Belajar Lemah Lembut seperti Kristus

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (Flp. 2:5). Demikianlah surat Paulus kepada warga jemaat di Filipi.

Konteksnya adalah ”dalam hidupmu bersama!” Konteksnya bukanlah individu-individu terpisah, yang ingin hidup sendiri-sendiri. Tidak. Konteksnya: ketika individu-individu itu berinteraksi satu sama lain dalam kehidupan bersama.

Tak heran, jika Paulus langsung memberikan nasihat agar warga jemaat menaruh pikiiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus. Mereka perlu mempunyai pikiran dan perasaan yang sama—sebagaimana Kristus.

Pikiran dan Perasaan

Mengapa? Karena pada kenyataannya, ketika dua individu bertemu tak mudah bagi mereka untuk satu hati dan satu pikir. Kita punya peribahasa: ”Rambut sama hitam, pendapat berbeda.” Sekali lagi, karena kita memang berbeda!

Sejatinya: pikiran dan perasaan merupakan inti kemanusiaan. Pikiran berkait otak dan perasaan berkait hati. Dan Paulus memang tidak hanya menekankan salah satu. Ini bukan pilihan: pikiran atau perasaan. Bukan pilihan yang ditawarkan Paulus. Namun, Paulus berbicara kedua-duanya. Hati dan otak sekaligus.

Jika hanya menekankan perasaan, maka yang acap terjadi bukanlah kemajuan, malah kemunduran. Menekankan hati saja akan membuat seseorang merasa perlu menahan perasaannya—takut melukai hati orang.

Kadang yang terjadi memang demikian. Karena takut membuat kawan bicara sakit hati, kita merasa perlu menahan diri. Atau, kita merasa orang tersebut akan tahu sendiri dengan sendirinya. Iya, kalau nantinya tahu, kalau kagak?

Dan kalau dirunut, sesungguhnya ketakutan semacam itu lebih disebabkan karena seseorang takut orang lain memandang negatif dirinya. Sebetulnya, dia bukannya takut melukai, tetapi karena dia takut orang lain membenci dirinya. Ujung-ujungnya: diri sendiri. 

Namun demikian, jangan pula hanya menekankan pikiran! Kalau hanya menekankan otak, mungkin kawan bicara kita langsung tersinggung. Ia mungkin tahu dan sadar dirinya salah. Namun, kalau penyampaiannya tidak dengan hati, ’kan malah berabe!

Seseorang mungkin menyadari dalam hati bahwa dirinya salah. Namun, ketika orang lain mengatakannya dia bisa murka. Aneh memang, namun itulah kenyataannya. Orang jelek akan tersinggung ketika mendengar orang berkata: ”Jelek, Lu!” tetapi, juga akan tersinggung jika orang berkata: ”Cakep, Lu!”

Antara pikiran dan perasaan seharusnya setimbang. Jangan hanya berat di satu sisi. Kata setimbang sangat menolong di sini. Setimbang itu berarti seperti timbangan—kalau berat di satu sisi, maka kita harus memberi perhatian di lain sisi agar setimbang.

Selanjutnya Paulus menulis: ”yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri” (Flp. 2:6-7). Dalam BIMK: ”Pada dasarnya Ia sama dengan Allah, tetapi Ia tidak merasa bahwa keadaan-Nya yang ilahi itu harus dipertahankan-Nya. Sebaliknya, Ia melepaskan semuanya lalu menjadi sama seperti seorang hamba.” Dan itulah yang terjadi pada Minggu Palma.

Minggu Palma

Minggu Palma merupakan penggenapan Zakharia sebagaimana catatan penulis Injil Matius: ”Lihat, Rajamu datang kepadamu, Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai betina, dan seekor keledai beban yang muda.”

Kata ”lemah lembut” atau praeis pertama kali dipakai oleh penulis Injil Matius dalam khotbah di Bukit: ”Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.” Kata lemah lembut, dalam Alkitab BIMK, rendah hati mirip artinya dengan ”tidak mengandalkan kuasa sendiri”.

Menurut Stefans Leks, maknanya hampir sama dengan kata bersahaja, yang berarti sederhana; apa adanya; tidak berlebih-lebihan. Orang bersahaja tidak pernah main kuasa atau menunjukkan kuasanya. Ia tidak pernah main kuasa atau menunjukkan kuasanya, sebab andalannya adalah Allah sendiri. Ia tidak mengklaim apa-apa dan kekuataannya ada dalam kesahajaannya. Dan memang itulah yang terjadi pada Minggu Palma.

Tuhan Memerlukannya

Pada masa itu di Palestina, keledai bukanlah hewan yang dianggap hina, melainkan terhormat. Bila raja pergi berperang, ia akan mengendarai kuda. Jika raja datang dengan maksud damai, ia akan mengendarai keledai.

Yesus masuk ke Yerusalem bukan untuk menaklukkannya secara politis, melainkan untuk menyerahkan diri-Nya. Dia datang bukan untuk berperang, melainkan menawarkan damai. Bukan paras garang, tetapi paras lemah lembutlah yang ditampilkan-Nya. Yesus datang dalam damai dan demi kedamaian. Dan keledai merupakan simbol perdamaian.

Keledai menjadi wahana kedatangan Yesus ke Yerusalem. Meski tak dianggap oleh kebanyakan orang karena tak segagah kuda, lamban, dan terkesan bodoh, keledai dihargai Sang Guru dari Nazaret. Bahkan, kepada para murid yang diutus untuk menjemput keledai tersebut, Yesus berpesan, ”Tuhan memerlukannya.”

Tuhan memerlukannya! Yesus—Allah yang menjadi Manusia—tak sungkan untuk mengaku bahwa Dia membutuhkan pertolongan keledai muda itu. Yesus tidak menyembunyikan kenyataan tersebut, Dia berkata dengan terus terang. Dia sungguh-sungguh membutuhkan keterlibatan keledai dalam menggenapi misi-Nya: menjadi pendamai antara Allah dan manusia.

Yesus memang membutuhkan peran serta keledai yang belum pernah ditunggangi orang. Kenyataan itu selaras pula dengan maksud kedatangan-Nya ke Yerusalem. Hewan yang akan digunakan untuk maksud suci haruslah hewan yang belum pernah dipakai untuk tujuan apa pun. Keledai muda itu secara tidak langsung diangkat menjadi rekan sekerja Yesus dalam menuntaskan misi-Nya: menjadi Juruselamat dunia.

Menjadi rekan sekerja Yesus dan menjadi simbol perdamaian merupakan tugas yang mesti dijalani keledai muda itu. Tak ada paksa memaksa di sini. Yesus tidak memaksa keledai tersebut untuk tunduk kepada-Nya.

Sebaliknya, sang keledai pun kelihatannya pasrah bongkokan ’menerima tanpa syarat’ kala para murid menghamparkan pakaian mereka di atas punggungnya. Tak ada pemberontakan. Yang ada hanyalah kerelaan terlibat dalam karya Tuhan. Dia bersikap laksana hamba Tuhan: tak menolak kerja dan rindu menyenangkan hati Tuhannya. Mungkin tanpa disadarinya, Keledai itu pun belajar dari Pribadi yang mengendarainya!

Sejatinya, Minggu Palma mendorong kita untuk menjadi lebih lemah lembut, rendah hati, bersahaja seperti Kristus, juga keledai. Amin.

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa