Semua Dibasuh

Published by Yoel M. Indrasmoro on

Berkait perayaan Paskah, ketika kita kembali membaca Keluaran 12:1-14, jelaslah betapa Allah telah menetapkan semuanya. Mulai dari cara mempersiapkan hewan kurban, cara masak, cara makan, bahkan jika nanti mereka telah memasuki Tanah Terjanji. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah dalam merayakan Paskah itu umat Israel harus membubuhkan darah dari hewan kurban itu pada kedua tiang pintu dan ambang atas. Sebab itulah tanda yang akan membebaskan mereka dari pembunuhan anak sulung di Mesir.

Nah, berkenaan dengan ketetapan itu, catatan John Stott, teolog asal Inggris, layak disimak. Pertama, Hakim dan Juru Selamat adalah sama. Allah yang menghukum, Dia pulalah yang menyelamatkan. Kedua, penebusan, dahulu dan kini, dilakukan dengan penggantian. Yang selamat hanyalah anak laki-laki sulung yang di rumahnya ada seekor domba yang disembelih sebagai gantinya. Ketiga, darah domba harus dipercikkan. Setiap orang harus menerima pemberian ilahi itu. Allah harus melihat darah itu dahulu sebelum menyelamatkan keluarga itu. Keempat, setiap keluarga yang selamat berarti telah dibeli oleh Allah. Mereka menjadi milik Allah.

Inilah Paskah. Inilah penyelamatan Israel. Inilah kemerdekaan Israel. Dan Yesus menjadikan peristiwa Paskah Israel itu sebagai prototipe dari puncak penyelamatan umat manusia dengan menjadikan diri-Nya sebagai Sang Anak Domba Paskah. Dan pada Kamis Putih ini kita kembali menyaksikan tindakan Sang Anak Domba Paskah bagi para murid-Nya.

Tak Bercela

Dalam Paskah Israel, Allah telah menetapkan: ”Kamu boleh mengambil anak domba atau kambing, tetapi harus yang tidak bercela, jantan dan berumur satu tahun” (Kel. 12:5). Mari kita fokuskan pada frasa ”tak bercela”. Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”yang tidak ada cacatnya”. Kurban bagi Allah haruslah tak bercela; haruslah yang tidak ada cacatnya. Dan itu jugalah Sang Anak Domba Paskah Perjanjian Baru.

Ngomong-ngomong soal ketakbercelaan atau kemurnian, tentu saja Yesus Orang Nazaret adalah sosok tiada tanding. Kehidupan-Nya gamblang memperlihatkan semuanya itu. Para pemimpin agama Yahudi memang gemar mencari-cari kesalahan-Nya, namun semua tuduhan itu bisa ditangkis-Nya.

Misalnya, bicara soal Hari Sabat, Yesus mengajak para penjerat-Nya untuk melihat makna terdalam Sabat bahwa Hari Sabat itu untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat. Ketika banyak pemimpin agama mencibir Yesus karena bergaul erat dengan orang berdosa, Dia menjelaskan bahwa hanya orang sakit yang perlu tabib.

Tak Ada yang Ditinggal

Pada Kamis Malam itu Yesus Orang Nazaret kembali memperlihatkan diri sebagai Pribadi tak bercela, bahkan lebih dari itu. Semua dibasuh. Tak ada yang ketinggalan, apa lagi sengaja ditinggal.

Catatan penulis Injil Yohanes menarik diperhatikan: ”Sementara itu sebelum Hari Raya Paskah mulai, Yesus telah tahu bahwa saat-Nya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa. Ia mengasihi orang-orang milik-Nya yang di dunia ini, dan Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya” (Yoh. 13:1).

Yesus tahu, sudah tiba saat bagi-Nya untuk mati di Yerusalem. Tinggal sesaat lagi. Karena itulah, Sang Guru ingin memberikan pelajaran terbaik bagi para murid-Nya. Dan pelajaran terbaik adalah teladan.

Penulis Injil Yohanes juga jelas menyatakan bahwa Yesus sungguh mengasihi para murid. Karena sungguh mengasihi para murid-Nya, Dia ingin memberikan yang terbaik bagi para murid-Nya. Dan hal terbaik yang bisa diberikan adalah teladan.

Pembasuhan kaki merupakan puncak ajaran Sang Guru. Puncaknya adalah satunya kata dan perbuatan. Dan itu berarti keteladanan.

Penulis Injil Yohanes mencatat: ”Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu” (Yoh. 13:4-5).

Perhatikanlah! Tak ada kata. Semua serbatindakan: bangun, menanggalkan jubah, mengambil sehelai kain lenan, menuangkan air, dan membasuh kaki, lalu menyekanya dengan kain lenan tadi. Dan semuanya itu dilakukan oleh Sang Guru dari Nazaret tanpa kata.

Memang ada selaan. Petrus merasa tak layak dibasuh. Namun, Yesus menyatakan bahwa pembasuhan merupakan sarana untuk menjadi satu dengan diri-Nya. Dalam Alkitab BIMK dinyatakan: ”Kalau Aku tidak membasuhmu, engkau tidak ada hubungan dengan Aku.” Dibasuh oleh Yesus berarti merasakan pelayanan Yesus. Itu berarti juga merasakan kehambaan Yesus.

Semua dibasuh. Juga Yudas Iskariot yang akan menyerahkan-Nya. Semua dibasuh karena Dia mengasihi semuanya. Tak ada yang tertinggal. Apa lagi sengaja ditinggal. Inilah bukti nyata cinta kasih yang murni. Dan karena itulah, Gereja menamai hari ini Kamis Putih. Putih berarti murni, tak bercacat, tak bercela.

Kita Juga Dibasuh

Pada perayaan Kamis Putih ini kita semua akan dibasuh kakinya. Semuanya. Tak terkecuali. Terimalah! Jangan sungkan! Bahkan, bersyukurlah karena melalui peristiwa pembasuhan kaki ini kita dianggap layak merasakan kehambaan Yesus Orang Nazaret.

Dengan pembasuhan kaki ini, kita terus terhubung dengan Yesus Kristus. Mengapa tidak mandi sekalian? Karena kita telah bersih. Kita telah dibersihkan oleh tubuh dan darah Yesus!

Selanjutnya, mari kita saling membasuh kaki! Membasuh kaki berarti memberikan yang terbaik bagi orang-orang yang ada di sekitar kita. Bahkan, orang-orang yang kita tahu tidak menyukai kita.

Mudah? Pasti tidak! Namun, kita bisa memandang Sang Guru, Sang Anak Domba Paskah, yang telah membasuh kita. Dan memohon Dia memurnikan hati kita.

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa