Selamat Mendengarkan!

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Inilah hari yang dijadikan TUHAN, marilah kita bersorak-sorai dan bersukacita di dalam-Nya” (Mzm. 118:24). Ya, inilah hari yang dijadikan TUHAN.  Saat pemazmur bernyanyi, ”Inilah hari yang dijadikan TUHAN”, dia tidak sedang membicarakan hari sembarang hari. Tidak. Dia sedang membicarakan Paskah. Dan berbicara soal Paskah berarti bicara soal kemerdekaan.

Pada mulanya Paskah merupakan hari kemerdekaan Israel. Bicara Paskah berarti bicara soal kemerdekaan. Berkait dengan kemerdekaan Israel, pemazmur mengakui bahwa kisahnya bukanlah perang antara yang dijajah dan yang menjajah. Tak ada kisah angkat senjata; apa yang mau diangkat, la wong mereka semua budak di Mesir.

Kisah Paskah berarti kisah bagaimana Allah berkarya membebaskan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir. Dan semuanya disimpulkan dalam satu seruan: ”Inilah hari yang dijadikan TUHAN.”

Kisah Kemerdekaan

Mengapa Paskah begitu penting? Karena memang kemerdekaan manusia pada dasarnya merupakan hak asasi manusia. Ingatlah pembukaan Undang-undang Dasar 1945 kita… Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa …. dan memang itulah inti Paskah—kemerdekaan umat manusia.

Inti Paskah adalah kehidupan dan bukan kematian. Dan itulah jugalah yang didamba semua makhluk hidup. Kehidupan dan bukan kematian. Itu jugalah berita Paskah yang dinyatakan malaikat kepada para perempuan yang datang ke kubur pagi itu: ”Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati?”

Paskah adalah kehidupan! Perhatikan para perempuan itu! Lukas mencatat: ”Setelah mereka kembali dari kubur, mereka menceritakan semuanya itu kepada kesebelas murid dan kepada semua saudara yang lain. Perempuan-perempuan itu ialah Maria dari Magdala, Yohana, Maria ibu Yakobus, dan perempuan lain yang bersama mereka” (Luk. 24:9-10).

Tak semua melihat Yesus memang. Dalam catatan Injil Yohanes hanya Maria Magdalena yang disapa Yesus sendiri. Namun, para perempuan itu bersemangat menceritakan kebangkitan Yesus itu. Kisah Paskah sungguh menghidupkan. Meskipun para murid laki-laki itu tak terlalu percaya, mereka tetap berupaya mengabarkan berita itu. Tampaknya mereka ingin semakin banyak orang mengalami kebangkitan Yesus itu. Mereka merasa dihidupkan; dan karena itu ingin menghidupkan orang lain.

Mengalami Paskah

Bagaimanakah para murid hingga sampai pada pengalaman kebangkitan itu? Jawabannya sebenarnya sederhana sekali: mendengarkan. Perhatikan para murid perempuan itu. Ketika mereka mencoba mendengarkan perkataan malaikat itu dengan saksama, mereka menjadi teringat bahwa Sang Guru pernah menyatakan bahwa Anak Manusia harus diserahkan ke tangan orang-orang berdosa dan disalibkan, dan akan bangkit pada hari yang ketiga. (Luk. 24:7). Dan karena itulah mereka menjadi mengalami kebangkitan itu.

Itulah yang tidak dilakukan para murid laki-laki. Mereka mendengar, tetapi mereka tidak sungguh-sungguh mendengarkan dan malah menganggap bahwa perkataan itu merupakan omong kosong belaka. Itu berarti mereka lebih suka mendengarkan suara mereka sendiri, ketimbang suara orang lain. Dan karena itu butuh waktu yang lebih lama bagi mereka untuk mengalami kebangkitan Yesus dalam hidup mereka.

Lalu bagaimana kita sekarang? Kita memang tidak hidup di zaman Yesus. Namun, pesannya masih tetap sama. Marilah kita belajar mendengarkan. Pada kenyataannya, iman memang dimulai dari mendengarkan, yaitu mendengarkan Allah. Melalui apa? Ya, melalui firman Allah, Alkitab. Jika kita menganggap Alkitab adalah firman Allah, suara Allah, jalan terlogis adalah mendengarkan suara Allah!

Sebenarnya semua persoalan di dunia berpangkal ketika manusia lebih suka mendengarkan dirinya sendiri ketimbang mendengarkan suara Allah. Perhatikan Adam dan Hawa! Apa pun alasannya dosa menjadi matang ketika manusia lebih suka mendengarkan suaranya sendiri ketimbang suara Allah. Dan ketika manusia suka mendengarkan suaranya sendiri, maka yang terjadi adalah pertikaian karena rambut sama hitam dan pendapat pasti berbeda, dan menurut kepentingan orang yang berpendapat.

Lalu, bagaimana cara kita untuk hidup dalam suasana Paskah? Marilah kita belajar untuk mendengarkan suara Allah. Dan, ketika kita mendengarkan suara Allah, kita akan belajar untuk mendengarkan suara orang lain.

Menurut Bonhoeffer, teolog Jerman yang dihukum mati pada zaman Hitler, Allah bisa berbicara kepada kita melalui suara orang lain. Mendengarkan orang lain akan membuat kita dibebaskan dari rasa egois; dan hanya dengan cara beginilah situasi dan kondisi masyarakat akan berubah.

Tak hanya masyarakat juga gereja. Harta terbesar gereja adalah adalah keragaman warga jemaatnya. Ketika setiap keputusan diambil dengan mengikutsertakan semua keragaman itu, hasilnya pasti lebih baik, ketimbang hanya kata segelintir orang saja.

Pada titik ini keluarga haruslah menjadi tempat di mana anak-anak juga belajar mendengarkan Allah. Orangtua harus menolong anak-anaknya untuk belajar mendengarkan Allah. Caranya? Orang tua harus memperlihatkan bahwa dirinya juga mendengarkan Allah. Caranya dengan belajar mendengarkan orang lain. Suami harus belajar mendengarkan istri, istri harus belajar mendengarkan suami. Dan hanya dengan cara itulah anak dapat belajar pula untuk mendengarkan!

Akhirnya, selamat mendengarkan! Dan itulah cara kita untuk hidup dan menghidupi Paskah! Selamat Paskah!

Yoel M. Indrasmoro Foto: Istimewa