Menjadi Saksi

Published by Yoel M. Indrasmoro on

Siapakah Allah dalam benak Saudara? Pribadi macam bagaimanakah yang ada dalam pikiran Saudara?

Sebagian orang memandang Allah sebagai Pribadi Yang Mahakasih sehingga tidak perlu menjaga kekudusan hidupnya. Pokoknya: Allah itu mahakasih, asal kita minta ampun kepada-Nya pasti Dia akan memberikannya. Salah-salah dikit, nggak apa-apalah! Allah tahu kok bahwa kita ini debu! Namanya juga manusia! Bukankah tugas Allah itu mengampuni?

Sebaliknya, ada yang memandang Allah sebagai Yang Mahakuasa yang senantiasa mengawasi dan siap menghukum umat! Mereka menjadi takut bertemu dengan Allah. Sulit bagi mereka untuk bersikap bebas di hadapan Allah. Kalaupun melakukan kehendak Allah, itu semua karena takut akan hukuman. Pertanyaannya: Allah seperti apakah yang Saudara kenal?

Pribadi Allah

Kedua ektrem tadi bukanlah pandangan yang tepat. Allah itu mahakasih sekaligus mahakuasa. Marilah kita memandang Allah sebagai pribadi yang kasih lagi perkasa. Sehingga ketika kita merasa sedikit kurang ajar kepada Allah; ingatlah bahwa Allah yang Mahakuasa itu bisa menghukum kita. Atau, kalau kita merasa ketakutan bertemu dengan Allah. Ingatlah bahwa Allah mengasihi kita.

Mari kita melihat konsep pemazmur mengenai Allah dalam Mzm 147:1-6:

Haleluya! Sungguh baik bermazmur bagi Allah kita,

Sungguh indah mengangkat nyanyian pujian.

TUHAN membangun Yerusalem,

Ia mengumpulkan orang Israel yang tercerai-berai;

Ia menyembuhkan orang yang hancur hatinya

dan membalut luka-luka mereka;

Ia menentukan jumlah bintang-bintang

dan menyebut Namanya satu per satu.

Besarlah Tuhan kita dan hebat kekuatan-Nya,

kebijaksanaan-Nya tak terhingga.

TUHAN menegakkan kembali orang yang tertindas,

tetapi merendahkan orang fasik sampai ke tanah.

Demikianlah Allah yang diperkenalkan pemazmur. Allah diperkenalkan sebagai Pribadi yang membangun, mengumpulkan umat yang tercerai-berai, menyembuhkan orang yang hancur hatinya, menegakkan kembali orang yang tertindas. Namun, pemazmur juga memperkenalkan Allah sebagai pribadi yang merendahkan orang fasik. Dia adalah Pribadi yang berkuasa memberikan pengampunan; sekaligus Pribadi yang berkuasa pula menghukum.

Allah yang Mahamurah itu jugalah yang diperkenalkan Yeremia. Yeremia bernubuat: ”Aku akan mengubah dukacita mereka menjadi sukacita, akan menghibur dan membuat mereka gembira lepas dari kedukaan mereka. Aku akan memuaskan para imam dengan kelimpahan, dan umat-Ku akan  kenyang dengan kebajikan-Ku, demikianlah firman TUHAN” (Yer. 31:13-14).

Perhatikan, ”Aku akan mengubah, Aku akan menghibur, Aku akan memuaskan, dan umat-ku akan menjadi kenyang.” Nubuat itu memang belum terjadi. Perhatikan penggunaan ”akan” tadi. Itulah harapan Israel.

Yesus: Puncak Pengharapan Israel

Dan harapan Israel itu terwujud dalam diri diri Yesus Kristus. Nubuat itu tergenapi dalam diri Yesus Kristus—Allah yang menjadi manusia. ”Sebab dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima anugerah demi anugerah” (Yoh. 1:16).

Nah, ”kita” yang dimaksud di sini adalah Israel Baru. Pada kenyataannya, Israel sebagai umat pilihan Allah memang tidak mampu mempertahankan identitas mereka sebagai umat pilihan. Kisah Israel adalah kisah sebuah bangsa yang menganggap remeh pilihan Allah itu. Tak heran, Allah membuang mereka ke Babel.

Dalam pembuangan di Babel, mereka berharap dipulihkan. Kenyataannya mereka memang dipulihkan. Mereka pulang kembali ke Yerusalem. Namun, mereka tidak mampu mempertahankan identitas mereka sebagai umat pilihan. Bahkan, mereka menolak Yesus.

Oleh karena itulah, status umat pilihan itu diberikan kepada orang-orang yang mau menerima-Nya. Orang-orang yang menerimanya itu disebut Israel Baru. Saya dan Saudara adalah Israel Baru!

”Sebab, dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima anugerah demi anugerah” (Yoh. 1:16). Demikianlah catatan Penginjil Yohanes mengenai Yesus, Allah yang menjadi manusia. Kehadiran Allah di dunia tidaklah sekadar memancarkan kemuliaan-Nya. Lebih dari itu, Allah merupakan Pribadi yang menganugerahkan anugerah demi anugerah. Dengan kata lain, penganugerahan itu bersifat ajek, tak terputus.

Hidup Kudus

Namun, semuanya itu bukan tanpa tujuan. Penganugerahan itu dimaksudkan agar umat kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya (Ef. 1:4). Tentunya, kekudusan itu perlu maujud dalam tindakan sehari-hari agar semakin banyak orang merasakan anugerah Allah melalui umat-Nya. Umat hanyalah saluran anugerah Allah. Dengan kata lain, umat harus menjadi saksi.

Menjadi saksi tidaklah dimulai dari ujung dunia, tetapi di Yerusalem. Kepercayaan dari komunitas terdekat merupakan modal terbesar seorang saksi. Menjadi saksi berarti memperlihatkan Kristus! Menyatakan Kristus dalam hidup kita sehingga orang lain dapat melihat Kristus dalam diri kita. Nyatakanlah perasaan dan pikiran Kristus dalam hidup kita! Sehingga orang lain bisa merasakannya.

Memperlihatkan Kristus berarti tidak hanya memperlihatkan Kristus yang penuh belas kasihan belaka, melainkan juga Kristus yang sanggup menghukum. Jangan hanya memperlihatkan Kristus sebagai Juruselamat saja—yang Mahakasih; tetapi juga perkenalkan Kristus sebagai Tuhan—yang Mahakuasa!

Pada kenyataannya ini yang sering terjadi. Gereja menjadi begitu toleran terhadap kesalahan. Efisiensi dan Efektifitas dianggap bukan bagian dari gereja. Semua orang diminta untuk memaklumi kesalahan. Ini merupakan penerapan yang salah dari prinsip kasih. Kasih adalah hal utama. Akan Tetapi, kasih tidak berarti kompromi! Allah itu kasih, lagi perkasa!

Menjadi saksi berarti memperlihatkan Kristus dalam diri kita! Menjadi saksi berarti selalu berpikir, bersikap, dan bertindak di dalam Kristus! Itu pulalah yang diulang-ulang dalam surat Paulus kepada jemaat di Efesus.

Hidup kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya tidaklah berarti cukup dengan berpangku tangan saja, dan tidak berbuat jahat. Tidak! Kita dipanggil untuk bertindak! Hidup kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya berarti hidup sebagaimana Kristus hidup! Dan selama hidup-Nya Yesus melakukan apa yang baik!

Mungkin, ada nada protes dalam diri Saudara: apa-apa dihubungkan dengan Kristus! Jika memang demikian, izinkan saya bertanya: Bukankah kita senang disebut Kristen? Kristen artinya pengikut Kristus. Masak mau disebut Kristen, tapi tidak mau mengikuti Kristus?

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Yoel M. Indrasmoro