Mengertikah Tuan Apa yang Tuan Baca Itu?

”Mengertikah Tuan apa yang Tuan baca itu?” (Kis. 8:30). Demikianlah sapaan Filipus kepada seorang asing yang sedang membaca Kitab Yesaya. Orang itu bukan sembarang orang. Ia pejabat istana, pembesar dan kepala perbendaharaan Sri Kandake, ratu negeri Etiopia.
Filipus agaknya heran menyaksikan seorang asing membaca Kitab Yesaya. Itu bukan peristiwa biasa. Orang Israel belum tentu membaca Kitab Yesaya. Kalaupun membaca, mungkin secara berjemaah di sinagoge. Namun, bagaimana kalau sendirian?
Filipus bisa jadi mengagumi orang tersebut. Kekaguman yang membuat ia bertanya, ”Mengertikah Tuan apa yang Tuan baca itu?”
Kepedulian
Bertanya merupakan tindakan aktif. Pertanyaan itu juga menyiratkan kepedulian Filipus. Mungkin ia penasaran, apakah orang asing itu sungguh-sungguh memahami apa yang dibacanya.
Pada hemat Filipus, sia-sialah pengetahuan tanpa pemahaman. Pengetahuan seperti itu tak akan pernah berakar karena hanya konsumsi otak dan bukan hati. Yang akhirnya tinggal pengetahuan.
Filipus juga yakin, Kitab Yesaya bukan sekadar pemuas akal. Sebagai saksi mata kisah kematian, kebangkitan, dan kenaikan Yesus Kristus, Filipus percaya bahwa nubuat Yesaya telah digenapi dalam diri Sang guru. Itu masalah iman. Dan iman berkait erat dengan akal dan budi manusia, yang maujud dalam sikap dan perbuatan.
Filipus tampaknya merasa sayang jika orang asing itu membaca Kitab Yesaya sebagai syair indah belaka. Ia ingin orang asing itu memahami apa yang diketahuinya. Dan akhirnya mempunyai iman. Pada titik ini, sebagai saksi kisah kematian, kebangkitan, dan kenaikan Yesus Kristus, Filipus telah menjadi jembatan antara manusia dan Allah.
Itu jugalah panggilan Kristen. Setiap Kristen berkewajiban menolong orang tak hanya mengetahui, namun mendampinginya untuk lebih memahami, dan akhirnya mampu mengambil keputusan bagi dirinya sendiri.
Tolok ukur pekabaran Injil bukanlah pada jumlah orang yang menjadi Kristen. Hal menjadi atau tidak menjadi Kristen menyangkut dua pribadi: Allah dan orang itu sendiri. Kewajiban utama setiap Kristen adalah mendampingi seseorang dari mengetahui sampai memahami. Titik.
Ketaatan
Caranya? Sebagaimana Filipus, kita perlu peka terhadap kehendak Tuhan. Kepekaan dimulai dari ketaatan.
Lukas mencatat: ”Kemudian berkatalah seorang malaikat Tuhan kepada Filipus, ’Bangkitlah dan berangkatlah ke sebelah selatan, menurut jalan yang turun dari Yerusalem ke Gaza.’ Jalan itu jalan yang sunyi. Lalu Filipus bangkit dan berangkat.” (Kis. 8:26-27).
Filipus taat. Kata ”lalu” berarti: langsung, seketika itu juga, atau tidak menunggu waktu lebih lama lagi. Filipus taat, meski dia tahu bahwa jalan itu sunyi.
Banyak orang lebih suka jalan yang ramai. Kalau terjadi apa-apa, ia bisa berteriak minta tolong. Biasanya orang menghindari jalan yang sunyi karena takut keselamatannya terancam. Dan Filipus dengan sengaja melewati jalan yang sunyi itu. Ia tidak takut. Itu jugalah yang ditekankan penulis Surat Yohanes: ”Di dalam kasih tidak ada ketakutan: Kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan” (1Yoh. 4:18).
Juga ketika Roh berkata, ”Pergilah ke situ dan dekatilah kereta itu!”; Filipus bergegas ke situ… (lih. Kis. 8:29-30). ”Bergegas ke situ” berarti secepatnya, tidak lamban. Filipus agaknya tak mempersoalkan latar belakang orang asing itu. Bangsa Yahudi sangat memandang rendah orang tak bersunat. Namun, di mata Filipus orang Etiopia itu wajib disapa.
Tampak jelas di sini bahwa Filipus tidak takut. Dia tidak takut ditolak. Dia mau menyapa. Mengapa? Karena motivasinya berdasarkan kasih. Sekali lagi, di dalam kasih tidak ada ketakutan. Ini persoalannya. Banyak orang tidak berani melakukan hal yang baik sekalipun karena takut ditolak. Rasa takut memperlihatkan bahwa kasih mereka sungguh tidak sempurna.
Gayung bersambut. Orang Etiopia itu mengeluh: ”Bagaimana aku dapat mengerti, kalau tidak ada yang membimbing aku?” Dia butuh bimbingan. Dan Filipus memberikannya. Filipus sepertinya sedang menggenapi Mazmur Daud: ”Segala ujung bumi akan sadar dan berbalik kepada TUHAN; dan segala kaum dari bangsa-bangsa akan sujud menyembah di hadapan-Mu” (Mzm. 22:28).
Tinggal di dalam Kristus
Mungkin, tersirat protes dari dalam diri kita, ”Ah, Filipus enak! Tuhan berbicara langsung dengannya. Lalu, bagaimana dengan kita yang tidak mendengarkan suara Tuhan secara langsung? Bagaimana kita mau taat?”
Sejatinya butuh kepekaan dalam mendengarkan suara Tuhan. Mungkin kita tak pernah langsung mendengar-Nya. Tuhan bisa berfirman melalui manusia lain, juga alam. Persoalannya: peka atau tidak? Dan satu-satunya syarat untuk peka terhadap kehendak Tuhan, menurut Injil Yohanes, adalah tinggal di dalam Kristus (Yoh. 15:1-8).
Pengalaman manusiawi membuktikan, kita hanya sungguh memahami seseorang jika kita mengenalnya. Bahkan, kita tahu bagaimana perasaan orang itu, apa yang diinginkannya, dari bahasa tubuhnya saja. Pengenalan akan membuat kita peka terhadap keinginannya. Pengenalan terjadi saat kita bergaul akrab dengannya.
Atau, kita bisa merangkai tanya: ”Apa yang Tuhan kehendaki kita lakukan sekarang ini? Mengapa saya berada di sini? Apa maksud Tuhan mengizinkan saya berada pada posisi ini?” Dengan kata lain, kita berupaya menjadikan kehendak Tuhan sebagai yang utama.
Hanya dengan cara begini kita akan berbuah. Artinya: hidup kita berbuah bagi orang lain. Sehingga mereka memahami kasih Kristus. Semuanya itu terjadi jika kita tetap tinggal di dalam Kristus. Sebab di luar Dia, kita tak dapat berbuat apa-apa.
Selamat berbuah!
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa