Akhir Hidup Yusuf

Published by Admin on

Sabda-Mu Abadi | 24 Mei 2024 | Kej. 50:22-23

”Yusuf tetap tinggal di Mesir beserta kaum keluarganya. Yusuf hidup seratus sepuluh tahun. Yusuf masih dapat melihat anak cucu Efraim sam­pai keturunan yang ketiga; juga anak-anak Makhir, anak Manasye, lahir di pangkuan Yusuf ” (Kej. 50:22-23).

Yang penting bukanlah awal hidup, melain­kan akhir hidup seseorang. Bukan pula seberapa lama manusia hidup, tetapi bagaimana dia mengisi hidupnya. Dua adagium ini terasa pas dalam ke­hidupan Yusuf anak Yakub.

Penulis Kitab Kejadian mengakhiri kitabnya dengan catatan bahwa Yusuf tinggal bersama sanak saudaranya di Mesir sepeninggal Yakub (22). Tidak ada pembalasan dendam, yang ada ha­nyalah pengampunan. Dan hidup dalam pengam­punan sungguh memberkati—baik yang diampuni maupun yang mengampuni. Penulis menggambar­kan Yusuf sebagai sosok yang hidup bahagia ber­sama buyutnya (23).

Tentu saja proses hidup yang berakhir baha­gia itu tidak lurus, penuh liku; tidak mulus, bah­kan sangat kasar. Yusuf sungguh merasakan pa­hit getir, juga asam garam kehidupan. Dari sosok yang sangat disayang ayahnya, Yusuf dijual oleh saudaranya untuk menjadi budak belian. Baru saja mendapatkan kasih dan kepercayaan Potifar, Yusuf merasakan dinginnya penjara karena fitnah istri majikannya itu. Meskipun berhasil menafsir mimpi, toh Yusuf sempat dilupakan juru minuman yang telah mendapatkan kembali kepercayaan raja.

Semua itu dilakoni Yusuf dengan baik, tan­pa keluhan. Dalam Alkitab tidak tercatat bahwa dia membalas perbuatan juru minuman dan is­tri Potifar. Pengampunan yang diberikan kepada saudara-saudaranya, membuat kita boleh mendu­ga bahwa Yusuf tidak menghukum kedua orang Mesir itu. Yusuf tampaknya percaya bahwa semua duka yang diterimanya hanyalah sarana untuk membawa dia ke jenjang kehidupan yang lebih tinggi. Dia percaya, Allah mampu mengubah ran­cangan buruk manusia menjadi baik semata.

Dan karena itulah Yusuf mengampuni sauda­ra-saudaranya. Alasannya satu: semua yang terja­di dalam diri manusia tidak di luar pengetahuan Allah. Allah mengizinkan hal buruk terjadi dalam diri manusia agar manusia semakin kuat! Ingat se­makin tinggi pohon, semakin banyak pula anginnya. Tetapi, angin yang kuat akan memperkuat sistem perakaran. Hidup dalam pengampunan sungguh mem­berkati. Dan pengampunan merupakan kebutuhan utama manusia. Setelah makan dan minum, Yesus dalam Doa Bapa Kami mendorong kita un­tuk memohon pengampunan Allah, sebagaimana kita mengampuni orang lain. Perhatikan Yusuf, dia sungguh damai karena dia telah hidup dalam pengampunan. Lalu, mengapa kita tidak?

Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media

Klik tautan di bawah ini untuk mendengarkan versi audio:

Foto: Unsplash/Mandy N.