Tuhan yang Menyediakan

”Ambillah Ishak, anakmu yang satu-satunya, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai kurban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kuberitahukan kepadamu” (Kej. 22:2).
Jelaslah, Allah mengakui Ishak sebagai anak Abraham satu-satunya dan sungguh-sungguh dikasihi Abraham. Lalu, mengapa pula Allah meminta Abraham mempersembahkan Ishak sebagai kurban bakaran? Allah meminta Abraham untuk melepaskan miliknya yang paling berharga saat itu. Bagaimanapun, tidak ada lagi cadangan anak bagi Abraham. Ismael sudah diusir, masak hendak disuruh pulang?
Melepaskan Masa Lalu dan Masa Depan
Pastor Leo van Beurden, dalam bukunya How To Enjoy The Bible, menyatakan bahwa Abraham sebelumnya diminta untuk meninggalkan masa lalunya dan hanya berpegang kepada Allah, kini Abraham diminta untuk melepaskan masa depannya, keturunannya Ishak, dan berpegang kepada Allah saja.
Itulah yang kini diminta Allah. Allah meminta Abraham melepaskan keduanya—masa lalu dan masa depan—dan berpegang teguh kepada Allah saja. Dan Abraham menyambut permintaan Allah itu karena dia sungguh-sungguh memahami siapa dirinya di hadapan Allah.
Memahami Diri
Dalam kehidupan masyarakat hubungan antara dua pribadi dinilai dari cara penyambutan satu dengan yang lain. Kita biasanya menyambut orang yang sengaja kita undang dengan sebaik-baiknya. Tentunya, sambutan tuan rumah kepada para undangan berbeda nyata dengan sambutan terhadap perampok, yang memang tidak pernah diundang.
Itu jugalah yang dinyatakan Tuhan Yesus kepada murid-Nya (Mat. 10:40-42). Nah, kalau sambutan baik kepada manusia saja dihargai Allah begitu tingginya, apalagi sambutan baik kepada Allah? Atau, dengan kata lain, jika kepada manusia saja Allah meminta kita untuk menyambutnya dengan baik, apalagi kepada Allah. Dan memang itulah yang dilakukan Abraham. Ketika Allah menyapa, ”Abraham,” Abraham menyahut, ”Ya, Tuhan.”
Di mata Abraham, Allah yang memanggilnya adalah Tuhan. Artinya, Abraham memahami dirinya sebagai hamba. Sebagai hamba, Abraham sangat menghargai dan ingin memberikan yang terbaik bagi Tuhannya. Agaknya, Abraham paham benar akan posisinya di hadapan Allah. Abraham adalah hamba Allah. Dan sebagai hamba Allah, tak mungkin ia menolak permintaan Allah (bdk. Rm. 6:16).
Tak hanya itu, Abraham tak ingin mengecewakan Allah. Allahlah yang telah menolongnya selama ini. Oleh karena itu, Abraham mengabulkan permintaan Allah itu, meski bukan perkara ringan. Bagaimanapun, Ishak adalah anak yang telah dijanjikan Allah. Abraham sangat mengasihinya. Namun demikian, Abraham menyambut permintaan Allah itu dengan sebaik-baiknya. Ia tidak ingin mengecewakan Allah, yang tidak pernah mengecewakannya. Meski taruhannya adalah nyawa anaknya sendiri.
Belajar Percaya
Lagi pula, Abraham percaya bahwa kehendak Tuhan, meski terkadang aneh, merupakan hal yang terbaik baginya. Dan Abraham belajar untuk percaya. Bicara soal keturunan, dia memang pernah berbuat salah ketika mengambil Hagar sebagai selir sehingga melahirkan Ismael. Dalam peristiwa Hagar dan Ismael, Abraham menggunakan rasionya. Memang dalam budaya waktu itu, anak Abraham dari rahim Hagar akan memanggil Ibu kepada Sara dan memanggil Bibi kepada Hagar.
Abraham, dengan kemampuan pikirnya ditambah budaya masa itu, merasakan usulan Sara sebagai sesuatu yang sangat logis. Namun, kenyataannya memang tidak demikian Abraham harus membayar mahal dengan mengusir keduanya. Dan sekarang ini, Abraham tidak ingin berbuat kesalahan lagi.
Abraham belajar percaya. Iman bukanlah sesuatu yang sudah jadi dari sananya. Tidak. Iman itu proses. Dan itu senantiasa berkait erat dengan waktu. Dan Abraham bukan orang yang sempurna dalam hal ini. Abraham pun memerlukan waktu untuk beriman.
Dan iman Abraham itu tampak ketika dia berkata kepada kedua hambanya, ”Tinggallah kamu di sini dengan keledai ini. Aku beserta anak ini akan pergi ke sana. Kami akan beribadah, lalu kami akan kembali kepadamu” (Kej. 22:5). Perhatikan kata ”kami” yang dipakai Abraham. Sepertinya Abraham percaya bahwa ia dan anaknya mereka akan Kembali bertemua dengan kedua hambanya.
Selanjutnya, ketika Ishak bertanya tentang anak domba yang akan dikurbankan, Abraham mungkin bingung. Bagaimana mungkin ia mengatakan bahwa Ishaklah yang akan dikurbankan? Dalam kebingungannya, Abraham mengucapkan pengakuan imannya: ”Allah yang akan menyediakan anak domba untuk kurban bakaran bagi-Nya, anakku.”
Ya, Allahlah yang menyediakannya. Dan itulah yang akhirnya terjadi. Allah tidak menginginkan Ishak menjadi kurban bakaran. Allah telah menyiapkan domba jantan untuk kurban bakaran tersebut.
Allah yang menyediakan. Sesungguhnya, jalan hidup Abraham memang demikian. Allahlah yang menyediakan tempat bagi Abraham. Allahlah yang menyediakan kekuatan bagi Abraham saat dia menyelamatkan Lot dan mengalahkan raja-raja di Timur. Allahlah yang menyediakan anak bagi Abraham. Allahlah yang menyediakan apa yang dibutuhkannya. Kalau Dia hendak mengambilnya, mengapa pula harus menolak? Bukankah semuanya itu berasal dari Dia? Bukankah Tuhan yang menyediakan apa yang dimilikinya? Pada titik ini percaya merupakan hal logis.
Dan sebagaimana Abraham kita pun dapat berkata, sebagaimana pemazmur, ”Tetapi, aku, kepada kasih setia-Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu. Aku mau menyanyi untuk TUHAN karena Ia telah berbuat baik kepada-Ku” (Mzm. 13:6).
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa