Menjadi Gembala
Paskah mengubah segalanya. Kebangkitan Yesus menransformasi para murid. Itu terlihat dalam diri Petrus saat memberi pertanggungjawaban atas tindakannya. Ia tidak gentar menghadapi sidang mahkamah agama.
Petrus sungguh mengalami transformasi. Dari pribadi yang melepaskan tanggung jawab seorang murid, Petrus menjadi pribadi yang tampil ke depan. Ia tidak bersikap lempar batu sembunyi tangan. Dari pribadi yang gentar menghadapi seorang pelayan perempuan imam besar, Petrus berubah menjadi sosok berani yang mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan imam besar dan koleganya.
Keprihatinan
Semua bermula dari keprihatinan Petrus dan Yohanes terhadap seorang lumpuh yang mengemis di Bait Allah. Mereka prihatin sebab ada yang tidak indah di Gerbang Indah itu.
Yang tidak indah adalah itu ialah keberadaan si lumpuh. Entah sudah berapa lama dia berbaring di situ. Lukas memang tidak mencatat nama orang tersebut, tetapi dia menyatakan bahwa orang itu lumpuh sejak lahirnya. Itulah kenyataan yang dilihat Petrus dan Yohanes: di Gerbang Indah itu ada yang tidak indah.
Ada yang kurang di Gerbang Indah itu. Dan Petrus berusaha untuk mengisi kekurangan itu.Di sini memang dibutuhkan kepekaan. Kepekaan untuk memperhatikan ada yang kurang di Gerbang Indah itu. ada yang tidak indah di Gerbang Indah itu. Kepekaan untuk melihat senjang antara apa yang ada dan apa yang sebaiknya; antara fakta dan cita-cita; antara kenyataan dan impian. Dan dari kepekaan itulah timbul keprihatinan.
Keprihatinan Petrus dan Yohanes memang tidak sekadar keprihatinan. Mereka tidak berhenti pada fakta, kenyataan, apa yang ada, namun mereka melanjutkan dengan cita-cita, impian, apa yang sebaiknya. Keprihatinan itu tersirat dalam kalimat mereka, “Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu: Dalam nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, bangkit dan berjalanlah!”
Mereka memang tak memiliki apa yang dibutuhkan pengemis itu. Mereka tak punya uang sebagai sedekah. Tetapi, yang mereka memiliki jauh lebih berharga dari uang. Mereka memiliki Yesus, yang bangkit dari antara orang mati. Mereka telah merasa kebangkitan Yesus dalam diri mereka. Dan mereka ingin si lumpuh juga mengalami kebangkitan Yesus itu dalam dirinya.
Tuhan menjawab keprihatinan mereka. Si lumpuh berjalan. Di Gerbang Indah itu tak ada lagi orang yang mengemis karena lumpuh. Di Gerbang Indah itu tak ada lagi yang tidak indah. Gerbang Indah itu menjadi sungguh-sungguh indah, bukan sekadar sebutan. Dan semuanya itu berawal dari keprihatinan. Keprihatinan yang muncul karena kepekaan melihat dunia sekitar.
Buka Mata dan Telinga
Kisah ini memperlihatkan pentingnya bagi kita untuk membuka mata dan telinga. Untuk menyaksikan dan mendengarkan apa yang tidak indah di dunia yang indah ini. Jangan tutup mata, apa lagi tutup telinga.
Sebenarnya, kita tak mungkin menutup telinga. Berbeda dengan mata, telinga tidak mempunyai kelopak yang dapat digerakkan. Tetapi, terkadang, bahkan sering, orang mendengarkan apa yang ingin dia dengarkan. Itu persoalan besar di bumi manusia ini. Kebanyakan orang ingin mendengar hanya yang ingin dia dengar.
Kedua murid Yesus itu berbeda dengan orang kebanyakan. Mereka menyaksikan si lumpuh yang terbaring, dan mendengarkan apa yang dikatakannya. Penglihatan dan pendengaran yang baik akan menolong kita untuk lebih mampu melihat senjang antara apa yang ada dan apa yang seharusnya. Penglihatan dan pendengaran yang baik akan memampukan kita pula untuk menggerakkan organ tubuh lainnya, sehingga mengubah impian menjadi kenyataan.
Petrus menggunakan mulutnya. Dia berkata, ”Pandanglah kami.” Orang itu pun menatap mereka dengan harapan akan mendapat sesuatu. Orang lumpuh itu memandang Petrus dan Yohanes. Demikianlah kenyataaannya. Namun, kenyataan lainnya: Petrus dan Yohanes juga memandang orang tersebut.
Dan kenyataan inilah yang membuat murid itu semakin memahami kebutuhan orang tersebut. Mereka semakin memahami harapan yang terkandung dalam diri orang tersebut. Mereka semakin tahu apa yang sesungguhnya dibutuhkan si lumpuh. Dia memang butuh sedekah. Tetapi, di dalam hatinya, yang paling dalam, yang dibutuhkan lebih dari sedekah. Petrus tahu itu. Sehingga dia mengharapkan pertolongan Tuhan agar si lumpuh berjalan.
Tampaknya, kita perlu belajar untuk melihat kebutuhan dasar dalam diri seseorang. Jangan asal memberi! Pemberian itu kemungkinan besar hanya memiliki manfaat jangka pendek. Kita harus sungguh-sungguh memahami apa yang dibutuhkan. Dan ini hanya dapat kita lakukan jika kita sungguh-sungguh mengenal orang yang hendak kita tolong. Artinya, kita perlu penelitian dalam hal ini.
Inilah yang dilakukan Petrus dan Yohanes. Mereka bisa saja memberi sedekah. Atau, mendorong orang untuk memberi sedekah. Namun, hal itu tidak menjawab kesulitan si lumpuh. Sebab, bagaimanapun, dia tetap lumpuh.
Gembala Baik
Pemulihan si lumpuh, yang biasa mengemis di dekat pintu Gerbang Indah, berbuntut panjang. Imam-imam kepala dan pengawal Bait Allah serta orang-orang Saduki marah dan menjebloskan Petrus dan Yohanes ke penjara.
Mengapa Petrus dan Yohanes memulihkan si lumpuh? Sepertinya mereka hanya ingin mengikuti jejak Sang Guru, yakni menjadi gembala. Semasa hidup, Sang Guru pernah berkata, ”Akulah gembala yang baik.” Bicara soal gembala pastilah asosiasi para murid waktu itu tertuju pada figur gembala yang digambarkan Daud dalam Mazmurnya.
”TUHANlah gembalaku, takkan kekurangan aku” (Mzm. 23:1). Daud menggambarkan Allah sebagai Pribadi yang senantiasa siap mengisi kekurangan domba-domba-Nya. Dan itu hanya mungkin terjadi kala mengetahui kebutuhan dasar domba-domba tersebut.
Itulah yang dilakukan Petrus dan Yohanes. Mereka paham benar kebutuhan dasar si lumpuh dan mencoba mengisi kekurangan yang ada padanya.
Tak hanya itu. Mereka pun mau memberikan nyawanya. Lagi-lagi kedua murid itu belajar untuk bertindak sebagaimana Sang Guru. Kemungkinan, mereka teringat kalimat yang pernah diucapkan-Nya: ”Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya.” (Yoh. 10:11-12)
Ya, Gembala Baik tak hanya memberi makanan, tetapi juga nyawanya bagi domba-domba-Nya. Baik Petrus maupun Yohanes tidak hanya menolong si lumpuh, namun memberi penjelasan kepada banyak orang yang heran menyaksikan mukjizat itu.
Bahkan, keheranan orang banyak itu menjadi kesempatan bagi mereka untuk memberitakan Kristus. Di mata Petrus dan Yohanes, keheranan itu merupakan pijakan untuk bercerita tentang Yesus yang bangkit, yang mereka percaya juga telah membuat si lumpuh berjalan. Mereka tidak takut untuk menyaksikan kebangkitan Yesus, di tengah orang banyak. Bahkan, di hadapan mahkamah agama mereka menekankan tindakan penyaliban atas Yesus Orang Nazaret.
Sejatinya kedua murid itu tidak ingin mengalami kebangkitan Yesus sendirian. Yang pasti mereka ingin menjadi gembala seperti guru mereka: tak hanya memenuhi kekurangan, tetapi juga mau menyabung nyawa demi domba-dombanya. Ya, mereka cuma ingin menjadi gembala!
Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media
Foto: Istimewa