Pekerja Sedikit

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak mempunyai gembala” (Mat. 9:36). Kalimat ini sangat mengesankan saya.

Dan itu merupakan kelanjutan dari kalimat sebelumnya: ”Yesus berkeliling ke semua kota dan desa. Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan menyembuhkan orang-orang dari segala penyakit dan kelemahan” (Mat. 9:35).

Perhatikan kata kerja yang dipakai: berkeliling, mengajar, memberitakan Injil, dan menyembuhkan. Sang Guru dari Nazaret tidak diperlihatkan sebagai Pribadi yang diam termangu, tetapi Sosok yang selalu bergerak; tak mau diam.

Jelaslah, Yesus adalah Pribadi yang sungguh memahami misi-Nya. Oleh karena itu, Ia tak pernah diam dalam sekejap. Bahkan, ada catatan dalam Injil lain bahwa untuk makan pun Ia tidak punya waktu.

Mengapa Yesus melakukan semuanya itu? Hanya satu jawaban: Dia sungguh mengetahui dan menjalani misi-Nya. Pada suatu kesempatan, putra Maria itu berkata, ”Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani (Mrk. 10:45).

Melihat

Berhenti sampai di situ? Tidak. Penulis Injil Matius menyatakan, setelah melihat orang banyak itu, maka tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan.

Yesus melihat. Guru dari Nazaret itu tidak menutup mata. Mata-Nya senantiasa terbuka. Keterbukaan mata itulah yang membuat-Nya mampu memahami keadaan orang banyak itu. Kepedulian memang biasa bersumber dari keinginan untuk senantiasa membuka indra penglihatan. 

Sengaja dipakai istilah membuka indra penglihatan karena begitulah cara kerja mata. Kelopak mata memang dicipta Tuhan tidak bekerja secara otomatis. Berbeda dengan jantung yang bergerak di luar kesadaran manusia, terbuka dan tertutupnya kelopak mata dipengaruhi otak. Kelopak mata tidak bekerja secara otomat. Sekali lagi tidak. Otaklah yang memerintahkan kapan kelopak mata harus terbuka atau tertutup.

Tak heran, jika ada orang yang kadang menutup mata terhadap kenyataan sekitarnya atau pura-pura tidak melihat. Hal macam begitu tidak terjadi dalam diri Yesus orang Nazaret. Sang Guru memperhatikan semua kenyataan itu. Dan semuanya itu terjadi bukan saat diam di rumah, namun kala Dia berkeliling ke semua kota dan desa.

Tentunya, tak hanya membuka mata, tetapi juga membuka telinga. Berbicara soal telinga, tak ada kelopak telinga; yang ada hanyalah daun telinga. Artinya, dalam kondisi normal telinga bisa menangkap semua suara. Tak ada seleksi jenis suara. Semua suara bisa masuk ke dalam gendang telinga. Ketika Yesus melihat, pada hemat saya, Dia juga mendengar.

Dengan kata lain, Yesus membuka mata dan telinga. Keterbukaan mata dan telinga itulah yang membuat Yesus juga terbuka hati-Nya. Perhatikan sekali lagi kesimpulan penulis: ”Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka….” Sekali lagi, hati yang penuh belas kasih itu digerakkan oleh satu kegiatan fisik: melihat dan tentu juga mendengar.

Yesus melihat. Dan Dia tetap melihat, bahkan melihat lebih dalam. Dia tidak langsung menutup mata setelah menyaksikan keadaan orang banyak itu. Dia tetap ingin membuka mata-Nya.

Sang Guru dari Nazaret itu tidak hanya asal melihat. Dia juga tidak hanya melihat orang banyak itu sebagai kumpulan. Dia melihat pribadi-pribadi.

Kisah Abraham

Ini jugalah yang tampak dalam kisah Abraham (Kej. 18:1-15). Allah merasa perlu turun ke dunia untuk bercakap-cakap dengan Abraham. Alah tidak hanya memperhatikan dari jauh, tetapi Dia menghampiri dan menyapa Abraham.

Allah sungguh memahami bahwa persoalan terbesar Abraham hanya satu: keturunan. Dan karena soal itu pulalah Abraham merasa perlu melakukan tindakan yang seharusnya tidak dilakukan, yaitu saat dia mengambil Hagar menjadi istrinya.

Allah sungguh mengerti persoalan Abraham. Dia memahami bahwa sebagai kepala suku, Abraham butuh seorang penerus yang akan memimpin suku tersebut. Dan Allah menjawab kebutuhan itu seturut dengan kehendak-Nya.

Jawaban atas janji keturunan itu bukan hanya untuk memuaskan keinginan Abrahan, tetapi memang seturut rencana Allah yang hendak menjadikan Abraham sebagai bangsa besar. Ya, bagaimana menjadi bangsa besar kalau tidak punya anak bukan? Di atas semuanya itu Allah peduli. Tak hanya peduli, Allah bertindak.

Berbagi Tanggung Jawab

Lebih jauh, Yesus melihat orang banyak itu sebagai orang yang tidak mempunyai gembala. Yesus melihat orang banyak itu sebagai sekelompok orang yang tanpa arah. Orang banyak itu tanpa kepala.

Dan tanpa kepala itu bukanlah hal ideal. Salah-salah tindakan anarkis bisa terjadi. Kenyataannya, anarkis berasal dari bahasa Latin an (tanpa) dan arkhe (kepala). Dan Yesus tidak ingin terjadi tindakan anarkis.

Lebih menarik untuk disimak, Yesus tidak berhenti pada kata melihat dan tergerak. Dia melakukan sesuatu. Yang dilakukan bukanlah mengambil semua pekerjaan sendirian. Saya yakin, Yesus sanggup mengerjakan semua tugas itu sendirian. Itukah yang dilakukan-Nya? Tidak. Yesus berbagi tanggung jawab.

Perhatikan pula kata-kata yang keluar dari mulut-Nya: ”Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit.” Ada semacam pengakuan dalam kalimat tersebut. Tuaian banyak, persoalannya pekerja sedikit.

Apa yang dimaksud dengan kata sedikit di sini? Jangan kita hanya berkata soal kuantitas di sini, karena dari segi kualitas memang sungguh-sungguh sedikit. Misalnya: dalam dunia pendidikan kita bisa bertanya, ”Bagaimanakah tingkat kualitas guru? Tinggi atau rendah?”

Berkaitan dengan kualitas, saya sependapat dengan guru saya, Yesus dari Nazaret, ”Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit.” (Mat. 9:38). Dalam pengertian, yang sungguh-sungguh berkualitas memang sedikit. Dan karena itulah, Yesus mengajak para murid untuk memohon kepada yang punya tuaian untuk mengirimkan penuai.

Sekali lagi, Sang Guru dari Nazaret tidak hanya berhenti pada kata melihat dan tergerak. Dia bertindak. Dan tindakan-Nya cukup kontroversial. Dia mempercayakan pekerjaan-Nya kepada orang yang beragam. Perhatikan kedua belas orang yang dipanggil itu: ”Simon yang disebut Petrus dan Andreas saudaranya, dan Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya, Filipus dan Bartolomeus, Tomas dan Matius pemungut cukai, Yakobus anak Alfeus, dan Tadeus, Simon orang Zelot dan Yudas Iskariot yang mengkhianati Dia.” (Mat. 10:2-4)

Tampaklah keberagaman itu, baik dari profesi—nelayan, pemungut cukai, pemberontak, cendekiawan—maupun sifatnya—petrus yang spontan, Yohanes yang pemikir, Tomas yang senantiasa menuntut bukti, Matius yang tak peduli akan hal rohani, Simon orang Zelot yang tukang demo. Orang-orang yang beragam itu berharga di mata Yesus. Sekali lagi, Yesus memanggil orang-orang tersebut untuk mengambil alih tugas-Nya.

Perhatikan perintah Sang Guru: ”Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Surga sudah dekat. Sembuhkanlah orang sakit; bangkitkanlah orang mati; tahirkanlah orang yang sakit kulit; usirlah setan-setan.” (Mat. 10:7-8). Tampak bahwa para murid diutus untuk melakukan apa yang Yesus lakukan!

Dengan lain perkataan, kita seharusnya tidak cukup puas menjadi orang yang dilayani dan diperhatikan Allah. Kita harus menjadi pihak yang melayani dan memperhatikan sesama. Saudara dan saya dipanggil untuk memperhatikan orang lain pula, khususnya mereka yang tidak mampu memperhatikan dirinya sendiri. Dengan catatan: kita telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma.

Pertanyaannya: maukah kita?

Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media

Foto: Istimewa