Perempuan Chipko: Pelukan yang Menjaga Kehidupan

Published by Admin on

Di lereng-lereng Himalaya, Garhwal, India Utara pada 1970-an—di tanah tempat Vandana Shiva dibesarkan, sekelompok perempuan adat berdiri menghadapi ancaman yang merusak hutan, air, dan tanah yang menjadi sumber kehidupan mereka. Tanpa senjata, tanpa sorotan media, dan tanpa dukungan teknologi, mereka melakukan tindakan yang sederhana namun sangat berani: mereka berdiri dan memeluk batang-batang pohon sebagai tanda perlawanan damai dan sebagai bentuk perlindungan hidup. Para perempuan itu dengan tegas mengatakan: Chop me before you chop my tree” ’tebang aku dulu sebelum kaumenebang pohonku’.

Tindakan ini bukan sekadar protes. Itu adalah ungkapan kasih paling murni terhadap ciptaan Tuhan, sebuah pengakuan bahwa pohon, tanah, dan air bukan sekadar sumber daya, melainkan bagian dari kehidupan yang dipercayakan kepada manusia untuk dijaga. Gerakan ini kemudian dikenal sebagai Chipko. Kata “Chipko” dalam bahasa Hindi berarti “melekat” atau “memeluk”. Dari sana gema keberanian mereka menyebar ke seluruh India, lalu ke seluruh dunia.

Vandana Shiva yang masih muda pada saat itu membawa kisah para perempuan ini melintasi batas-batas budaya dan bahasa. Ia menjadi suara yang memperkuat pesan sederhana namun agung: Bumi adalah rumah bersama, dan setiap makhluk—manusia, hewan, tumbuhan memiliki hak untuk hidup dan berkembang.

Semangat Chipko terus menyala dalam gerakan Demokrasi Bumi, sebuah visi di mana manusia tidak hidup sebagai penguasa alam, tetapi sebagai penjaga yang penuh hormat. Dari pelukan pada batang-batang pohon hingga perjuangan melindungi benih, pesan utamanya tetap sama: Ketika bumi dipulihkan dengan kasih, manusia pun kembali merasakan napas kehidupan yang suci.

Kini, ketika tekanan korporasi besar, monopoli benih, dan kerusakan ekologis semakin mengancam ciptaan Tuhan, Chipko mengingatkan kita bahwa kasih, keberanian, dan kesediaan untuk berdiri bersama tetap menjadi kekuatan paling ampuh yang kita miliki. Dengan damai, mereka menjaga kehidupan; dan dalam persatuan, mereka menyalakan kembali harapan yang Tuhan titipkan.

Para pencinta pohon itu berpendar harapan, bukan hanya dalam jejak sejarah yang dapat kita baca, tetapi juga dalam keheningan warisan rohani yang mereka tinggalkan. Dalam kesetiaan mereka, tertanam akar-akar yang tidak hanya meresap ke dalam bumi, tetapi juga ke kedalaman hati manusia yang mau mendengarkan sentuhan Tuhan dalam ciptaan-Nya. Akar itu berbisik bahwa menjaga bumi adalah panggilan suci yang ditanamkan Tuhan dalam jiwa manusia.

Repelita Tambunan | Sobat Media

Sumber Bacaan:

  1. The Chipko Movement: A People’s History, https://journals.lww.com/coas/fulltext/2022/20010/book_review.5.aspx
  2. Agarwal B. The gender and environment debate: lessons from India. Feminist Studies 1992; 181: 119-158.

Foto: Istimewa-arsip aksi perempuan dalam Gerakan Chipko, Himalaya Garhwal, India Utara (sekitar tahun 1973–1974)

Categories: Tala