Mencari di Tempat Salah

Published by Yoel M. Indrasmoro on

Seorang tetangga melihat Nasrudin jongkok sembari mencari sesuatu. ”Apa yang sedang Kaucari, Mullah?” tanya orang itu.

”Kunciku hilang,” jawab Nasrudin. Keduanya lalu sibuk mencari kunci itu.

Setelah lama tak ketemu juga, bertanyalah orang itu kepada Nasrudin, ”Di mana kamu kehilangan kunci tersebut.”

”Di rumah!” jawab Nasrudin enteng.

”Lalu, mengapa Kaucari di sini, kalau kunci itu hilang di rumah?” tanya orang itu dengan herannya.

”Karena di sini lebih terang.”

Demikianlah sepenggal kisah dalam buku Burung Berkicau karya Pastor Anthony de Mello.

Nasrudin mencari di tempat salah. Kuncinya hilang di rumah, ia mencarinya di jalan. Alasannya: jalanan itu lebih terang ketimbang rumahnya.

Mencari Yesus

Memang absurd, aneh, dan nggak masuk akal. Namun, itu jugalah yang terlihat pada diri orang banyak yang mencari Yesus. Orang-orang itu mencari sesuatu di tempat yang salah. Ternyata mereka pun mencari Yesus dengan motivasi salah.

Inilah catatan penulis Injil Yohanes: ”Ketika orang banyak melihat bahwa Yesus tidak ada di situ dan murid-murid-Nya juga tidak, mereka naik ke perahu-perahu itu lalu berangkat ke Kapernaum untuk mencari Yesus” (Yoh. 6:24).

Orang banyak mencari Yesus. Artinya: mereka meninggalkan segala sesuatu untuk mendapatkan Yesus. Sang Guru dari Nazaret telah menjadi idola baru mereka. Bisa dikatakan Yesus telah menjadi pusat hidup mereka. Mencari berarti bahwa mereka hanya berorientasi kepada Yesus, orang Nazaret itu.

Sekilas gambaran yang dilukiskan penulis Injil Yohanes itu positif, bahkan sangat baik. Sekali lagi, bayangkan: mereka naik ke perahu-perahu itu lalu berangkat ke Kapernaum untuk mencari Yesus. Ya, orang banyak mencari Yesus. Mereka ingin bertemu dengan Yesus. Mereka begitu bersemangat. Mereka sangat antusias.

Motivasi

Namun, sayang seribu kali sayang, satu-satunya alasan mereka mencari Yesus adalah perut. Itu tampak dalam percakapan saat mereka bertemu dengan Yesus. Dengan tegas Yesus membuka kedok mereka, ”Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Kamu mencari Aku, bukan karena kamu telah melihat tanda-tanda, melainkan karena kamu telah makan roti dan kamu kenyang.” (Yoh. 6:26).

Motivasi mereka adalah perut. Mereka mencari Yesus karena ingin dikenyangkan kembali. Mereka hanya tertarik pada roti. Di mata mereka, Yesus tak ubahnya tukang sulap yang murah hati. Mereka mencari Yesus agar kembali kenyang.

Pada titik ini sebenarnya mereka sendiri telah melanggar hukum alam, yang telah ditetapkan Allah. Ungkapan Jawanya: Jer besuki mawa beya ’tiada hasil tanpa keringat’. Mereka tidak lagi mau bekerja untuk mendapatkan makanan. Mereka lebih suka mendatangi Yesus, tukang sulap yang murah hati itu, dan meminta makanan dari-Nya. Jadi, motivasi mereka, sekali lagi adalah perut, berdasarkan kemalasan diri sendiri.

Bekerjalah

Tak heran, jika Yesus sendiri menegaskan pentingnya kembali kepada tatanan hukum alam tadi. Kata Yesus kepada mereka: “Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal.” (Yoh. 6:27). Pada kalimat ini Yesus kembali mengingatkan pentingnya kerja. Hanya dengan bekerjalah manusia akan memperoleh makanannya. Orang yang memperoleh makanan tanpa kerja hanyalah perampok dan pemalas.  

Sekali lagi, orang banyak itu mencari Yesus karena ingin roti gratis. Padahal, mukjizat penggandaan roti itu merupakan kesempatan bagi Yesus untuk memperkenalkan jati diri-Nya di hadapan banyak orang. Mukjizat itu dapat kita pahami juga sebagai salah satu metode Yesus untuk memperkenalkan diri-Nya. Yesus hendak memperkenalkan diri-Nya sebagai utusan Allah.

Namun, orang banyak itu agaknya tidak terlalu siap menerima alasan di balik mukjizat tersebut. Mereka hanya ingin roti. Mereka hanya ingin kenyang. Sehingga mereka tidak begitu paham ketika Yesus bercerita tentang makanan yang tidak dapat binasa.

Makanan

Makanan adalah kebutuhan dasar manusia. Setiap hari orang butuh makan. Dan sepanjang hari manusia membanting tulang justru untuk memenuhi kebutuhan pokoknya itu. Tak heran, ungkapan lain untuk bekerja dalam budaya kita adalah ”mencari sesuap nasi”. 

Begitulah pentingnya makanan dalam hidup manusia. Manusia bisa hidup tanpa sandang maupun papan, tetapi tidak tanpa pangan. Manusia bergantung pada makanan agar tetap hidup.

Tanpa makanan, manusia mati. Itu memang hukum alam. Yesus sepertinya juga setuju dengan kenyataan itu. Namun, Guru dari Nazaret itu mengajak para pendengar-Nya untuk melangkah lebih jauh: ”Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal.”

Pada titik ini Yesus menegaskan agar para pengikut-Nya tidak asal bekerja. Bekerja itu memang sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Orang yang tidak bekerja sesungguhnya tengah mengingkari keberadaan dirinya selaku manusia.

Jika ada orang beranggapan bahwa bekerja merupakan akibat dosa, itu sepenuhnya salah. Bagaimanapun, manusia pertama diciptakan Allah untuk mengerjakan dan memelihara Taman Eden. Tetapi, tidak asal bekerja! Dan inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah: Percaya kepada Dia yang telah diutus Allah” (Yoh. 6:29).

Yesus pastilah dapat memberi roti. Tetapi, tujuan Yesus datang ke dunia bukan hanya memberikan roti jasmani. Yesus memberikan roti rohani, yang dapat membuat mereka memperoleh keselamatan. Yesus menegaskan bahwa manna merupakan tanda kasih Allah, tetapi manna bukanlah roti yang datang dari surga dan mampu memberi hidup kepada dunia.

Roti yang Lain

Dengan berkata demikian, Yesus bukannya tidak bisa memberikan mereka roti seperti yang mereka peroleh sebelumnya. Tetapi, Yesus hendak menawarkan satu jenis roti yang lain. Roti yang mereka makan itu sesungguhnya dapat mereka cari pada orang lain dan di tempat lain. tetapi, roti yang ditawarkan Yesus tidak ada di tempat lain, bahkan tidak bisa diberikan oleh orang lain. Hanya Yesus sendirilah yang sanggup memberikan roti tersebut. Yesus dengan tegas menyatakan bahwa Dialah roti yang turun dari surga. Dialah roti kehidupan yang mampu memadamkan semua jenis kelaparan manusia.

Dan roti yang memberikan kehidupan itu adalah Tubuh dan Darah-Nya sendiri. Yesus berkata, ”Akulah roti kehidupan” (Yoh. 6:35).

Ada dua hal yang ditawarkan Yesus, yaitu percaya kepada-Nya dan makan serta minum Tubuh dan Darah-Nya. Itulah yang ditawarkan Yesus kepada setiap orang yang ingin memperoleh keselamatan. Kalau itu yang mereka cari, mereka sudah mencari sesuatu yang benar. Dan kalau mereka mencarinya pada diri Yesus, mereka pun sudah mencarinya di tempat yang benar. Tetapi, kalau mereka masih mencari hal-hal lain pada Yesus, mereka sesungguhnya mencari di tempat yang salah.

Yesus menantang kita untuk mencari sesuatu yang benar dan di tempat yang benar. Jangan seperti Nasrudin yang mencari kunci di luar rumah, kalau kunci itu hilang di dalam rumah. Persoalannya: apakah yang kita cari pada diri Yesus? Apakah roti, rasa kenyang, kemakmuran, kesehatan, kesuksesan?

Yesus bisa memberikan semuanya itu. Namun, yang sungguh-sungguh membedakan Yesus dari yang lainnya ialah Yesus membawa kita bertemu dengan Sumber Hidup. Dan itulah kehidupan sejati ketika manusia menyatu dengan Allah.

Sejajar dengan itu, jangan mencari keselamatan di luar Yesus karena keselamatan yang sejati hanya ada dalam Yesus Kristus. Keselamatan yang benar hanya ada dalam Yesus Kristus. Percayalah!

Tentunya, yang dimaksudkan dengan percaya di sini bukanlah tanpa konsekuensi. Setiap orang yang mengaku percaya kepada Yesus haruslah memakan tubuh dan darah Kristus. Kata orang, manusia dapat dinilai dari apa yang dimakannya. Jika saudara dan saya mengaku telah memakan tubuh dan darah Kristus, tingkah laku kita seharusnya mencerminkan semuanya itu.

Artinya, hidup sebagaimana Kristus hidup.

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa