Apakah Kemerdekaan itu?
Apakah kemerdekaan itu? Tentu banyak jawaban bisa diajukan. Namun, melalui bacaan leksionari, kita bisa berfokus pada pemahaman bahwa merdeka berarti bebas dari sikap dan perilaku negatif.
Kisah Yusuf dan Saudara-saudaranya
Itulah yang dilakukan Yusuf. Bagi Yusuf merdeka berarti mampu menyatakan kebenaran sebagai kebenaran dan kesalahan sebagai kesalahan. Dan itu bukan tanpa risiko.
Ketika melaporkan tindakan kakak-kakak tirinya, Yusuf akan dianggap tidak solider; dianggap tidak setia dan akhirnya dia dimusuhi oleh saudara-saudaranya. Dia dianggap sebagai pengadu. Dan pelaku kejahatan tak suka pengadu karena mereka ingin menikmati kejahatan itu seterusnya.
Menarik disimak bahwa pelaku kejahatan menganggap tindakan mengadu itu sebagai kesalahan. Padahal yang salah adalah mereka karena kejahatannya. Dan saudara-saudara Yusuf kompak membenci Yusuf karena mereka sejatinya tahu bahwa masing-masing punya kesalahan, sehingga enggan melaporkan kesalahan saudara-saudaranya. Jadi, lebih baik tahu sama tahu. Diam adalah tindakan yang paling masuk akal. Yusuf akhirnya menjadi musuh bersama.
Bisa saja hal itu juga tebersit dalam pikiran Yusuf bahwa Saudara-saudaranya akan membencinya. Lalu, ngapain cari penyakit. Namun, sejatinya pikiran itu sungguh negatif karena membiarkan kejahatan tinggal kejahatan. Dan parahnya lagi, membiarkan saudara melakukan kejahatan berarti tidak sungguh mengasihi mereka. Dan karena itu, Yusuf berusaha bertindak positif dengan menceritakan kejahatan saudara-saudaranya kepada pemilik otoritas tertinggi di keluarga tersebut.
Mereka menjadi makin benci ketika menyaksikan betapa Yakub amat mengasihi Yusuf. Memang penulis Kitab Kejadian mencatat: ”Israel lebih mengasihi Yusuf dari semua anaknya yang lain, sebab Yusuf itulah anaknya yang lahir pada masa tuanya; dan ia menyuruh membuat jubah yang maha indah bagi dia.” Namun, kalau ditelisik lebih dalam, bisa jadi Yusuf memang memperlihatkan kualitas diri yang baik. Yakub dianggap pilih kasih. Dan akhirnya Yusuflah yang menjadi korbannya.
Sekali lagi, merdeka berarti bebas dari sikap dan perilaku negatif. Dan itulah yang dilakukan Yusuf. Dia menaati perintah ayahnya. Dan menaati perintah merupakan wujud nyata kasih terhadap yang memberi perintah. Yusuf taat tanpa reserve—tanpa syarat. Meski, kemungkinan tahu takkan diterima dengan baik oleh saudara-saudaranya, Yusuf masih percaya bahwa saudara-saudaranya akan berbuat baik terhadap dia.
Bahkan, dia tidak berhenti mencari saudara-saudaranya untuk memberikan kabar mereka kepada Yakub. Tak terlintas pikiran bahwa saudara-saudaranya akan menjahatinya. Mengapa? Karena dia percaya kepada ayahnya dan karena dia percaya kepada saudara-saudaranya.
Dan itulah yang tidak dilakukan saudara-saudaranya. Mereka terkungkung oleh sikap negatifnya. Penulis Kitab Kejadian mencatat: ”Dari jauh ia telah kelihatan kepada mereka. Tetapi sebelum ia dekat pada mereka, mereka telah bermufakat mencari daya upaya untuk membunuhnya. Kata mereka seorang kepada yang lain: ’Lihat, tukang mimpi kita itu datang! Sekarang, marilah kita bunuh dia dan kita lemparkan ke dalam salah satu sumur ini, lalu kita katakan: seekor binatang buas telah menerkamnya. Dan kita akan lihat nanti, bagaimana jadinya mimpinya itu!’” (Kej. 37:18-20).
Perhatikan frasa ”tukang mimpi”! Frasa ini bermakna merendahkan. Padahal tak ada salahnya orang bermimpi. Bahkan, kata ”visioner”—yang diartikan Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai ”orang yang memiliki pandangan atau wawasan ke masa depan”— sesungguhnya tak beda dengan orang yang memiliki mimpi. Sekali lagi, tak ada yang salah dengan orang yang bermimpi. Dan Yusuf sebenarnya hanya menceritakan mimpinya. Bisa saja Yusuf pun tak tahu arti mimpi itu. Dan karena itu dia membagikan mimpinya kepada saudara-saudaranya.
Dan karena telah terkungkung dalam sikap jahat, sikap jahat itu pun berbuah dalam tindakan. Mereka menjual Yusuf kepada orang Ismael. Ya, mereka menjual saudara sendiri. Sikap negatif yang dipelihara akan berbuah dalam tindakan negatif.
Kisah Para Murid
Apa yang terjadi dalam diri para murid mungkin membuat kita sedikit bingung (Mat. 14:22-33). Mereka baru saja menyaksikan bagaimana Yesus memberi makan 5.000 orang laki-laki. Perhatikan frasa ”sesudah itu”, yang dipakai oleh penulis Injil Matius. Kita tidak tahu pasti perasaan para murid sewaktu Yesus mengadakan mukjizat itu. Namun, patut diduga mereka takjub. Peristiwa itu pastilah masih melekat erat dalam benak mereka saat Yesus memerintahkan mereka untuk mendahului Yesus ke seberang.
Akan tetapi, kisah mukjizat itu seakan musnah ketika mereka mengalami cobaan hidup yang membuat mereka bisa mati kapan saja. Bahkan peristiwa genting itu membuat mereka tak lagi mengenali Yesus. Bahkan mereka menganggap Tuhan itu sebagai hantu.
Di sini kita perlu berhenti sejenak dan bertanya, “Mengapa mereka menganggap Yesus sebagai hantu? Apakah mereka tidak mengenali Yesus lagi? Bukankah mereka adalah orang-orang yang paling dekat dengan Yesus selama ini? Mengapa pula mereka tidak mengenalinya?”
Tak mudah memang menjawabnya. Namun, kita bisa menduga bahwa persoalan hidup yang berat dapat membuat orang tidak mengenali Allah lagi. Mengapa? Salah satu sebabnya ialah karena mereka begitu konsentrasi persoalan hidup itu sendiri, sehingga melupakan bahwa Allahlah sumber hidup! Sekaligus, mereka melupakan apa yang pernah Allah lakukan dalam hidup mereka di masa lampau. Mereka terkekang oleh pikiran negatif mereka. Sehingga, Sang Guru dipandang sebagai hantu.
Tak heran, jika Johnson Oatman, Jr membuat syair, yang direkam oleh Yamuger dalam KJ 439. Demikian syairnya:
Bila Topan k’ras melanda hidupmu,
bila putus asa dan letih lesu,
berkat Tuhan satu-satu hitunglah,
kau niscaya kagum oleh kasih-Nya.
Persoalannya, sering memang di sini. Ketika badai melanda hidup, kita melupakan apa yang pernah diberikan Tuhan sebelum badai menerpa. Karena terlalu konsentrasi pada badai, tentunya agar kita tidak tersapu oleh badai, kita menjadi enggak ingat bahwa Allah pernah berkarya dalam hidup kita. Sehingga penyair dalam refreinnya menyatakan:
Berkat Tuhan, mari hitunglah, kau kan kagum oleh kasih-Nya.
Berkat Tuhan mari hitunglah, kau niscaya kagum oleh kasih-Nya.
Penyair mengajak pembacanya untuk menghitung berkat Tuhan agar mereka tidak tenggelam dalam badai itu. Perhatikan kata niscaya yang digunakan. Niscaya berarti kepastian—tidak bisa tidak—bahwa mereka pada akhirnya akan kagum dengan kenyataan bahwa Tuhan pernah menolong pada masa sebelum badai menerpa. Jika Allah begitu setia menolong mereka di masa lampau, masak Dia akan membiarkan umat-Nya hancur karena badai?
Penyair menambahkan:
Dalam pergumulanmu di dunia
jangan kuatir, Tuhan adalah!
Hitunglah berkat sepanjang hidupmu,
yakinlah, malaikat menyertaimu!
Saya duga penyair memang terinspirasi dengan kisah para murid yang sedang dipermainkan angin sakal itu. Ketika para murid ketakutan, Yesus segera berkata kepada mereka: ”Tenanglah! Ini Aku, jangan takut!”
Dalam pergumulan di dunia, penyair mengingatkan pembacanya untuk tidak perlu khawatir, bukan karena mereka mampu dengan sendirinya mengatasi pergumulan itu. Bukan. Bukan itu alasannya! Ketidakkhawatiran mereka disebabkan oleh kenyataan bahwa Tuhan ada! Gusti Mboten (Nate) Sare! Tuhan tidak (pernah) tidur! Dengan tegas Yesus berkata, ”Ini Aku!” Dan kalau Tuhan ada bersama dengan kita, apa lagi yang perlu kita takutkan?
Petrus tidak begitu yakin akan keberadaan Yesus. Dia merasa perlu membuktikan bahwa Yesus ada bersama dengan mereka. Cara pembuktian memang sensasional. Di tengah badai itu, Petrus berseru, ”Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air.” Dan Petrus berhasil membuktikan bahwa Yesus ada bersama dengan mereka. Nelayan dari Galilea itu berhasil membuktikan bahwa laki-laki yang berjalan di atas air itu adalah guru mereka.
Persoalannya, ketika Petrus mulai merasakan situasi yang kacau itu maka dia kembali tenggelam dalam ketakutan. Kembali tenggelam dalam ketakutan membuatnya merasa tenggelam beneran, dan hanya bisa teriak, “Tuhan, tolonglah aku!” Pada titik ini Petrus masih belum bebas dari pikiran negatif.
Kisah para murid ini menegaskan kembali pentingnya untuk tetap memandang wajah Yesus. Artinya, Yesus yang menjadi pusat hidup kita. Saat Yesus menjadi pusat hidup, Petrus aman-aman saja. Namun, sewaktu dia berpaling dari Yesus dan mengarahkan mata pada situasi dunia, dia berada dalam masalah besar. Jika kita berada dalam masalah, baiklah kita untuk tetap mengarahkan wajah kita kepada Yesus. Artinya, Yesus yang menjadi pusat hidup kita.
Memandang Yesus akan menolong kita bebas dari sikap dan perilaku negatif! Dan dengan begitu kita menjadi sungguh-sungguh merdeka.
Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media
Foto: Istimewa