Siapa yang Terbesar?

Published by Yoel M. Indrasmoro on

Apa yang hendak kita katakan? Yesus dan para murid-Nya sedang dalam perjalanan menuju Yerusalem. Menuju Yerusalem berarti menuju salib. Mereka tidak sedang piknik. Mereka sedang menyongsong penderitaan.

Telah dua kali, Yesus menyatakan kepada para murid-Nya bahwa Dia harus mati dan bangkit pada hari ketiga. Anak Manusia harus menderita. Itulah jalan yang harus ditempuh Sang Guru. Itulah salib yang harus dipikul Yesus, orang Nazaret itu.

Percakapan di Tengah Jalan

Dan di tengah jalan menuju salib itu, para murid bertikai soal siapa yang terbesar di antara mereka. Kita tidak pernah tahu apa motivasi di belakang pertikaian itu. Namun, sepertinya mereka hendak bersiap diri mereka seandainya Yesus tidak ada lagi bersama dengan mereka. Mereka mempercakapkan figur yang tepat sebagai pengganti Yesus.

Dengan lain perkataan, mereka bersoal jawab tentang siapa di antara mereka yang cocok menggantikan Sang Guru. Jika Yesus tidak ada, maka tentulah diperlukan pemimpin baru. Dan tampaknya, Yesus tidak pernah secara lugas dan tegas menyatakan siapa yang akan menggantikan-Nya. Yesus memang tidak mempersiapkan putra mahkota. Oleh karena itu, percakapan itu menjadi sungguh amat beralasan.

Dan lebih unik lagi, percakapan itu tidak terjadi pada sebuah tempat. Juga tidak di meja makan. Pertemuan itu berlangsung dalam perjalanan. Artinya, pertemuan itu terkesan tidak berlangsung dalam suasana tenang, nyaman, dan perlahan, melainkan dalam suasana sibuk, grasah-grusuh, dan serbacepat. Bagaimanapun, hal yang serius itu ternyata tidak dipercakapkan secara serius, dengan menggunakan nalar dan budi, lebih mengutamakan perasaan.

Yang juga tak kalah pentingya untuk dicatat, mereka menyembunyikan isi persoalan itu dari Sang Guru. Agaknya, mereka sadar, Yesus tak begitu suka mendengarkan percakapan mereka.

Tak ada seorang pun di antara kita yang hadir sewaktu percakapan itu berlangsung. Agaknya percakapan yang memang keras. Sebab, jika tidak pastilah Yesus tidak merasa perlu untuk turun tangan. Percakapan itu keras karena menyinggung soal suksesi, soal penggantian pemimpin. Dan tampaknya, beberapa murid Yesus, mungkin semua murid, memang ingin menggantikan posisi Yesus sebagai pemimpin.

Salahkah?

Pada titik ini kita perlu berhenti sejenak dan bertanya, “Apakah percakapan itu sepenuhnya salah?” Sejatinya, tidak juga. Ya, apa salahnya mencari seorang pemimpin. Apa salahnya menyiapkan pemimpin baru? Apa jadinya organisasi tanpa pemimpin?

Tetapi, yang perlu ditekankan juga ialah apakah mereka, para murid yang bercakap itu, memahami apa artinya menjadi seorang pemimpin? Pemimpin tentulah orang yang memimpin. Namanya juga pemimpin, pastilah pekerjaannya memimpin. ”Pemimpin” itu kata benda, predikatnya: ”memimpin”. Pemimpin haruslah menjadi seorang yang memimpin dirinya sendiri dan orang-orang yang dipimpinnya mencapai suatu tujuan tertentu.

Jika memang demikian definisinya, mengapa banyak orang berlomba-lomba menjadi pemimpin? Saya duga, banyak orang telah mengubah predikat pemimpin, dari ”memimpin” menjadi ”menguasai”. Pemimpin akhirnya dipahami sebagai figur yang menguasai orang-orang yang dipimpinnya. Akhirnya, banyak orang menganggap ”pemimpin” itu sama halnya dengan ”penguasa”.

Banyak orang ingin jadi pemimpin karena dalam benaknya, pemimpin itu seorang yang berkuasa atau memiliki kuasa. Dan bicara soal kuasa pastilah ada embel-embel fasilitas di belakangnya. Saya duga inilah yang membuat orang berlomba-lomba, bahkan sikut sana-sini, untuk menjadi pemimpin. Sekali lagi, ada fasilitas dibelakangnya.

Nggak susah jauh-jauh cari contoh, ketua panitia Natal atau apa pun pastilah lebih sering difoto ketimbang anggota panitianya. Itu baru ketua panitia, bagaimana dengan jabatan lainnya? Dan jika sudah menyinggung soal fasilitas, kemungkinan besar orang menjadi lupa akan tujuan organisasi.

Dan bicara soal melayani, maka fasilitas disediakan bukan untuk memuaskan ego seorang pemimpin, tetapi agar pelayanan dapat menjadi lebih berdaya dan berhasil guna. Jika fasilitas malah menghambat seorang pemimpin dalam melayani, maka fasilitas itu seharusnya ditiadakan.

Belajar dari Yesus

Kembali ke kisah para murid tadi. Sesungguhnya, Yesus tidak melarang orang menjadi pemimpin, kalau memang tujuannya memimpin dan bukan menguasai. Dan menurut Yesus, tidak ada salahnya menjadi yang terdepan, tetapi bukan untuk menguasai melainkan untuk melayani.

Menjadi pemimpin dalam pemahaman Yesus bukanlah untuk menguasai, tetapi untuk melayani orang lain. Pemimpin yang melayani. Dengan sengaja Yesus  Yesus mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka, kemudian Ia memeluk anak itu dan berkata, ”Siapa saja yang menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Siapa saja menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku” (Mrk. 9:37).

Setiap pemimpin harus belajar dari Sang Guru dalam hal ini. Perhatikanlah apa yang Yesus lakukan! Penulis Injil Markus menggunakan tiga kata kerja: ”mengambil”, ”menempatkan”, dan ”memeluk” (Mrk. 9:36).

Yesus mengambil anak tersebut. Tentunya, cara pengambilannya bukanlah dengan paksa. Kalau memang demikian, anak tersebut pasti sudah meronta-ronta. Tak ada paksaan terhadap si anak. Dan saya duga si anak sendiri tidak merasa dipaksa. Bahkan, dia senang saat Yesus mengambilnya.

Marilah kita bayangkan bagaimana paras wajah Yesus waktu itu. Senyumkah Dia atau malah cemberut. Kita bisa menduga bahwa Yesus tidak cemberut. Sebab, mana ada anak kecil yang suka dengan orang dewasa yang cemberut?  Kita bisa menduga bahwa anak itu merasa diterima oleh Yesus. Sehingga, dia tidak keberatan diajak Yesus untuk berdiri di tengah-tengah para murid.

Yesus menempatkan anak tersebut di tengah-tengah. Anak itu bukan tontonan. Bukan. Yesus menempatkan anak itu di tengah-tengah agar dia menjadi fokus perhatian. Ingat kata dasar perhatian ialah hati! Artinya, anak itu menjadi fokus-kasih.

Fokus seorang pemimpin bukanlah dirinya sendiri, melainkan orang-orang yang dia pimpin. Fokus pelayanan tidaklah berpusat pada diri sendiri, melainkan sekelompok orang yang dipimpinnya. Orang-orang yang kita pimpin seharusnya menjadi fokus perhatian kita. Dan bicara soal perhatian berarti berkaitan dengan hati seorang pemimpin. Dan semuanya itu haruslah berdasarkan kasih semata.

Yesus memeluk anak tersebut. Kasih tak sekadar kata-kata semata. Perhatian tak ada manfaatnya jika tidak berbuah dalam tindakan. Kasih harus diekspresikan melalui tindakan. Dan Yesus bertindak. Yesus melakukan tindakan-tindakan nyata.

Tak hanya itu, ada frasa yang ditekankan Yesus kepada para murid-Nya, yakni dalam nama-Ku. Kasih yang diperlihatkan seharusnya tidak berdasarkan pada humanisme. Pelayanan yang baik tidak hanya berdasarkan kemanusiaan. Di atas semuanya itu, kepemimpinan yang melayani seharusnya dilakukan di dalam nama Kristus.

Pelayanan yang tidak dilakukan dalam nama Kristus akan terjebak dalam humanisme belaka. Ujung-ujungnya, hanyalah kepuasan kemanusiaan kita. Pelayanan seperti itu baik, tetapi akan membuat kita menjadi pusat. Pelayanan sejati tidak membuat kita menjadi pusat, tetapi Allah yang menjadi pusat. Pelayanan berdasarkan kemanusiaan belaka akan membuat si pelayan dimuliakan. Atau, dia akan menjadi idola. Dan ini bukan pelayanan Kristen. Ini namanya Lembaga Swadaya Masyarakat.

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa