Roti Kehidupan

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Akulah roti kehidupan” (Yoh. 6:35). Demikanlah pernyataan Yesus Orang Nazaret di hadapan orang banyak itu. Ia mengidentifikasikan diri-Nya dengan roti. Tanpa roti, manusia tak dapat hidup normal. Tanpa karbohidrat, manusia takkan memiliki energi untuk menjalani tugasnya sebagai manusia.

Ungkapan roti kehidupan hendak memperlihatkan bahwa Yesus adalah sumber kehidupan. Yesus adalah pokok kehidupan seperti halnya roti yang merupakan kebutuhan primer manusia. Ungkapan roti kehidupan juga mengandaikan bahwa Yesus memang bukan roti sembarang roti. Dialah roti yang tak hanya menguatkan jasmani, melainkan rohani manusia. Dengan tegas Dia berkata, ”Akulah roti kehidupan. Siapa saja yang datang kepada-Ku, ia tidak akan pernah lapar lagi, dan siapa saja yang percaya kepada-Ku, ia tidak akan pernah haus lagi.”

Roti kehidupan berarti roti yang memberi hidup. Tak hanya hidup masa kini, tetapi hidup masa datang. Tak heran, jika ungkapan ”Akulah roti kehidupan” tidak berhenti di situ saja. Ungkapan itu ada kelanjutannya: Siapa saja yang datang kepada Yesus, ia tidak akan pernah lapar lagi.

Perhatikan: ungkapan ”Akulah roti kehidupan” dilanjutkan dengan undangan! Siapa yang diundang? Setiap orang diundang untuk datang kepada Yesus, Sang Guru dari Nazaret. Setiap orang yang mendengar perkataan itu ditantang untuk menjalani hidup sebagai murid Kristus.

Perjamuan Kudus

Awal dari kemuridan adalah bersekutu dengan Sang Guru. Dengan tegas Yesus berkata, ”Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan untuk hidup dunia ialah daging-Ku” (Yoh. 6:51).

Memakan Tubuh dan Darah Kristus merupakan persekutuan sejati. Kata orang, seorang manusia dapat dinilai dari apa yang dimakannya. Jika saudara dan saya mengaku telah memakan tubuh dan darah Kristus, maka tingkah laku kita seharusnya mencerminkan semuanya itu. Artinya, kita hidup sebagaimana Kristus hidup.

Perjamuan Kudus bukan sekadar makan dan minum. Tetapi, persekutuan sejati antara Allah dan manusia. Ketika kita memakan roti dan meminum anggur yang kita percaya melambangkan Tubuh dan Darah Yesus Kristus, maka Dia menjadi bagian dalam (intrinsik) hidup kita.

Oleh karena itu, panggilan kita juga adalah menyatakan Yesus yang berada dalam diri kita. Itu merupakan keniscayaan. Paulus berkata bahwa hidup kita adalah kitab terbuka, pertanyaannya: ”Apakah orang lain melihat Yesus dalam diri kita?” Jika tidak, tentu malah aneh!

Dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, Paulus menasihati: ”Sebab itu, sebagai anak-anak yang terkasih, teladanilah Allah” (Ef. 5:1). Dalam Alkitab BIMK tertera: ”Kalian adalah anak-anak Allah yang dikasihi-Nya, sebab itu kalian harus berusaha mengikuti teladan Allah.” Tentu itu tidak hanya omongan di bibir, tetapi sungguh maujud dalam tindakan. Itu hanya mungkin terjadi kala manusia berada dalam persekutuan dengan Allah.

Kisah Yoab

Itu yang tidak terjadi dalam diri Yoab. Dendam masih menguasai hatinya. Ia pernah mempunyai niat baik untuk Absalom. Dialah yang berprakarsa membujuk Daud menyuruh Absalom pulang ke Yerusalem. Karena dirinyalah Daud mau berdamai dengan Absalom yang telah membunuh Amnon—anak lain ibu—karena memerkosa Tamar, adik Absalom.

Namun, karena tak sabar, Absalom membakar ladang gandumnya. Sepertinya peristiwa pembakaran ladang gandumnya itu masih tersisa di hati dan pikiran Yoab. Dan dendam itulah yang menguasai hatinya sehingga dengan sengaja mengabaikan perintah raja dan membunuh Absalom (2Raj. 18:14)

Nasihat Paulus kepada jemaat di Efesus ini sungguh relevan dalam kehidupan Yoab—”Apabila kamu menjadi marah, janganlah berbuat dosa: Janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis” (Ef. 4:26-27).

Marah itu manusiawi. Apalagi marah ketika kita menyaksikan atau merasakan ketidakadilan. Namun, marah yang awalnya adalah ekspresi baik pun jangan kita pelihara. Itu hanya akan membuat kita kebakaran sendiri. Dalam Perjanjian Baru Bahasa Indonesia Sederhana tertera: ”Kalau kalian marah, janganlah kemarahan itu membuat kamu melakukan hal yang tidak dikehendaki Allah. Janganlah marah sepanjang hari, supaya Iblis tidak menyebabkan kalian jatuh ke dalam dosa.”

Perlu kita ingat, di Israel pada masa itu hari baru dimulai saat matahari terbenam. Jadi, jangan sampai kita marah sampai pindah hari. Jadi, marah pun semestinya ada kedaluwarsanya! Ada expire date-nya!

Dengan kata lain, jangan memelihara amarah. Caranya? Ingatlah mazmur ziarah ini: ”Jika Engkau, ya TUHAN, mengingat-ingat kesalahan-kesalahan, Tuhan, siapakah yang dapat bertahan? Tetapi pada-Mu ada pengampunan, supaya orang takut akan Engkau ditakuti orang” (Mzm. 130:3-4).

Jika kita marah, ingatlah pengampunan Tuhan yang telah kita terima.

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa