Pengakuan Dosa

Simon terpana. Tak disangkanya, guru yang menyembuhkan ibu mertuanya itu ternyata punya kuasa besar. Tak hanya mampu bertindak sebagai tabib, Ia punya kuasa dan keahlian lebih dari nelayan danau Genesaret.
Mulanya Simon sendiri enggan menjalankan perintah Yesus. Tampaknya, ia tak enak hati dengan penolong ibu mertuanya itu. Bagaimanapun, ia telah merasakan pertolongan-Nya. Dialah saksi bahwa Sang Guru memang punya kebolehan.
Tak hanya itu, Simon juga merasakan begitu banyak orang menghormati-Nya. Mereka begitu antusias mendengarkan ajaran-Nya. Menolak permintaan Sang Guru di hadapan para penggemarnya, tentulah kurang patut.
Ketaatan
Namun demikian, Simon tak mau hanya mengugu. Ketika Guru dari Nazaret itu memintanya untuk bertolak ke tengah danau dan menebarkan jala, Simon menukas, ”Guru, sepanjang malam kami telah bekerja keras, tetapi tidak menangkap apa-apa. Namun, karena perkataan-Mu itu, aku akan menebarkan jala juga” (Luk. 5:5).
Para nelayan andal itu telah bekerja sepanjang malam dan hasilnya nihil. Sebagai nelayan kawakan, Simon tidak malu mengakui kegagalannya. Namun, sekarang dalam perahu ada seorang guru dari pegunungan Nazaret, yang jago mengajar, tetapi bukan nelayan. Simon meragukan kapasitas-Nya.
Dengan kata lain, Simon hendak menegaskan: ”Lha wong, kami saja tak dapat menangkap ikan satu pun, apa lagi Engkau!” Akan tetapi,inilah kalimat Simon selanjutnya, ”Karena Engkau yang menyuruh kami taat!”
Secara rasio dan pengalaman selaku nelayan, mereka tak mungkin mendapatkan ikan. Namun, ketaatan memang melampaui rasio, juga pengalaman. Ketaatan itulah yang diperlihatkan Simon. Ia taat meski hati dan otak sulit menerimanya.
Ketaatan itu berbuah berkat. Tindakan Simon mendatangkan hasil. Begitu banyak ikan tertangkap sehingga mereka perlu bantuan nelayan-nelayan lain. Jala itu sarat ikan. Bahkan mulai koyak.
Di Hadapan Yesus
Anehnya, Simon tidak merasa diri sebagai orang yang diberkati. Ia tidak memuji Yesus atas perbuatan-Nya itu. Ia juga tidak merasa diri pantas menerima semuanya itu. Simon malah tersungkur di hadapan Yesus dan berseru, ”Tuhan, pergilah dariku, karena aku ini seorang berdosa.” (Luk. 5:8). Simon merasa tak layak berdekatan dengan Yesus. Ia memohon Yesus segera menjauh darinya.
Kita tak pernah tahu alasan Simon sesungguhnya. Kita juga tak pernah tahu secara persis dosa Simon. Yang pasti, di hadapan Yesus, Simon mengakui keberadaannya sebagai manusia berdosa.
Rasanya kita, pengikut Kristus abad XXI, perlu sejenak bertanya pada diri: ”Seandainya Yesus hadir di hadapan kita dengan segala kemuliaan-Nya, bagaimanakah sikap kita? Apakah kita merasa bangga karena Tuhan bersama kita? Apakah kita merasa sudah sepantasnya Tuhan bersama kita? Atau, sama seperti Simon kita mengakui keberadaan diri sebagai manusia berdosa?”
Ada persamaan sikap antara Simon dan Yesaya. Di masa Perjanjian Lama nabi Yesaya berbuat hal serupa saat menyaksikan kemuliaan Allah. Dengan ketakutan Yesaya berkata, ”Celakalah aku! Aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir…” (Yes. 6:5).
Sejatinya ada perbedaan hakiki antara manusia dan Allah. Allah itu suci, manusia berdosa; Allah itu mulia, manusia cemar. Dan karena itulah Daud dalam Mazmurnya menyatakan: ”Aku hendak sujud ke arah bait-Mu yang kudus dan memuji nama-Mu, oleh karena kasih-Mu dan oleh karena setia-Mu; sebab Kaubuat nama-Mu dan janji-Mu melebihi segala sesuatu.” (Mzm. 138:2).
Demikianlah yang seharusnya terjadi kala manusia bertemu Allah: pengakuan dosa. Sebab tiada manusia nirdosa. Setidaknya, tak ada manusia yang bebas dari kecenderungan berbuat dosa. Pengakuan dosa sejatinya memperlihatkan kembali kenyataan manusia di hadapan Allah.
Pengakuan dosa juga memperlihatkan kemahakasihan Allah. Allah memang membenci dosa, tetapi Ia mengasihi manusia berdosa. Ia tidak akan membuang manusia yang mengakui dosanya. Ia menerima mereka apa adanya. Sekali lagi, karena Allah mengasihi manusia.
Itulah yang terjadi dengan Simon dan Yesaya. Pengakuan dosa membuat mereka diampuni. Pengampunan dosa memang hanya akan bermanfaat bagi orang yang mengaku dosanya. Tanpa pengakuan dosa, pengampunan dosa tiada arti.
Kepada Simon, Yesus berkata, ”Jangan takut!” (Luk. 5:10); dan kepada Yesaya, Allah berkata, ”Lihat, bara ini telah menyentuh bibirmu, maka kesalahanmu telah disingkirkan dan dosamu telah dilenyapkan.” (Yes. 6:7). Jelaslah, Allah memandang baik sikap Simon dan Yesaya. Allah siap mengampuni, memulihkan, bahkan mengutus mereka.
Pengutusan
Setelah pengampunan dosa, Allah mengutus mereka! Allah tidak sembarang memanggil orang. Baik Yesaya maupun Simon sama-sama memahami keberadaan diri sebagai manusia berdosa di hadapan Allah. Itulah syarat utama seorang hamba Allah.
Sekali lagi, syarat utama hamba Allah bukanlah kemauan maupun kemampuan. Namun, apakah orang yang dipanggil itu memahami keberadaan diri di hadapan Allah.
Pengutusan Yesaya sebagai nabi tidak terjadi sebelum, tetapi setelah Yesaya mengakui keberadaannya sebagai pendosa. Demikian pula pengutusan Simon sebagai penjala manusia. Pengutusan Simon terjadi setelah nelayan danau Genesaret itu berseru, ”Tuhan, pergilah dariku, karena aku ini seorang berdosa.”
Pengakuan akan keberdosaan diri bukanlah sikap rendah diri, tetapi kerendahan hati. Dan kerendahan hati bersumber dari pengenalan diri. Orang yang mengenal dirinya cenderung akan bersikap rendah hati ketimbang orang yang tak mengenal dirinya sendiri.
Jika Yeyasa dengan lantangnya menjawab panggilan Tuhan itu dengan perkataan: ”Ini aku, utuslah aku!” (Yes. 6:8) dan jika Simon serta Yakobus dan Yohanes, menurut catatan Lukas mereka pun meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikut Yesus; sejatinya ini bukanlah bentuk kesombongan. Ini bentuk kepercayaan diri. Pengampunan dosa sesungguhnya akan membuat seseorang lebih percaya diri. Dan pengampunan dosa dimulai oleh pengakuan dosa.
Sekali lagi, percaya diri bukanlah kesombongan. Kesombongan biasanya bermula dari sikap rendah diri. Sedangkan rasa percaya diri bersumber dari sikap rendah hati. Dan karena mereka telah bersikap rendah hati, saat mengakui dosa, mereka menjadi lebih mampu untuk berkata, ”Ini aku, utuslah aku!”
Jawaban atas panggilan ini bukanlah sesuatu sikap sombong, tetapi karena mereka merasa telah dipulihkan. Telah dipulihkan berarti pula bahwa mereka dipercaya menjadi hamba-hamba-Nya. Dan sikap logis yang timbul dari orang-orang yang dipercaya ialah menjawab panggilan itu dengan penuh kepercayaan diri.
Dan itulah yang memampukan mereka siap mengikuti Allah ke mana pun! Perubahan itulah yang memampukan mereka menjadi hamba-Nya? Itu jugalah yang membuat mereka siap menjadi penjala manusia.
Menjala manusia artinya ”merenggut umat manusia dari kuasa maut dan membawanya kepada hidup”. Kenyataan ”maut” di sini bisa diartikan banyak: kemelaratan, kebodohan, ketakadilan, penindasan, perpecahan, tak adanya damai dan banyak lagi. Simon dan kawan-kawannya disuruh untuk merenggut manusia dari maut dan membawanya kepada Yesus. Supaya orang-orang yang dilayani menjadi pribadi yang merasa tak dilupakan Tuhan.
Semuanya itu dimulai dengan pengakuan dosa terlebih dahulu! Artinya, kita harus sungguh-sungguh diubah oleh Allah sendiri. Pertanyaannya: Maukah kita diubah?
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa