Menjadi Manusia Merdeka

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu? Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi, jikalau Aku, Tuhan dan Gurumu, membasuh kakimu, kamu pun wajib saling membasuh kakimu. Sebab, Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu” (Yoh. 13:12-15).

Jelaslah, Yesus ingin para murid-Nya—orang-orang yang mengakui Yesus sebagai Guru dan Tuhan—meneladan sikap dan perbuatan-Nya. Jika kita menyebut Yesus Orang Nazaret itu Tuhan, kalimat berikut langsung menjadi norma.

Bagaimana caranya? Apakah dasar yang harus dimiliki seseorang agar mampu melakukan apa yang Yesus lakukan? Tentunya, dasar pertama dan terutama adalah pribadi Yesus sendiri. Dan di Kamis Putih ini Yesus memperlihatkan dirinya sebagai Pribadi Merdeka. Salah satu syarat agar dapat meneladan Yesus adalah berpikir, bersikap, dan bertindak merdeka sebagaimana Diri-Nya.

Yesus Orang Nazaret adalah orang merdeka. Kemerdekaan-Nya terlihat dalam kata kerja yang dicatat penulis Injil Yohanes. Kemerdekaan-Nya tampak ketika Dia bangun, menanggalkan jubah-Nya, mengambil sehelai kain linen dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian menuangkan air ke dalam sebuah baskom, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya dan menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu. Bangun, menanggalkan, mengambil, menuangkan, membasuh, dan menyeka—semua kata kerja ini—menandakan kemerdekaan Orang Nazaret itu. Yesus melakukannya sendirian. Ia tidak perlu memaksa orang lain untuk melakukannya. Tindakan-Nya tidak tergantung adakah orang lain melakukannya atau tidak? Orang lain boleh saja tidak melakukannya, tetapi Yesus melakukannya. 

Yesus merdeka. Ia tidak berpikir apa kata orang dengan tindakan-Nya itu. Bahkan Ia menjungkirbalikkan pemahaman bahwa di pundak orang-orang kecillah terletak tanggung jawab dalam membasuh kaki. Pada masa itu, yang biasa terjadi, pelayanlah yang membasuh kaki tuannya atau muridlah yang membasuh kaki gurunya. Namun, Yesus membongkar pemahaman itu dan membangun pemahaman baru: Tuhan pun boleh, bahkan harus, membasuh kaki hamba-Nya; guru pun boleh, bahkan mesti, membasuh kaki para murid-Nya.

Yesus merdeka. Ketika Petrus memohon agar Sang Guru membasuh tidak hanya kaki, tetapi juga tangan dan kepala, Yesus menolak. Yesus tidak mau dipaksa. Ini contoh dari kemerdekaan sebuah tindakan. Yesus merdeka dalam bertindak, namum bukan berarti tanpa prinsip. Kemerdekaan tindakan-Nya itu ada dasarnya. Tidak asal bertindak. Juga tidak, yang penting beda. Bukan. Bukan itu! Dalam pandangan Yesus, siapa yang telah mandi, tidak usah membasuh diri lagi selain membasuh kakinya, karena ia sudah bersih seluruhnya.

Salah satu teladan dalam peristiwa pembasuhan kaki ini bukanlah pada pembasuhan kaki itu sendiri, tetapi dalam pikiran, sikap, dan tindakan Yesus sebagai manusia merdeka.

Menarik disimak peristiwa pembasuhan kaki ini dilakukan Yesus pada perjamuan Paskah. Bagi bangsa Israel, perayaan Paskah merupakan perayaan kemerdekaan mereka sebagai suatu bangsa. Mereka biasa memperingatinya dengan cara menyembelih anak domba jantan, tidak bercela, dan berumur setahun. Darah anak domba jantan itu diambil sedikit dan dibubuhkannya pada kedua tiang pintu dan ambang atas. Dagingnya dimakan bersama roti tidak beragi dan sayur pahit. Memang bukan suatu yang lazim bagi kebanyakan bangsa.

Namun, makna dari makan Paskah ini ialah bahwa kemerdekaan Israel bukanlah direbut dengan perjuangan angkatan bersenjata. Allahlah yang turun tangan dalam mengupayakan kemerdekaan Israel. Bagian umat Israel adalah percaya kepada Allah.

Dan pada peristiwa makan Paskah itu, Yesus memperlihatkan pikiran, sikap, dan tindakan sebagai manusia yang telah dimerdekakan Allah. Bagi Yesus, kemerdekaan bukanlah melulu berorientasi pada hak, tetapi lebih berorientasi pada kewajiban. Dan kewajiban manusia merdeka ialah melayani sesama. Melayani adalah ciri kemerdekaan manusia.

Orang yang senantiasa masih ingin dilayani sesungguhnya bukan manusia merdeka. Sebab, hal itu berarti dia masih menggantungkan diri kepada orang lain. Di mana kemerdekaannya, jikalau orang selalu ingin dilayani?

Dan inilah perintah baru itu: Menjadi manusia merdeka!

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa