Merayakan Kematian

Published by Yoel M. Indrasmoro on

Hari ini, 19 April 2025, diperingati Gereja sebagai Sabtu Sunyi. Ada juga yang menyebutnya Holy Saturday. Lalu, apa yang hendak kita peringati dan rayakan? Jawab singkatnya: merayakan kematian Kristus.

Sejatinya kematian merupakan peristiwa menyesakkan. Meski kita masih dapat melihat jasadnya, ada jarak yang tak terlampaui. Tak ada komunikasi antara kita dengan orang yang telah meninggal. Kita juga tidak pernah tahu, apa yang dirasakan dan yang dipikirkannya. Semuanya serbagelap. Kubur memang gelap. Tak ada cahaya di sana! Tak heran, banyak orang takut mati!

Apa Kata Alkitab?

Sesungguhnya Alkitab tidak menceritakan dengan jelas apa yang dialami dan dirasakan Yesus Orang Nazaret pada Sabtu Sunyi itu. Sang Guru tidak pernah membagikan pengalaman-Nya sewaktu berada dalam kubur. Kematian memang misteri.

Injil-injil diam berkait dengan Sabtu Sunyi. Satu hari itu memang tanpa cerita. Kisah penyaliban dilanjutkan dengan pemakaman di makam Yusuf Orang Arimatea. Kubur pun ditutup dengan batu besar. Semuanya serbagelap.

Kematian Yesus membuat para murid-Nya bingung. Mungkin mereka heran, guru mereka diam saja ketika menjalani prosesi kematian itu. Bisa jadi mereka berharap pada saat-saat terakhir Yesus membuat mukjizat. Berharap pada detik-detik terakhir menjelang kematian-Nya, Yesus turun dari salib dan mengumandangkan seru kemenangan. Kemungkinan besar semua orang yang ada di Golgota saat itu akan langsung percaya kepada-Nya. Harapan tinggal harapan. Di salib itu Yesus berseru, ”Sudah selesai!”

Ya, sudah selesai! Kehidupan yang begitu semarak dari seorang anak Nazaret berakhir dengan kematian. Sebagaimana manusia lain, Dia hidup, bekerja, dan akhirnya mati. Punahlah semua harapan, cita-cita, juga khayalan. Semuanya berakhir dalam kematian! Maut membuat semua cita yang diharap musnah.

Itulah kematian. Dan segenap murid akhirnya tinggal dalam nestapa, tanpa arah, juga tujuan. Semuanya telah berakhir. Kematian telah menghilangkan segala-gala. Mau apa lagi, Yesus sudah mati!

Harapan

Berkait kematian, Ayub pernah membandingkan antara pohon dan manusia. ”Sesungguhnya masih ada harapan bagi pohon,” kata Ayub, ”jika ditebang, ia bertunas kembali, dan tunasnya tidak berhenti tumbuh” (Ayb. 14:7). Ya, pohon ditebang belum tentu mati, dia masih bisa hidup normal. Tinggal menunggu waktu dan sikon yang baik. Manusia berbeda.

Dalam ayat 10-12 Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Tapi bila manusia mati, habis riwayatnya; ia meninggal dunia, lalu ke mana perginya? Seperti air menguap dari dalam telaga, seperti sungai surut sampai habis airnya, begitu pula manusia yang telah mati: ia tidak akan dapat bangkit kembali. Ia tak akan terjaga selama langit masih ada, tak pernah lagi bangun dari tidurnya.”

Pohon mati, masih ada di bumi; manusia mati, raib dari dunia orang hidup. Dia tidak ada lagi. Karena itu, ini hal baik yang kita bisa simak dari Ayub: ”Aku akan berharap selama hari-hari pergumulanku, sampai tiba kelepasannku” (Ayb. 14:14).  

Dalam pergulamannya, Ayub masih berharap. Ia percaya Allah tidak akan memperhatikan dosanya. Dengan perkataan lain, di dalam hati kecilnya Ayub percaya bahwa Allah itu baik, lagi adil.

Harapan Ayub sejatinya logis. Tentang dia, Allah berkata kepada Iblis, ”Sesungguhnya, tak ada seorang pun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah, dan menjauhi kejahatan. Ia tetap tekun dalam kesalehannya, meskipun engkau telah menghasut Aku melawan dia untuk mencelakakannya tanpa alasan” (Ayb. 4:3). Allah sendiri memuji Ayub. Pergumulan, bahkan, kematian pun semestinya tak perlu membuat dia risau. Dan memang, dalam pergumulannya, Ayub kemudian berseru: ”Aku tahu Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit membelaku di atas bumi” (Ayb. 19:25).

Nasihat Petrus

Sejatinya, kematian sekalipun tidak akan memisahkan kita—orang-orang percaya abad ke-21—dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus (Rm. 8:39). Oleh karena itu, kepada para pembaca suratnya, Petrus menulis: ”Kesudahan segala sesuatu sudah dekat. Karena itu, kuasailah dirimu dan waspadalah, supaya kamu dapat berdoa” (1Ptr. 4:7).

Ya, Petrus mengingatkan bahwa kehidupan di dunia ini terbatas. Waktu akan terus membawa kita makin mendekati kematian. Sehingga menguasai diri dan waspada merupakan hal logis agar kita memiliki waktu untuk berdoa. 

Doa adalah persekutuan dengan Allah. Dan persekutuan itu tidak akan putus oleh kematian. Kematian sesungguhnya cuma pindah tempat—dari kefanaan ke kekekalan. Pengikut Kristus tidak akan pernah musnah, lenyap, dan binasa. Kematian hanyalah awal dari kehidupan kekal.

Menarik diperhatikan, bagaimana Yesus mengakhiri tubuh jasmaniah-Nya. Dalam Injil Yohanes tertera: ”Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya” (Yoh. 19:30). John Stott menyatakan bahwa Yesus tidak mati dahulu, lalu kepala-Nya terkulai. Akhir tubuh jasmaniah Yesus terjadi dalam persekutuan dengan Bapa-Nya. Dan karena itu, bagi Yesus Orang Nazaret kematian bukanlah akhir!

Itu jugalah yang terjadi. Bagi orang percaya kematian bukanlah akhir segalanya. Itu jugalah yang dikatakan Yohanes dalam Kitab Wahyu: ”Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang.” ”Sungguh,” kata Roh, ”supaya mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka” (Why. 14:13).

Persekutuan dengan Allah di bumi sini akan berlanjut dengan persekutuan dengan Allah di surga sana. Kematian semestinya bukan hal yang menakutkan karena kita bersama Allah. pada titik ini perayaan kematian menjadi kemestian.

Terlebih lagi, Yesus bangkit. Dan tak hanya Yesus yang bangkit, semua orang yang mati dalam persekutuan dengan-Nya juga akan bangkit bersama Dia dan beroleh hidup kekal.

Sekali lagi, inilah yang kita rayakan pada Sabtu Sunyi, yakni merayakan kematian. Caranya? Dengan kembali menelisik kehidupan yang telah kita lalui. Apakah kita telah sungguh-sungguh bersekutu dengan Allah. Dan persekutuan dengan Allah itu seyogianya terpancar dalam tingkah laku sesehari.

Itu jugalah yang dinyatakan Petrus dalam suratnya: ”Yang terutama: Kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa” (1Ptr. 4:8). Mungkin di antara kita agak kurang memahami maksudnya. Namun, Dalam Perjanjian Baru dalam Bahasa Indonesia Sederhana tertera: ”Yang lebih penting dari semua itu, kalian harus sungguh-sungguh mengasihi satu sama lain, sebab dengan saling mengasihi, kalian akan mampu untuk saling mengampuni.”

Ya, mengasihi memampukan kita untuk mengampuni. Dan itulah tanda yang tampak dari persekutuan dengan Allah.

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa