Siapakah Sesamanya?

”Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” (Luk. 10:25). Demikianlah pertanyaan seorang ahli Taurat kepada Yesus. Lukas mencatat bahwa pertanyaan itu diajukan untuk mencobai Yesus. Mengapa Lukas memberikan catatan ini? Sebab—dari pertanyaan yang diajukan—orang itu sudah tahu jawabannya.
Yesus, Sang Guru dari Nazaret, tak mudah dijebak. Ia balik bertanya, ”Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?” Mengapa? Kemungkinan besar, Yesus hendak menyatakan bahwa persoalan banyak manusia sering kali di sini: ”Tahu yang baik, namun tidak melakukannya!”
Padahal, Allah menyatakan dalam Kitab Ulangan: ”Firman ini sangat dekat kepadamu, di dalam mulutmu dan di dalam hatimu, untuk dilakukan” (Ul. 30:14). Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Perintah itu sangat dekat padamu. Kamu sudah tahu dan dapat mengucapkannya di luar kepala, jadi tinggal melakukannya saja.”
Ya, orang Israel mudah mengucapkannya di luar kepala. Jadi, ya tinggal dilakukan. Inilah kritikan Yesus Orang Nazaret kepada ahli Taurat tadi, juga bagi kita orang percaya abad ke-21, tahu, namun tidak melakukan! Tak heran, Sang Guru menambahkan: ”Jawabmu itu benar. Perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup” (Luk. 10:28). Mudah bukan?
Siapakah Sesamanya?
Namun, ahli Taurat itu merasa perlu bertanya, ”Siapakah sesamaku manusia?” Ia bertanya karena ingin membenarkan diri. Ia tidak mau dipersalahkan. Dan pertanyaannya membuat Sang Guru mengisahkan ”Orang Samaria yang Murah Hati”.
Pembenaran diri orang tersebut sejatinya membawa berkat bagi para murid Kristus selanjutnya. Dengan kisah itu Yesus menuntun ahli Taurat untuk memahami dengan lebih dalam makna mengasihi sesama. Kisah itu kemungkinan besar membuat dia mengira bahwa Yesus hendak mengatakan bahwa sesama manusia adalah orang yang malang itu.
Namun, itu tidak dilakukan Yesus. Pada akhir kisah Yesus tidak bertanya, ”Siapakah sesamaku manusia dari kisah tadi?”; melainkan ”Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” Jadi, pertanyaannya bukanlah siapakah sesamaku manusia, tetapi apakah aku mau menjadi sesama bagi orang malang itu?
Sekali lagi pertanyaannya bukanlah ”Siapakah sesamaku?”, tetapi ”Siapakah sesamanya?” Nah, berkait dengan pertanyaan siapakah sesamaku?, kemungkinan orang akan tergiring mencari orang yang sama dengan dirinya. Sesama bisa diartikan segolongan, sesuku, seagama, seprofesi. Dengan kata lain, kitalah yang menjadi subjek yang menentukan dari pertanyaan tadi.
Sedangkan, pertanyaan ”Siapakah sesamanya?” akan menolong orang untuk menjadikan orang yang ditolong sebagai subjek. Dan kita hanya perlu memeriksa diri apakah kita mau menjadi sesamanya atau tidak. Sekali lagi, titik pijaknya adalah orang yang ditimpa kemalangan itu.
Siapakah Subjeknya: Yang Ditolong atau Yang Menolong?
Sesungguhnya di sinilah persoalan kebanyakan orang. Mereka menjadikan diri sendiri sebagai subjek ketika hendak memberikan pertolongan, dan lupa menjadikan pihak yang ditolong sebagai subjek. Akhirnya, pertolongan yang diberi malah tidak bebas dari pamrih. Bahkan, mungkin tergoda untuk mendapatkan balasan dari orang yang yang ditolong.
Perhatikan tindakan Orang Samaria itu? ”Ia mendekati dia, lalu membalut luka-lukanya sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke penginapan dan merawatnya. Keesokan harinya ia mengeluarkan dua dinar dan memberikannya kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali” (Luk. 10:34-35).
Orang Samaria menjadikan orang Yahudi yang ditolongnya itu sebagai subjek. Semua perhatian dicurahkan penuh. Pertama, ia pergi kepada orang terluka itu. Kenyataan bahwa orang Yahudi menganggap diri sebagai umat pilihan yang lebih baik dari orang Yahudi; tidak menjadi halangan bagi Orang Samaria itu untuk menolongnya. Mengapa? Karena subjeknya adalah orang yang ditimpa kemalangan itu. Inilah soal kita; kala menolong kita tergoda untuk memilah dan memilih orang yang hendak ditolong.
Kedua, Orang Samaria itu fokus kepada luka-luka orang tersebut. Dia memfokuskan perhatian pada kebutuhan Orang Yahudi itu. Itu juga terlihat ketika dia mengangkat korban ke keledai tunggangannya sendiri. Ia mengizinkan orang yang terluka itu menaiki tunggangannya sendiri. Kisah ini mungkin membuat kita teringat kisah Tuhan Yesus yang menaiki keledai masuk ke Yerusalem. Pada masa itu jika orang hendak berperang, ia akan menunggang kuda, tetapi ketika datang dengan maksud damai, ia akan menunggang keledai.
Ketiga, ia melakukannya hingga tuntas. Ia tidak setengah hati. Bahkan memberikan dua dinar, upah pekerja kasar selama dua hari. Saya duga uang sekitar Rp 400 ribu cukup untuk makan dan minum orang Yahudi itu selama pemulihan. Bahkan, Orang Samaria itu bersedia menggantikannya jika memang kurang. Bisa jadi Orang Samaria itu cukup dikenal pemilik penginapan sehingga pemilik penginapan pun percaya kepada.
Keempat yang juga menarik, Orang Samaria itu mengajak pemilik penginapan untuk bersama-sama terlibat dalam melakukan kebaikan. Ia mengajak orang terlibat dalam melakukan pekerjaan baik. Semua itu hanya mungkin dilakukan ketika ia menjadikan orang yang terluka itu sebagai subjek.
Bukan Perkara Mustahil
Yang juga menarik dari percakapan antara Yesus dan ahli Taurat itu adalah kalimat yang diulang Yesus: perbuatlah demikian. Sejatinya, itulah pertanyaan utama dari ahli Taurat itu. Dan Yesus menjawab: ”Pergilah dan perbuatlah demikian.”
Menurut Anda, bagaimanakah kelanjutan kisahnya? Tak ada seorang pun di antara kita yang tahu apakah ahli Taurat itu melakukan perintah Yesus. Semestinya ia melakukan karena sejatinya telah menghabiskan banyak energi untuk bercakap-cakap dengan Yesus.
Bisa jadi, dia berpikir dalam hati, ”Itu cuma cerita. Ceritanya terlalu dibesar-besarkan. Mustahil dilakukan.” Apakah itu juga pendapat Saudara?
Jika ya, Surat Kolose bisa menjadi bukti bahwa itu bukan perkara mustahil. Perhatikan Surat Paulus ini: ”Kami senantiasa mengucap syukur kepada Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, setiap kali kami berdoa untuk kamu, karena kami telah mendengar tentang imanmu dalam Kristus Yesus dan tentang kasihmu terhadap semua orang kudus” (Kol. 1:3-4).
Perhatikan sekali lagi kalimat Paulus: ”Kami telah mendengar tentang imanmu dalam Kristus Yesus dan tentang kasihmu terhadap semua orang kudus.” Iman dan perbuatan sungguh berkaitan. Di sini kita mendengar gema Surat Yakobus, iman tanpa perbuatan pada hakikatnya adalah mati.
Perbuatan itu ternyata tidak pilih-pilih tebu atau pandang bulu. Ada kata semua yang digunakan. Semua berarti tanpa kecuali. Mengapa bisa begitu, karena oritentasi mereka atau subjek mereka bukanlah diri sendiri, tetapi orang yang membutuhkan pertolongan. Ya, iman membuat warga jemaat Kolose tidak pandang bulu. Jika demikian, bisa dipastikan bahwa ketika perbuatan baik dilakukan dengan pandang bulu, kita perlu mempertanyakan kualitas iman kita.
Anda setuju?
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa