Alasan Membaca Tuntas Alkitab

Published by Kris Hidayat on

ceria di akhir baca tuntas

Catatan Pinggir di 65 Tahun LAI

Ketika saya mengajak para pamong (guru) anak dan remaja dalam pertemuan di sebuah gereja untuk terlibat dalam gerakan membaca tuntas Alkitab anak, semula terpikir perlu satu alasan sahih untuk dimengerti. Satu cukuplah, tetapi ternyata saya menemukan cerita pelayanan yang berliku-liku bahwa membaca Alkitab itu penuh kerumitan dan karenanya kita perlu banyak belajar.

Lima hal berikut adalah catatan dari kerumitan yang dihadapi dalam membaca tuntas Alkitab dan sekaligus penemuan mengapa kita harus menantang diri sendiri, membimbing anak, dan mengajak keluarga untuk membaca tuntas Alkitab.

Alasan Pertama: (Temukan) Gambar Besar Puzzle Alkitab

Alkitab terdiri dari beragam tema mulai dari penciptaan dunia hingga pergumulan jemaat Kristen mula-mula. Kitab yang terkumpul dalam kanon Alkitab juga berisi sumber dan penulisan yang beragam, lalu menjadi kitab yang seolah sudah demikian adanya. Kesulitannya adalah kita tidak memulai membacanya dari gambar besarnya, ketika kita membaca, sering kali hanya potongan ayat dan perikop di ibadah atau ketika membaca sendiri dalam renungan, ataupun di buku catatan ayat favorit.

Membayangkan bahwa Alkitab itu sebuah puzzle penuh teka-teki yang harus diselesaikan. Apabila kita bisa membaca utuh dan tuntas, maka kita semestinya akan menemukan gambar besar dari hasil pembacaan Alkitab yang kita yakini adalah satu kesatuan firman Allah. Gambar besar ini laksana peta jalan yang setahap demi setahap menolong kita untuk dapat menyambung dan menyusunnya menjadi gambar akhir yang sempurna.

Lalu, orang dewasa dan anak-anak sekalipun akan menemukan keutuhan pesan ketika membaca Alkitab yang dilakukan secara sungguh-sungguh dan berkomitmen untuk menyelesaikannya hingga tuntas. Tentu hasil penggalian dan pengertiannya akan berbeda-beda.

Berdiskusi dengan pamong di GKJW Aditoya-Nganjuk.

Oleh karenanya pertanyaan awal saya kepada para pamong–di awal tulisan ini–adalah sudahkah kita benar-benar punya niat dan kesungguhan untuk melaksanakan kegiatan membaca tuntas Alkitab? Sedemikian rupa kita berproses untuk mempelajarinya seolah kita sedang membentuk gambar besar dari pengertian atau ketidakmengertian kita.

Cobalah sekali-kali berlomba menyelesaikan puzzle dengan anak, tanpa diperlihatkan gambar akhirnya, apakah Anda yakin bisa menang? Dengan ilustrasi permainan puzzle ini, mestinya kita tak lagi sanksi apakah sang anak bisa mengerti gambar besar Alkitab atau justru sebaliknya kita perlu mendorong dan memberi tantangan untuk terlibat dalam program membaca tuntas Alkitab sejak dini.

Alasan Kedua: Membaca Itu Proses Individual (dan Komunal)

Membaca sering kali diasumsikan sebagai kegiatan individual dan setiap orang akan bisa membaca pada waktunya. Membaca bersama-sama akan kita anggap hanya untuk anak-anak, namun ini berbeda karena yang kita baca adalah Alkitab.

Bisa saja kita merasa cukup dengan menyediakan buku bacaan Kristen atau Alkitab buat anak, remaja dan pemuda, tanpa kemudian menyediakan waktu membaca bersama-sama, lalu bagaimana bila ada kesulitan di tengah proses membaca?

Saya justru senang mendengar kisah Pamong di GKJW Aditoya-Nganjuk yang kerepotan meladeni anaknya ketika jadi rajin membaca Alkitab, bertanya ini dan itu, sehingga sang ibu yang juga pamong ini merasa kesulitan menjawab. Membaca dan mengerti adalah hal yang berbeda, justru ketika kita tidak sepenuhnya mengerti, kita tahu bahwa kita sedang dalam proses belajar dan akan terus membaca.

Beberapa pamong di GKJW Purwoharjo, Kediri, memiliki pengalaman menjadi pendamping program baca tuntas Kabar Baik untuk Anak (KBUA) untuk tiga tahun lebih. Gereja mendukung program ini menjadi kegiatan wajib siswa di kelas 5 dan kelas 6 SD, dengan serangkaian program pendampingan dan aktivitas mingguan oleh para pamong.

Ketika memulai gerakan membaca tuntas KBUA dan selesai program di akhir tahun, gereja meneguhkannya dalam perayaan di ibadah minggu. Jemaat dan orang tua siswa pun terlibat dalam kebersamaan yang saling membangun.

Alasan Ketiga: Bersinergi dengan Aktivitas Lanjutan (Membaca)

Di tengah diskusi dengan para pamong mereka bertanya bagaimana membaca Alkitab bersuara yang baik dalam ibadah. Rupanya guru dan siswa juga dilibatkan dalam ibadah minggu, saya pun berkesempatan memberikan beberapa panduan membaca Alkitab sebagai lektor di Ibadah Minggu.

Tanpa saya sadari, saya pun membayangkan anak-anak yang sedang berproses membaca tuntas, ketika dilibatkan sebagai lektor, akan merasa dihargai dalam sinergi kegiatan jemaat. Sering kali kita hanya terpaku pada ketidaksempurnaan anak-anak dalam ibadah orang dewasa, namun akan berbeda bila kita menerima anak apa adanya dan berproses dalam ibadah bersama-sama.

Di beberapa gereja ada kelompok jemaat yang membaca dan mempelajari Alkitab yang dirancang sebagai program pembinaan yang berkelanjutan. Program tersebut bisa bernama Kelas Alkitab Malam, Baca Gali Alkitab, atau Pendidikan Teologi Jemaat. Kegiatan lanjutan tersebut pastilah hasil kreativitas kelompok-kelompok minat yang punya kerinduan untuk terus-menerus belajar. Bila demikian, mestinya gereja melengkapi jemaatnya dengan bacaan yang tepat di rak-rak buku di perpustakaan baik di rumah maupun di gereja.

Alasan Keempat: Pembinaan secara Utuh dan Mandiri

Dalam sebuah proses katekisasi di Depok memiliki cara unik sebagai tanda kelulusannya, sejumlah peserta katekisasi didorong untuk bisa membuat tulisan refleksi atas proses pembelajarannya. Hasilnya adalah sebuah catatan orisinil yang sangat beragam, ada yang menuliskan puisi, catatan perikop dengan penjelasan panjang, dan refleksi-refleksi yang jujur.

Murid katekisan yang di jenjang SMA hingga peserta yang lebih dewasa, rupanya dapat didorong untuk memiliki kemandirian dari sebuah proses pembinaan yang utuh. Refleksi dan ayat-ayat Alkitab yang dituliskan dalam buku tersebut merupakan penggambaran hasil penggalian dari tanya-jawab materi katekisasi, tetapi juga dalam proses dialog yang nyata.

Dari sebuah proses pelatihan penulisan Write the Vision yang diadakan oleh Tangan Terbuka Media, alasan perlunya peserta terlibat dalam pelatihan ini adalah karena kebutuhan untuk membuat dan menyajikan renungan-renungan yang dibuat dan dibagikan dalam warta jemaat di gereja. Ini adalah upaya mandiri untuk membekali diri dengan kemampuan dalam pelayanan jemaat.

Membaca Alkitab secara tuntas adalah bagian dari pembinaan yang mandiri dan utuh karena upaya sengaja yang ingin melatih diri, seperti membangun kebiasaan dan ketahanan bergelut dengan Sang Firman. Bacaan Alkitab yang dirancangkan biasanya selesai dalam waktu satu tahun atau malah bisa lebih untuk pembahasan dan pembelajaran yang mendalam.

Alasan Kelima: Membaca Alkitab adalah Hak (Anak) Belajar

Di era digital dan ponsel pintar saat ini membaca Alkitab semakin mudah dilakukan, hampir setiap saat kita bisa membukanya, belum lagi kemudahan untuk berbagi melalui grup WhatsApp dan media sosial. Ini adalah berkah dan keberuntungan, tetapi juga bisa dianggap sebagai sesuatu yang biasa saja.

Membaca Alkitab tidaklah cukup bila hanya dipahami seperti membaca buku biasa. Di dalam Alkitab ada cerita dan pengajaran yang menolong pembacanya berjumpa dengan Sang Firman, Allah itu sendiri. Alkitab dan buku-buku pendamping yang tersedia di gereja dan di rumah kita adalah media yang berperan penting ketika kita haus dan lapar rohani, rindu mengenal Sang Roti hidup.

Sahabat dari Lewa – Sumba Timur

Bacaan Alkitab yang paling panjang kita dengar atau baca, barangkali hanya waktu mengikuti ibadah di gereja ataupun melalui tayangan YouTube. Di dalam warta jemaat, sering kali dicantumkan bacaan-bacaan harian sebagai rangkaian leksionari yang disarankan, lalu ada persekutuan tengah minggu yang kembali mengupas tema yang telah disampaikan. Ini adalah gambaran betapa Alkitab itu dekat, dan dipersiapkan sedemikian rupa untuk sinkron dengan keseharian.

Ini seakan menjadi hak jemaat, lalu bagaimana dengan hak anak-anak untuk mendapatkan pengajaran dan pendidikan terkait dengan pengenalan akan Alkitab? Saya harus ceritakan curhat teman pelayan anak di salah satu gereja di kota besar di sekitar Jakarta, yang mengusulkan pengadaan bacaan anak, KBUA, tentu dengan rencana kegiatan gerakan baca tuntas Alkitab. Rencana tersebut tidak disetujui oleh pengurus gereja dengan menyisakan pertanyaan, “apakah KBUA itu Alkitab anak, kenapa tidak pakai Alkitab biasa saja?”

Sungguh disayangkan, alih-alih ikut mendorong gerakan ini dan menemani anak-anak dalam perlombaan imannya, gereja tidak mengakomodasi kegiatan literasi yang ingin dirancang, entah karena kurangnya penjelasan atau alasan lain. Ini hanya salah satu kesulitan yang saya temukan, mungkin banyak lagi yang lain.

Namun ada kabar gembira dari GKJW Purwoharjo, Kecamatan Pare di Kediri. Ketika saya tanyakan apakah anak-anak peserta gerakan baca tuntas diberikan sertifikat atau penghargaan setelah selesai programnya? Jawabannya membuat saya heran. Di akhir kegiatan, anak-anak diberi hadiah karena kerajinannya. Bukan selembar sertifikat yang mereka ingin tonjolkan, tetapi kegiatan ini bahkan sudah menjadi bagian dari program pembinaan anak, semacam katekisasi dini.

Hampir setahun mereka menyelesaikan sebuah program baca tuntas, tak ubahnya atlet yang melatih otot kaki dan paru-parunya. Mereka dipersiapkan untuk perlombaan iman dalam kehidupan yang nyata. Mereka adalah pemenang-pemenang dalam Tuhan.

Kris Hidayat | Tangan Terbuka Media, Mitra LAI penggiat komunitas anak baca tuntas KBUA