Asa yang Tak Padam

”Saya mengharapkan anak saya mempunyai teman-teman dari lingkungan gereja.” Demikian kata seorang teman yang usianya sudah melewati 50 tahun, dan memiliki anak remaja semata wayang. Kemudian dia melanjutkan, ”Dulu saya sempat punya pikiran untuk bunuh diri, namun perhatian teman-teman gereja mencegah saya melakukannya. Jadi, saya pun mau anak saya berada dalam lingkungan seperti saya dahulu. Jika dia mengalami masa-masa sulit, ada orang lain yang memberikan dukungan positif supaya dia tidak jatuh terpuruk dan berencana mengakhiri hidupnya.”
Tiba-tiba percakapan ini tebersit kembali dalam ingatan, saat saya mendapat kabar seorang mahasiswa Indonesia ditemukan tidak bernyawa di kampusnya, dan diduga bunuh diri. Saya memperhatikan foto sang almarhum, seorang pemuda tampan dengan sorot mata tajam, seakan menatap masa depan dengan penuh harapan. Apakah gerangan yang menjadi kesulitannya? Namun, pemikiran untuk bunuh diri di masa muda, tidak hanya dimiliki pemuda-pemuda zaman sekarang. Pemuda-pemuda zaman dahulu pun ada yang memiliki pikiran tersebut, seperti teman saya.
Saya pun kembali melihat masa lalu saya, kerikil-kerikil tajam apakah yang pernah membuat saya kehilangan asa? Apakah yang menyebabkan saya bertahan melewatinya? Dan jawabnya adalah cinta. Merasa diri dicintai dan mencintai. Bertahan dan berharap, karena ada secercah kasih yang memperjuangkan asa dalam diri agar tidak padam.
Dan dari manakah cinta itu berasal? Tentu saja dari Sang Pencipta. Masa muda penuh gejolak dan rintangan, hanya percaya bahwa Tuhan mengasihi saya bagaikan biji mata-Nya, itulah sumber kekuatan. Karena itu, kita, yang sudah melewati lebih dari setengah perjalanan hidup ini harus tidak jemu-jemu memberitakan kasih Tuhan. Biarlah anak-anak muda tahu bahwa masa depan sungguh ada, dan harapannya tidak akan hilang, setajam apa pun kerikil yang harus dilewatinya.
Tjhia Yen Nie | Sobat Media
Foto: Unsplash/Emmanuel Phaeton