Siklus Kehidupan

Published by Admin on

Beberapa hari ini saya sibuk mencari informasi tempat kos untuk anak saya kuliah nanti.  Mendapatkan kesempatan kuliah di luar kota, jauh dari jangkauan saya sebagai ibunya, saya berusaha mendapatkan tempat terbaik untuk dia.

”Lingkungannya harus yang baik, tempatnya harus rapi, tidak jorok, kalau bisa jalan kaki saja ke kampus jadi hemat waktu,…” sederet kriteria saya tulis.

”Jadi Mama maunya yang bagaimana? Saya ikut saja supaya Mama tidak khawatir,” jawab anak saya ketika saya memperlihatkan sederet kriteria tersebut.

Saya pun mempertimbangkan, apakah dia harus sekamar sendiri, atau bersama teman-teman yang belum dikenalnya. Kalau sendiri, dia mempunyai privasi, kalau bersama yang lain, dia mempunyai teman untuk curhat, namun bagaimana kalau temannya tidak baik? Membawa pengaruh yang buruk?  Dia cuma geleng-geleng kepala mendengar celotehan saya.

Membayangkan dia akan pergi, rasanya tidak mudah. Akan tetapi, kembali saya mengingat, bukannya saya yang sebelumnya mempunyai ide tersebut? Saya mau anak-anak saya terbang seperti rajawali, melihat dunia luas dan mempunyai pandangan lebih daripada orang tuanya.

Saya juga sebelumnya yang memberikan dia semangat untuk mendaftarkan diri ke universitas yang sesuai dengan minatnya, walaupun itu harus meninggalkan rumah, supaya dia dapat mengepakkan sayapnya lebih lebar.

Melihat dia saat ini, saya kembali melihat saya tiga puluh tahun silam. Dengan sebuah tas, saya berangkat sendiri menuju kota Bogor yang belum pernah saya datangi sebelumnya, berbekal alamat tempat kos teman SMA yang berada terlebih dahulu di sana. 

Dengan diantar kakak kelas yang juga baru pertama kali saya temui, kami berdua mendatangi satu per satu tempat kos sepanjang jalan, sampai mendapatkan tempat hari itu juga.  Saya jadi berpikir, bagaimana dulu perasaan orang tua saya melepaskan saya pergi sendiri? Bagaimana dahulu saya bisa survive?

”Tuhan mengasihi anak-anak kita melebihi kita mengasihi mereka,” seorang teman mengingatkan saya.  Saya mengingat perjalanan saya hari itu di sepanjang jalan Riau, memasuki satu per satu gang, mendatangi satu persatu tempat, dan Tuhan telah mempersiapkan satu kamar yang baik untuk saya. Bersama teman-teman yang belum pernah saya temui sebelumnya, dari berbagai kota, kami menjadi satu keluarga. 

Sudah tiba saatnya anak-anak pergi mengepakkan sayapnya meninggalkan sarang. Mungkin jalan yang akan ditempuhnya berkelok-kelok, mungkin juga lurus, mungkin dia akan kembali, mungkin juga dia akan menetap di tempat yang lain. Namun, di manapun mereka berada, Tuhan yang sama yang menyertai saya, akan menyertai mereka juga.

Tjhia Yen Nie

Foto: Istimewa