Allah: Pribadi yang Mau Repot
“Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa, dan di antara mereka akulah yang paling berdosa” (1Tim. 1:12-15). Demikian kesaksian Paulus. Dan Paulus adalah bukti hidup dari domba yang satu ekor itu dalam perumpamaan Yesus (Luk. 15:4-6). Paulus sendiri menyatakan bahwa ia tadinya seorang penghujat, penganiaya, dan ganas.
Kisah Paulus
Barangkali Anda masih ingat kapan Lukas pertama kali memperkenalkan Paulus dalam buku keduanya: Kisah Para Rasul. Anda masih ingat pada peristiwa apa? Tentunya, bukan ketika dia mendapatkan penglihatan! Tetapi, saat kematian Stefanus. Lukas mencatat:
Maka berteriak-teriaklah mereka dan sambil menutup telinga serentak menyerbu dia. Mereka menyeret dia ke luar kota, lalu melemparinya. Dan saksi-saksi meletakkan jubah mereka di depan kaki seorang muda yang bernama Saulus. Sedang mereka melemparinya Stefanus berdoa, katanya: “Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku.” Sambil berlutut ia berseru dengan suara nyaring: “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!” Dan dengan perkataan itu meninggallah ia. Saulus juga setuju bahwa Stefanus mati dibunuh. (Kis. 7:57-8:1a).
Dari kisah tadi jelas. Saulus setuju Stefanus mati dirajam. Saulus memang tidak melempar batu karena dia memang bukan saksi. Hanya saksilah yang boleh melempar batu kepada terhukum. Namun, keberadaan Paulus di sana bukanlah untuk piknik atau sambil lalu. Dia sungguh-sungguh menyetujui aksi perajaman tersebut. Bahkan, dia bersedia menjaga jubah-jubah algojo-algojo saat mereka melaksanakan tugas mereka.
Tak hanya itu, Saulus yang kemudian berganti nama menjadi Paulus, meminta wewenang kepada imam besar untuk menangkap semua pengikut Kristus. Bayangkan: Dia meminta surat kuasa untuk diperbolehkan membunuh para pengkhianat agama! Dan hebatnya lagi, imam besar memberikan kuasa untuk menangkap para pengikut Kristus dan membawanya ke Yerusalem.
Tetapi, Paulus jugalah yang pada akhirnya berkata dengan lantang: ”’Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa,’ dan di antara mereka akulah yang paling berdosa.”
Inilah pengakuan Paulus: akulah yang paling berdosa. Dengan kata lain, Paulus adalah salah seorang yang bisa mewakili seekor domba yang hilang itu. Dan memang itulah yang diakui Paulus.
Mengapa Allah Begitu Peduli?
Mungkin kita perlu diam sejenak dan bertanya dalam hati: ”Mengapa Allah begitu peduli dengan domba yang satu ekor itu?” Untuk menjawab pertanyaan itu, ingatlah bahwa 100=10×10. Di kalangan Yahudi, angka 10 melambangkan keutuhan. Jadi, hilangnya seekor domba menjadikan kawanan itu tidak utuh lagi. Allah mencari yang satu itu agar keutuhan itu kembali.
Dalam perumpamaan-Nya, Yesus hendak menegaskan bahwa Allah adalah Pribadi yang mencari. Sebagai Gembala, Allah bukan pribadi yang cuek. Dia sungguh-sungguh peduli. Dia tahu tabiat domba yang lebih suka mencari jalannya sendiri. (lih. Mzm. 14:3). Dia tahu tabiat domba yang tidak mau diatur dan menganggap dirinya selalu benar. Tetapi, Dia juga tahu bahwa domba merupakan hewan ringkih, yang akan mati kelaparan atau diterkam serigala jika tidak segera ditemukan.
Sebagaimana gembala, Allah peduli terhadap domba-domba yang sengaja meninggalkan kawanan domba tersebut. Allah sengaja mencari domba-domba itu hingga dapat. Dia ingin kawanan domba itu kembali utuh. Dia hanya ingin keutuhan kawanan domba itu. Dia ingin yang terbaik bagi domba-domba tersebut.
Dan ini bukan hanya gambaran Allah dalam Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama pun, Allah digambarkan juga sebagai Pribadi yang senantiasa peduli akan umat-Nya. Allah, melalui Yeremia, menegaskan rancangan-Nya terhadap Israel: ”Seluruh negeri ini akan menjadi sunyi sepi, tetapi Aku tidak akan membuatnya habis lenyap” (Yer. 4:27). Dalam rancangan-Nya itu, tampak bahwa Allah tetap mengharapkan pertobatan Israel. Pertobatan manusia merupakan harapan Allah yang utama.
Mungkin kita perlu bertanya juga sekarang: Mengapa Allah lebih menyukai pertobatan manusia? Bukankah Dia, Yang Maha Kuasa, tidak akan kekurangan apa pun, seandainya satu orang binasa? Apa bedanya satu orang dibanding dengan 99 orang? Bukankah Dia dapat mengabaikannya?
Sejatinya, itulah logika manusia. Logika manusia bicara soal persentase. Bukankah hanya satu persen yang hilang. Toh, masih ada 99 persen yang tetap ada. Itulah jika kita menggunakan logika manusia. Dalam logika Allah, satu persen itu menjadi signifikan—penting dan bermakna—karena Allah yang sempurna senantiasa ingin kesempurnaan umat-Nya. Memang cuma satu persen. Tetapi, tanpa yang satu persen itu, tak pernah akan mencapai kesempurnaan: 100 persen.
Allah beda dengan manusia! Dia adalah Pribadi yang mencari. Dia tidak merasa nyaman dengan 99 domba yang ada dalam kandang. Hatinya belum merasa lega kalau belum mendapatkan yang satu itu. Manusia mungkin akan berkata, ”Cuma satu, ngapain repot-repot!” Tetapi, Allah berkata, ”Satu memang, tetapi Aku mengasihinya.” Kasih adalah satu-satunya alasan yang mungkin bisa dipahami manusia.
Allah: Pribadi yang Mau Repot
Pada kenyataannya, Allah memang Pribadi yang mau merepotkan diri-Nya. Namun, kita perlu juga bertanya, ”Jika Allah tidak mau repot, bagaimana nasib Anda dan saya?
Ya, Allah mau repot. Itulah hakikat Injil. Allah tidak berpikir menurut pola manusia. Sekali lagi, itulah Injil. Seandainya Allah memakai pola pikir manusia, entah apa jadinya Anda dan saya.
Seandainya Allah memakai pola pikir manusia dan membiarkan umat-Nya hilang, maka Paulus pasti tidak akan pernah berkata bahwa dialah yang paling berdosa. Kita bisa membaca pernyataan Paulus itu demikian: dialah domba yang satu ekor itu, yang tersesat, tetapi Allah mengasihinya.
Sekali lagi, kita bisa membalikkan logika berpikir kita. Yang satu ekor itu ternyata Paulus. Hati-hati dengan yang satu ekor itu karena bisa jadi mereka adalah orang-orang yang paling siap menjalani tugas mengabarkan Injil. Dan Allah peduli terhadap yang satu ekor itu. Dia punya pengharapan besar terhadap manusia-manusia yang diselamatkan-Nya.
Berkaitan dengan domba yang satu ekor itu, dalam pandangan saya, di antara para murid Yesus yang paling menggambarkan domba yang satu ekor itu adalah Petrus. Petrus pernah bersalah! Kesalahannya tidak main-main. Namun, ketika dia diterima kembali oleh Yesus, dia akhirnya menjadi pemimpin jemaat mula-mula.
Jalannya Kekristenan mungkin akan berbeda, jika tidak ada orang-orang seperti Paulus dan Petrus; jika Yesus tidak mau menerima mereka berdua; jika para murid tidak bersedia menerima kelemahan (keterbatasan) mereka.
Gereja perlu belajar dari Allah, yang senantiasa mengharapkan pertobatan umat-Nya. Gereja perlu belajar dari para murid yang bersedia menerima Petrus dan Paulus, bahkan bersedia dipimpin oleh mereka. Gereja perlu belajar dari Yesus yang senantiasa mencari umat-Nya. Mengapa? Karena Dialah Kepala Gereja! Amin.
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa