Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Wariskanlah kuasa Bapak kepada saya, supaya saya dapat menjadi pengganti Bapak.” Elisa minta warisan yang biasanya diberikan secara hukum kepada putra sulung (lih. Ul. 21:17).

Dengan kata lain, dalam permintaan itu Elisa tetap ingin memuliakan Elia, Elisa tetap ingin memprioritaskan Elia. Elisa ingin melanjutkan pelayanan yang telah dilakukan Sang Guru. Dia tidak merasa lebih hebat dari gurunya. Tidak. Dia ingin memuliakan gurunya dengan jalan melanjutkan pekerjaan-Nya.

Melanjutkan Pekerjaan Yesus

Itu jugalah yang seharusnya kita lakukan sebagai murid-murid Yesus. Jika hari ini kita merayakan kemuliaan Yesus, maka menjadi panggilan kita pula untuk terus memuliakan Yesus. Dan itu hanya akan terjadi ketika saya dan Saudara sungguh-sungguh melanjutkan pekerjaan Yesus di bumi ini.

Mungkinkah? Pasti mungkin! Caranya? Mulailah dengan mendengarkan Dia. Kita hanya mungkin menyatakan kemuliaan seseorang ketika kita sungguh-sungguh mendengarkan-Nya. Ketika kita peduli dengan apa yang menjadi kehendak-Nya, maka pada saat itulah kita sungguh-sungguh memuliakan-Nya. Kalimat perintah ”Dengarkanlah Dia!” sungguh-sungguh harus kita taati. Bagaimana mungkin kita memuliakan Yesus, kalau kita nggak sungguh-sungguh mendengarkan-Nya?

Jika perhatikan dengan cermat, maka semua pekerjaan Yesus Orang Nazaret berujung pada kemuliaan Allah. Dan itu jugalah yang ditegaskan oleh Paulus dalam surat kepada Jemaat di Korintus: ”Sebab bukan diri kami yang kami beritakan, tetapi Yesus Kristus sebagai Tuhan, dan diri kami sebagai hambamu karena kehendak Yesus” (2Kor. 4:5). Itu jugalah yang semestinya dilakukan para murid Yesus abad XXI.

Sebagai contoh ketika bercakap-cakap dengan orang lain, siapakah yang kita beritakan atau tonjolkan? Diri sendiri atau Yesus Orang Nazaret? Dengan kata lain: Siapa yang kita muliakan? Diri sendiri atau Yesus Kristus?

Jika kita merayakan peristiwa ”Yesus dimuliakan di atas gunung”, maka menjadi panggilan kita pula untuk terus memuliakan-Nya. Dan itu hanya akan terjadi ketika Saudara dan saya sungguh-sungguh melanjutkan pekerjaan Yesus di bumi ini.

Yoel M Indrasmoro

Foto: Istimewa