Belajar Bahagia
”Umat-Ku, apakah yang telah Kulakukan kepadamu? Dengan apakah engkau telah Kulelahkan? Jawablah Aku” (Mi. 6:3). Demikianlan pertanyaan Tuhan kepada umat Israel.
Tampaknya, pada waktu itu Israel telah salah konsep berkait aturan yang telah ditetapkan Allah. Bisa jadi mereka merasa terbeban dengan segala aturan yang ada. Padahal aturan-aturan itu diadakan agar umat sungguh-sungguh diperkenan Tuhan. Sejatinya Tuhan tidak menuntut apa pun.
Perhatikan ayat 8: ”Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?”
Salah Konsep
Memang tak hanya Israel, tak sedikit orang Kristen yang salah konsep dan merasa bahwa Tuhan mengikat mereka dengan segala aturan. Padahal aturan itu dimaksudkan Tuhan agar kita tetap layak di hadapan-Nya.
Sebagai ilustrasi, mari kita perhatikan sepuluh firman. Tak sedikit orang terpaku pada serangkaian kata ”jangan”. Jangan ada padamu Allah lain di hadapanku, jangan membuat patung, jangan ini, dan jangan itu. Dan kadang kita sering lupa bahwa sebelum serangkaian kata ”jangan” ada pembukaan: ”Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan” (Kel. 20:2).
Dengan preambul macam begini, jelas Israel telah menjadi umat Allah. Dan karena Israel adalah umat Allah, maka ada standar hidup. Itu berarti serangkaian kata ”jangan” itu merupakan keniscayaan karena mereka telah menjadi milik Allah. Tidak melakukan yang baik malah aneh.
Hidup sebagai Umat Allah
Yesus orang Nazaret, semasa hidup-Nya di bumi, menegaskan kembali bagaimana hidup sebagai umat Allah. Yesus memulai pengajaran di bukit dengan ucapan: ”Berbahagialah.” Itulah kata yang berulang kali diucapkan Yesus kepada orang banyak di atas bukit (Mat. 5:3-12). Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Sederhana: beruntunglah! Namun, yang menarik untuk disimak, ternyata alasan untuk berbahagia itu bukanlah karena hilangnya semua penderitaan. Tidak sama sekali.
Mari kita perhatikan beberapa alasan kebahagiaan itu. Pertama, ”Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” Alasan kebahagiaan orang yang miskin di hadapan Allah bukanlah karena nanti dia menjadi kaya, atau menjadi kaya di hadapan Allah; tetapi karena merekalah pemilik Kerajaan Surga.
Sejatinya orang yang miskin di hadapan Allah adalah orang yang menggantungkan harapnya hanya kepada Tuhan. Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Berbahagialah orang yang merasa tidak berdaya dan hanya bergantung pada Tuhan saja; mereka adalah anggota umat Allah.”
Situasinya sama dengan pemazmur yang meratap, ”Lesu aku karena mengeluh; setiap malam aku menggenangi tempat tidurku, dengan air mataku aku membanjiri ranjangku” [Mzm. 6:7). Dalam BIMK tertera: ”Aku letih lesu karena mengaduh; setiap malam air mataku mengalir membasahi tempat tidurku.” Dan karena pemazmur menggantungkan dirinya hanya kepada Allah saja, sungguh merupakan hal yang logis bahwa merekalah yang akan memiliki Kerajaan Surga.)
Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Sederhana dinyatakan: ”Beruntunglah kalian kalau merasa sangat memerlukan Tuhan. Kalian adalah umat Tuhan.” Yang namanya umat Tuhan pastilah sangat memerlukan Tuhan. Kerajaan Allah tentu hanya disediakan bagi setiap orang yang secara total menggantungkan dirinya kepada Allah saja. Dan memang hanya anggota umat Allahlah yang sangat memerlukan Tuhan. Tuhan menjadi hasrat utama.
Kedua, ”Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.” Alasan kebahagiaan orang yang berdukacita bukanlah karena hilangnya dukacita diganti sukacita, tetapi karena dia akan dihibur. Jelas di sini bahwa suasana duka itu tidak hilang sama sekali, namun penghiburanlah yang terpenting. Pada titik ini, jelaslah bahwa hal yang utama bukanlah hilangnya rasa dukacita, tetapi bahwa setiap orang yang berdukacita akan mendapatkan penghiburan. Dan memang hanya orang yang berdukacitalah yang membutuhkan penghiburan.
Dalam Kitab Suci tertera: ”Begja wong sing prihatin; awit bakal padha dilipur déning Gusti Allah.” Mana yang akan kita pilih: bersukacita tanpa teman atau dalam keadaan duka tetapi merasakan penghiburan dari seorang teman? Dan yang tidak boleh kita lupa adalah penghiburan itu berasal dari Allah.
Ketiga, ”Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.” Dunia menyepakati paham: ”yang kuat, yang menang.” Akan tetapi, Kristus mengatakan bahwa orang yang lemah lembut akan memiliki bumi.
Mungkin kita setuju, yang kuat itulah yang menang. Namun, kalau dipikir lebih dalam, kita pun bisa meragukan anggapan itu. Dalam budaya masyarakat umum saja, siapa yang lebih dipuji: orang yang berangasan dan menggunakan segala macam cara untuk mencapai tujuan atau orang yang bersikap lemah lembut? Tentu, kita sangat menghormati orang yang mampu mengalah demi kebenaran. Orang yang mengalah berarti telah mampu menguasai dirinya. Dia tidak dikuasai oleh nafsu berkuasa, tetapi mampu menguasai dirinya.
Dan sejarah membuktikan, orang yang lemah lembut memang menguasai bumi. Kebanyakan orang normal tentu lebih menghargai Bunda Teresa ketimbang Hitler dan Hamengkubowono IX ketimbang Pak Harto.
Keempat, ”Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.” Apakah makna frasa lapar dan haus akan kebenaran? Dalam Alkitab BIMK tertera: ”Berbahagialah orang yang rindu melakukan kehendak Allah; Allah akan memuaskan mereka.” Mengapa Tuhan memuaskan mereka? Jawabnya, karena Allah juga berkepentingan kehendak-Nya terlaksana.
Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Sederhana dinyatakan: ”Beruntunglah kalian kalau ingin sekali menuruti kemauan Tuhan. Tuhan akan memenuhi keinginan itu.” Adakah yang punya pengalaman semacam ini? Yakinlah, Jika Saudara ingin melakukan kehendak Tuhan, maka Tuhan pun akan memampukan kita memenuhi keinginan itu. Itu berarti, kita tidak sendirian. Aplikasinya, jika apa yang kita kerjakan adalah kehendak Tuhan; sesulit apa pun, bersyukurlah karena Tuhan akan campur tangan. Semestinya, ungkapan semacam ini menghibur kita.
Kelima, ”Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.” Apakah makna ”murah hati” dalam aforisme ini? Dalam Kitab Suci tertera: ”Begja wong sing seneng melasi wong liya; awit bakal diwelasi déning Gusti AllahBagaimanakah mengembangkan sikap murah hati dalam hidup Saudara?”
Murah hati berarti siap untuk memberi. Dan ketika kita siap untuk memberi maka kita akan juga beroleh anugerah dari Allah. Jika kita enggan untuk memberi, kemungkinan besar kita tidak akan pernah mendapatkan apa-apa dari Tuhan. Paradoks ini selalu menarik untuk diperhatikan bahwa yang memberi akan menerima…. Yakinlah orang yang murah hati tak akan pernah menjadi miskin; demikian juga orang yang kikir tak akan pernah menjadi konglomerat.
Keenam, ”Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.” Apakah kaitan antara ”orang yang suci hatinya” dan ”melihat Allah”? Dalam Kitab Suci tertera: ”Begja wong sing resik atiné; awit bakal wanuh marang Gusti Allah.”
Sebenarnya ini hanya persoalan logika. Segala yang tidak suci pasti tidak akan tahan di hadapan kesucian Allah. Sama halnya gelap tidak akan tahan terhadap terang. Gelap akan sirna dengan sendirinya.
Ketujuh, ”Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” Dalam Kitab Suci tertera: ”Begja wong sing padha seneng ngrukunaké, awit bakal disebut para putrané Gusti Allah.” Sedangkan dalam Alkitab BIMK tertera: ”Berbahagialah orang yang membawa damai di antara manusia; Allah akan mengaku mereka sebagai anak-anak-Nya!”
Alasan kebahagiaan orang yang membawa damai bukanlah ketiadaan tantangan dari dunia yang keras, tetapi karena mereka akan disebut anak-anak Allah.
Delapan, ”Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” Dalam Alkitab TB-2 tertera: ”Berbahagialah orang yang dianiaya karena melakukan kehendak Allah, karena merekalah yang punya Kerajaan Surga.”
Jelaslah, jika melakukan kehendak Allah, kita telah menjadi warga Kerajaan Surga. Kerajaan Surga hanya berisikan orang-orang yang melakukan kehendak Allah.
Sembilan, ”Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.”
Yesus memperlihatkan risiko yang akan dihadapi oleh para pengikut-Nya, juga kita sekarang ini. Akan tetapi, itu jugalah yang dialami nabi-nabi sebelum kita. Yesus menyatakan ”berbahagia” karena kita disejajarkan dengan para nabi.
Berbahagia sebagai Jalan Hidup
Di mata Yesus, orang dapat berbahagia sekalipun berkubang masalah. Kebahagiaan tidaklah terletak pada apa yang dimiliki—atau apa yang dirasakan—tetapi pada sesuatu yang lebih dalam: yakni bagaimana seharusnya manusia hidup.
Rentetan kata sifat (miskin, lemah lembut, suci, dukacita, belas kasihan, damai, lapar dan haus) merupakan jalan hidup yang harus dijalani para pengikut Kristus. Dan jalan hidup ini merupakan bukti nyata seorang Kristen. Dengan itulah mereka dapat disebut berbahagia.
Janganlah pula kita lupa, yang menyebut berbahagia bukanlah sembarang orang, tetapi Kristus sendiri: Allah yang menjadi manusia. Marilah kita menjadi orang yang berbahagia. Sejatinya, Dia sendiri pernah merasakan semua hal itu! Dan dalam semuanya itu Dia tetap setia menjalankan misi-Nya. Jadi, mari kita belajar bahagia!
Yoel M. Indrasmoro
Gambar: Pexels/Teck Heng