Mengapakah Kamu Berdiri Melihat ke Langit?
”Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit?” (Kis. 1:11). Demikianlah sapaan kedua malaikat kepada para murid yang terpana menyaksikan kenaikan Yesus ke surga. Mereka terpukau menyaksikan Sang Guru pergi dalam kemuliaan-Nya. Itu bukan peristiwa lumrah. Tak heran, mereka semua terpaku menyaksikannya.
Mereka terpaku karena terpukau. Namun, keterpakuan itu membuat mereka sesaat lupa diri. Keterpakuan menyebabkan mereka lupa tanggung jawab.
Terpaku karena terpukau memang tak salah. Menjadi masalah, jika keterpakuan menyebabkan mereka alpa kewajiban. Karena itulah, malaikat menegur mereka.
Kita tak pernah tahu berapa lama para murid terpaku. Tak pernah juga kita tahu berapa lama mereka menengadah ke langit. Yang kita tahu pasti, mereka ditegur karena terlalu asyik memandang langit.
Berdamai dengan masa lalu
Teguran malaikat itu—yang diawali frasa ”Hai orang-orang Galilea”—seakan mengingatkan mereka pada sejarah hidup mereka. Setiap orang memiliki kisah (history).
Berkait sejarah, tak sedikit orang takut jika ada orang lain mengetahui masa lalunya. Mereka khawatir jika penilaian orang akan dirinya berubah. Dengan susah payah mereka mencoba menyembunyikannya.
”Masa lalu membentuk dirimu, jangan jadi bebanmu!” ujar Chan Jun Bao dalam film Taichi Master. Tanpa masa lalu, tak ada masa sekarang. Membenci masa lalu berarti juga membenci diri sendiri yang merupakan bagian dari kelampauan itu. Berdamai dengan masa lalu berarti berdamai dengan diri sendiri. Tegasnya: menerima diri sendiri.
Asal usul, latar belakang, tempat tinggal seseorang bukanlah kebetulan, melainkan kebenaran karena Tuhan berkarya dalam semuanya itu. Persoalannya: apakah manusia sungguh-sungguh mencari tahu kehendak khusus Allah dalam dirinya?
Sudah Selesai
Frasa ”Hai orang-orang Galilea” juga mengingatkan bahwa mereka masih di bumi. Itu berarti ada tanggung jawab yang diemban. Ada karya yang mesti diselesaikan. Panggilan hidup manusia bukanlah termenung, melamun, berkhayal, dan terpaku. Manusia dipanggil untuk berkarya. Dan berkarya berarti memberi buah.
Itu jugalah yang dinyatakan Yesus sebelum pergi meninggalkan mereka: ”Harus digenapi semua yang tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa, Nabi-nabi, dan Mazmur.” (Luk. 24:44).
Yesus adalah Pribadi yang menggenapi. Dia menyelesaikan segala sesuatunya. Dia tidak meninggalkan pekerjaan rumah dan menyuruh orang lain yang mengerjakannya. Tidak. Dia menggenapi semua kewajiban yang harus diselesaikan-Nya. Di atas kayu salib, Yesus pulalah yang berkata, ”Sudah selesai.”
Sudah selesai. Tak ada lagi pekerjaan rumah. Sudah selesai. Tak ada lagi utang. Sudah selesai. Tiada koma. Sudah selesai. Titik. Sudah selesai.
Ini jugalah panggilan kita: berkata, ”Sudah selesai.” di akhir hidup. Manusia memang tidak tahu kapan hidupnya berakhir. Oleh karena itu, kerjakanlah apa yang bisa kita kerjakan hari ini! Jangan tunda, esok mungkin sudah terlambat!
Setia menjadi saksi
Tanggung jawab setiap pengikut Kristus ialah menjadi saksi. Frasa ”di Yerusalem, di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” menyiratkan, setiap Kristen dipanggil menjadi saksi di mana pun Tuhan menempatkannya.
Kristen berarti pengikut Kristus. Panggilan seorang Kristen ialah mengikut Kristus dalam situasi dan kondisi apa pun. Itu bukan pilihan, tetapi konsekuensi logis sebagai pribadi yang mengaku diri Kristen.
Menjadi Kristen berarti membiarkan Kristus yang berjalan di depan dan kita mengikuti-Nya dari belakang. Menjadi Kristen berarti memikul salib kita masing-masing dengan setia.
Setia berarti fokus. Setia berarti memfokuskan diri pada apa yang dikerjakan. Fokus berarti kualitas dan bukan kuantitas pekerjaan. Fokus berarti lebih menekankan mutu ketimbang banyaknya pekerjaan.
Fokus itu seperti seorang pelari maraton, yang tidak asal berlari. Nggak lucu bukan? Berlari cepat, sampai duluan, nomor satu. Tak ada yang mengikuti, tak ada pula yang menyoraki! Setengah jam kemudian tersadar, dia telah finis di tempat yang salah! Sekali lagi, fokus!
Setia berarti menyelesaikan sesuatu hingga akhir. Setia berarti sampai selesai. Setia berarti tetap bertahan meski susah sungguh. Setia berarti tak mau undur dari gelanggang meski capek. Setia berarti kalau sudah capek berlari, ya jalan saja. Kalau memang capek, benar-benar capek, ya istirahat! Jangan tinggalkan gelanggang!
Setialah terhadap panggilan kita—entah panggilan sebagai suami, istri, pacar, anak, orang tua, adik, kakak, karyawan, majikan, profesional, pejabat. Sekali lagi, jangan tinggalkan gelanggang!
Semasa hidupnya Ibu Teresa pernah berkata, ”Kita tidak dipanggil untuk berhasil, melainkan untuk setia!” Dan setia berarti mata kita tidak hanya memandang langit, tetapi juga memandang bumi, tempat kita berpijak.
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa