”Berfirmanlah, Sebab Hamba-Mu Ini Mendengar.”
Kisah pemanggilan Samuel dimulai dengan sebuah kenyataan pahit: ”Pada masa itu firman Tuhan jarang, penglihatan pun langka” (1Sam. 3:1). Mengapa pahit? Sebab, tidak ada komunikasi antara Allah dan umat-Nya.
Bisa jadi itu disebabkan karena anak-anak Eli ternyata tidak mengindahkan Allah. Sebagai imam mereka bertindak semaunya sendiri. Dan Eli sebagai pemimpin umat Israel enggan menegur mereka. Ketidaan keteladanan moral dan etika pemimpin berimbas pada hancurnya bangsa yang mereka pimpin. Dan pada titik itulah Allah bertindak. Ia menyiapkan Samuel menjadi pemimpin bangsa.
Samuel Namanya
Samuel namanya. Nama ini sungguh sarat arti. Alasan Hana, ibunya, memberi nama Samuel adalah ”Aku telah memintanya dari Tuhan” (1Sam. 1:20). Secara harfiah nama Samuel berarti Allah mendengar. Ya, Allah mendengar doa Hana.
Karena telah memintanya dari Allah, Hana berikhtiar mempersembahkan anaknya kepada Allah. Ketika menyerahkan Samuel kepada Eli, Hana berkata, ”Anak inilah yang kuminta dalam doa dan Tuhan telah telah memberikan kepadaku, apa yang kuminta kepada-Nya. Sebab itu, aku pun menyerahkannya kembali kepada Tuhan; seumur hidupnya ia diserahkan kepada TUHAN” (1Sam.1:27-28).
Jelaslah, nama Samuel bukanlah sembarang nama. Dan malam itu nama itu berkumandang di telinga Samuel—”Samuel, Samuel!” Tidak cuma sekali. Hingga tiga kali. Samuel mengira itu adalah suara Eli, sehingga dia bolak-balik menghadap Eli. Dan akhirnya Eli pun menyadari bahwa itu adalah suara Allah.
Apa artinya semuanya ini? Pertama, Allah, Sang Pencipta, adalah Pribadi yang mengenal ciptaan-Nya. Ia memahami karakter dan keunikan setiap manusia. Sekali lagi, karena Dialah yang telah menciptakan manusia. Ia jugalah yang telah menciptakan Samuel. Allah merancangkan hidup Samuel, bahkan sebelum dia lahir.
Pemazmur bersaksi: ”Tulang-tulangku tidak terlindung dari pandangan-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, ditenun di bagian-bagian bumi yang paling bawah; mata-Mu melihat selagi aku belum berbentuk, dan dalam kitab-Mu semua sudah tertulis, hari-hari yang sudah dibentuk, sebelum ada satu hari pun” (Mzm. 139:15-16).
Hana, ibu Samuel, sangat paham akan hal itu. Sehingga dia menyerahkan kembali Samuel ke tangan Allah. Samuel bukanlah miliknya semata. Samuel adalah dari Allah dan milik Tuhan.
Allah adalah pribadi yang mengenal ciptaannya. Ia memanggil Samuel seturut dengan namanya. Ia mengenali Samuel.
Kedua, Allah juga Pribadi yang ingin bersekutu dengan manusia. Allah adalah Pribadi yang menyapa manusia. Allah ingin berkomunikasi dengan manusia. Kisah Samuel Muda memperlihatkan bagaimana dalam setiap zaman, Allah ingin ngobrol dengan manusia. Ia ingin berkomunikasi dengan manusia. Dan Allah ingin manusia menanggapi panggilan itu sebaik mungkin.
Eli meninggalkan pesan yang baik. Tidak hanya untuk Samuel, tetapi juga manusia di segala abad, ”Berfirmanlah, sebab hamba-Mu ini mendengar” (1Sam. 3:10). Nasihat Eli sungguh logis. Jika Allah ingin berkomunikasi dengan kita, hal yang paling wajar yang perlu kita lakukan ialah mendengar suara-Nya.
”Berfirmanlah, sebab hamba-Mu ini mendengar.” Kalimat ini mensyaratkan adanya kesiapan manusia untuk mendengarkan suara Allah. Kalimat ini juga menyiratkan bahwa manusia menyadari apa yang hendak dikatakan merupakan sesuatu yang penting. Karena penting itulah, kita menyediakan diri untuk mendengarkan suara-Nya.
Berkait mendengar, telinga adalah indra yang pertama kali terbentuk dalam diri manusia ketika masih berusia 4-5 minggu di dalam rahim. Kemudian pada usia janin 18-20 minggu sistem pendengaran janin benar-benar utuh. Di usia ini, janin sudah mulai mendengar suara dari dalam rahim. Karena itu, mendengarkan firman Allah merupakan keniscayaan. Sebab, pada waktu itulah kita memahami kehendak Allah.
Mendengarkan Suara Allah
Inilah persoalan besar manusia. Ketimbang mendengarkan suara Allah, manusia lebih suka mendengarkan suaranya sendiri. Dan akhirnya menggugu kehendaknya sendiri.
Itu jugalah yang tersirat dalam diri orang-orang Farisi. Mereka mempersoalkan para murid yang memetik bulir gandum pada waktu Sabat. Memang para murid itu melanggar Sabat, tetapi Yesus menekankan bahwa mereka sedang lapar. Dapat sungguh dipersoalkan jika para murid-Nya memetik bulir gandum itu lalu dibuang. Jika ini yang terjadi, Sang Guru pastilah sudah memarahi para murid-Nya.
Sehingga Yesus menantang orang-orang Farisi itu ketika melihat seseorang yang tangannya mati sebelah di rumah ibadat, ”Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa atau membunuhnya?” (Mrk. 3:4).
Mengapa ini semua bisa terjadi? Sebab, orang-orang Farisi itu tidak bersikap dan bertindak alkitabiah, melainkan ayatiah. Mengapa? Sebab, mereka tidak mendengarkan firman Allah dengan sungguh-sungguh. Sehingga, mereka terjebak dalam teks tertulis dan tidak memahami makna di di balik teks tertulis itu.
Apa artinya bagi kita? Jika kita hendak memahami kehendak Allah, kita perlu mendengarkan firman Allah. Itu berarti kita perlu melatih pendengaran kita. Biarlah telinga kita tidak hanya mendengarkan apa yang ingin kita dengar. Kita perlu mendengar suara Allah. Dalam hal ini kita perlu diam. Bukan berarti kita tidak boleh ngomong. Namun, sering kali persoalannya memang di sini: kebanyakan omong akan membuat kita kurang peka terhadap suara Allah.
Sejatinya, firman Allah adalah harta terbesar dalam diri manusia. Itu jugalah yang disaksikan Paulus (lih. 2Kor. 4:7). Karena itu, kita perlu terus berkata seperti Samuel, ”Berfirmanlah, sebab hamba-Mu ini mendengar.”
Yoel M. Indrasmoro