Menulis Bersama Katekisan Zaman Now

Saya berjumpa dengan sahabat pendeta yang hendak memimpin kelas katekisasi. Kami bercakap tentang kegiatan tulis-menulis di kalangan anak muda. Saya juga bercerita tentang seorang remaja putri yang menulis dan mengajak teman-teman sebayanya menulis bersama. Kami berhenti berdiskusi, waktunya kelas katekisasi. Ada delapan anak muda yang datang sendiri, ada juga yang dihantarkan oleh keluarganya ke rumah pastori pendeta tersebut.
Saat berpamitan saya sempat menyapa singkat anak-anak muda yang bersemangat untuk mengikuti katekisasi. Lalu sekilas saya mengingat kembali semasa saya mengikuti katekisasi. Di sore menjelang malam, ketika penat sepulang sekolah, saya harus belajar katekisasi. Namun, katekisasi adalah waktu-waktu yang saya sadari ikut membentuk iman saya. Ingatan saya membawa saya pada seorang pendeta sepuh, teman-teman sebaya dan beberapa orang dewasa, lalu arem-arem—hidangan pengganjal perut lapar—yang selalu disediakan oleh tuan rumah tempat saya ikut katekisasi.
Dalam perjumpaan kami selanjutnya, sahabat pendeta tersebut menyampaikan sebuah ide, sebuah tugas yang diberikan kepada siswa katekisan, yakni menulis dan menjadikannya buku kenangan katekisasi. Saya berespons cepat, menyanggupi untuk membuatkan panduan penulisan.
Katekisasi sebagai perjalanan (kedewasaan) iman
Saya memeriksa ulang respons kepada sahabat pendeta, termasuk ide yang yang sudah saya siapkan. Sebuah pengalaman baru dalam mengajar anak muda. Ternyata saya tidak sepenuhnya memahami anak muda zaman now. Oleh karenanya, berhati-hati berasumsi tahu banyak tentang mereka.
Kelas katekisasi merupakan proses yang tidak sebentar, hampir setahun kalau di gereja arus utama. saya mengasumsikan ini ibarat sebuah kelas pembelajaran yang dilakukan oleh seorang pendeta dan bidang pembinaan dengan sekelompok anak muda. Ini adalah sebuah perjalanan iman dalam kurun waktu tertentu.

Dalam tradisi gereja, ini semacam kelas inisiasi yang kemudian anak-anak ini dalam perjalanan usia yang dianggap dewasa, mandiri dan perlu didengar pengakuan akan keyakinan dan imannya. Sidi istilah gerejawinya. Dua hal yang bersamaan, tidak saja pengetahuan atau keyakinan, tetapi juga sebuah pengakuan bahwa mereka adalah jemaat yang mulai meninggalkan status anak-anak, menuju jemaat dewasa.
Saya lalu sampai pada satu gagasan: yang diperlukan tidak lagi pemberian tugas menulis—dan kerenanya mereka perlu panduan menulis. Akan tetapi, sebuah pengakuan bahwa mereka sedang dalam proses menuju dan menjadi pribadi yang dewasa, baik usia dan juga pengalaman imannya. Diperlukan kehadiran sahabat atau teman perjalanan, baik dalam masa persiapan sidi, namun juga dalam proses-proses di jemaat berikutnya.
Merayakan sukacita murid Sang Guru Sejati
Ide panduan penulisan yang ada di benak saya, kini saya simpan karena saya ingin sesuatu yang lebih tepat untuk saya usulkan kepada sahabat pendeta dan jemaat di sana. Saya sekali lagi merenungkan kembali apa yang terpenting dari proses katekisasi yang saya punyai.
Saya mungkin tidak ingat pokok-pokok bahasan, tetapi saya ingat suasana dan juga sosok pendeta sepuh yang saya hormati. Beliau dengan sukarela memimpin kelas tambahan katekisasi, sungguh berarti. Kami sungguh bersyukur memiliki kelompok katekisasi dan persahabatan yang terbentuk. Saya ingat kalimat-kalimat bernas dan konsep sederhana yang disampaikan pendeta. Saya mengenang dan merindukan beberapa teman yang menjadi dekat setelah katekisasi berakhir.
Sosok-sosok pribadi ini tanpa sadar melengkapi, ketika pelajaran katekisasi yang saya ikuti tidak saja tentang pengetahuan dan pemahaman, tetapi juga tentang sosok pribadi yang saya kenal yang membawa saya pada pribadi yang penting dalam hidup saya selanjutnya, Sang Guru Agung, Tuhan Yesus Kristus.
Kini selain bersyukur atas momen-momen ketekisasi, saya merasakan sukacita ketika mengingatnya kembali. Seandainya bisa mengulang masa-masa tersebut, karena menjadi proses yang seolah dapat diputar ulang, terutama dalam menghadapi pergumulan hidup. Ya, saya bisa mengingat kembali bagaimana saya mengenali pribadi Sang Juru Selamat saya.
Menulis dan menjadi pewarta Kabar Baik
Sebuah usulan baru: Alih-alih panduan menulis buku kenangan katekisasi, saya menawarkan kesukaan bersama, yakni menjadikan katekisasi sebuah perjalanan panjang bersama dalam persahabatan menuju kedewasaan iman. Sukacita yang dialami dalam semua prosesnya bisa menjadi konten kabar baik, baik bagi diri sendiri, pendeta dan guru ketekisan, sahabat, juga keluarga.
Perjalanan iman (Journey of the Faith) dan persahabatan ini tidak hanya tentang apa yang kita pahami dan percayai dalam iman Kristen, tetapi juga apa yang kita alami dalam setiap momen sukacita ketika kita belajar mengenali kehadiran Sang Guru Agung itu sendiri. Ini bukan tentang tugas tambahan untuk menulis atau berkisah. Ini adalah sebuah ajakan untuk merayakan bersama perjalanan iman yang adalah karunia Tuhan semata.
Ajakan kecil untuk bersama menulis dan menceritakan sukacita belajar yang dialami, terlebih di masa menjadi katekisan, kini dimulai dengan alasan yang mendasar. Bukan sekadar menulis buku kenangan, tetapi tentang lembar-lembar kitab terbuka hidup beriman, dan di dalamnya kita menemukan sukacita, pengalaman-pengalaman baru tentang bagaimana kita bersama semakin mengenali dan menemukan cinta yang besar bagi dan dari Sang Guru Agung yang kita imani.
Kris Hidayat | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media Anda
Foto: Dokumentasi Katekisan GKJ Kanaan
n.b.: Dukung pelayanan digital kami via BCA-3423568450-Tangan Terbuka Media!