Bersikap dan Bertindak Rasuli

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Dari mana orang ini memperoleh hal-hal ini? Hikmat apakah yang diberikan kepada-Nya? Bagaimanakah mujizat-mujizat yang demikian dapat diadakan oleh tangan-Nya?” (Mrk. 6:2-3).

Demikianlah kalimat yang terlontar ketika orang-orang kampung halamannya menyaksikan Yesus mengajar. Mereka takjub. Mereka tak habis mengerti bagaimana mungkin teman sepermainan mereka sekarang telah berubah begitu drastis. Sekali lagi, mereka terpana menyaksikan pengajaran Yesus.

Dari Takjub Menjadi Iri

Namun, itu tidak berlangsung lama. Rasa kagum itu berubah menjadi rasa iri. Ya, kemungkinan besar memang banyak orang yang merasa iri, teman sepermainan mereka telah menjadi orang—dan didengar oleh banyak orang. Mungkin ada yang merasa mengapa bukan mereka yang memiliki kuasa mengajar seperti itu? Mengapa harus Yesus, anak tukang kayu itu?

Hati-hati dengan rasa iri Saudara! Kematian pertama disebabkan karena sang pembunuh dikuasai rasa iri. Kain iri dengan Habel. Ia marah karena Tuhan ternyata menerima persembahan Habel. Karena enggak berani langsung marah kepada Tuhan, Kain langsung membunuh Habel. Lagi pula—seperti ungkapan anak-anak muda delapan puluhan—sirik memang tanda tak mampu!

Kelihatannya itu pulalah yang terjadi, mereka akhirnya malah mempertanyakan keabsahan pengajaran Yesus. Lalu keluarlah pernyataan yang merendahkan Yesus: ”Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon? Bukankah saudara-saudara-Nya yang perempuan ada di sini bersama kita?” Akhirnya, mereka pun menjadi kecewa dan menolak Yesus. Ya, rasa kagum itu berubah menjadi iri, dan akhirnya mereka menolak Yesus.

Menurut Injil Lukas, kalimat-kalimat itu terlontar dari mulut orang-orang Nazaret karena mereka heran dengan kenyataan tidak adanya demonstrasi penyembuhan. Mereka  mungkin juga bingung dan bertanya-tanya mengapa Yesus tidak melakukan satu mukjizat pun. Dengan kata lain, jika Yesus melakukan penyembuhan di banyak tempat, masak Ia tidak mau mengadakan mukjizat di kota masa kecil-Nya?

Yesus: Manusia Merdeka

Mungkin saja mereka ingin Yesus membuktikan diri-Nya sebagai orang yang sanggup membuat mukjizat. Selama ini mereka hanya mendengar kehebatan Yesus, dan sekarang mereka ingin menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri. Mereka ingin bukti! Dan untuk semua alasan itu, Yesus punya satu jawaban: tidak.

Pada titik ini Yesus tidak tergoda untuk membuktikan diri di hadapan teman-teman sepermainan-Nya. Yesus tidak tergoda untuk membuktikan kehebatan-Nya di hadapan orang-orang yang pernah mengenal-Nya. Bahkan, Yesus siap jika orang-orang Nazaret itu menyebut-Nya kacang lupa kulit.

Di sini Yesus tidak melakukan sesuatu seturut kata orang. Yesus merupakan pribadi merdeka. Tetapi, itu tidak berarti bersikap dan bertindak sesukanya. Bagaimanapun, Yesus merupakan pribadi yang taat kepada Bapa-Nya.

Kalau Yesus melakukan mukjizat, hal itu bukan untuk memuaskan keinginan orang, melainkan agar makin banyak orang mengenal dan memuliakan Allah. Jika kita perhatikan semua mukjizat Yesus, di akhir kisah mukjizat itu senantiasa ada, setidaknya satu orang, yang bersyukur kepada Allah. Jadi, semua mukjizat itu dilakukan Yesus bukan buat pamer. Bukan untuk mendapatkan tepuk tangan. Tetapi, sekali lagi agar semakin banyak orang mengenal dan memuliakan Allah. Dalam pengertian ini, Yesus memang tidak sembarangan membuat mukjizat.

Yesus bersikap merdeka. Dia hanya melakukan apa yang Allah kehendaki, dan bukan apa yang dikehendaki orang lain. Orang kadang sering menuntut ini dan itu. Sekali lagi, Yesus lebih mendengarkan perkataan Allah ketimbang perkataan manusia. Dan karena sikap itulah Yesus siap ditolak!

Pengutusan Para Murid

Menurut Penulis Injil Markus, Yesus heran atas ketidakpercayaan orang-orang Nazaret. Namun, itu tidak membuat Yesus mutung. Ketidakpercayaan orang-orang Nazaret mendorong Yesus untuk mengutus para murid-Nya.

Kisah pengutusan kedua belas murid itu senantiasa menarik untuk disimak. Pertama, Yesus memanggil para murid tidak hanya untuk menikmati persekutuan dengan-Nya, tetapi untuk diutus. Mereka dipanggil untuk diutus. Diutus untuk membagikan apa yang pernah mereka rasakan saat bersama Yesus. Orang Kristen dipanggil tidak untuk menikmati sendirian saja kasih Kristus itu, tetapi juga memberikan kesempatan bagi orang lain untuk merasakannya juga.

Kedua, Yesus tidak pernah mengutus orang sendirian. Dia selalu mengutus orang sebagai kelompok. Manusia memang tidak dapat melakukan apa pun sendirian. Dengan berdua-dua mereka dapat saling dukung, juga saling asah. Alasan lainnya, mungkin Yesus hendak menghindari kecenderungan kesombongan dalam diri murid-Nya. Jika hanya satu orang, saat berhasil mudah bagi dia untuk menyatakan kepada dunia bahwa karena dia (dia sendirilah) sukses dicapai. Kelompok membuat orang memahami bahwa keberhasilan bukan karyanya semata, tetapi orang lain, dan juga Tuhan.

Ketiga, Yesus memberi kuasa. Utusan memang membawa wibawa pribadi pengutusnya. Seharusnya, ini membuat para utusan Kristus jauh dari sikap rendah diri. Bagaimanapun, Kristuslah yang telah mengutus mereka.

Keempat, Yesus melarang para murid membawa apa-apa. Tampaklah kepasrahan penuh kepada Pengutus. Kristus sendiri yang akan mencukupkan kebutuhan mereka. Utusan semestinya pasrah total kepada Sang Pengutus.

Akhirnya, apakah kita telah sungguh-sungguh hidup sebagai utusan Kristus?

Respons Para Murid

Bagaimanakah respons para murid itu? Penulis Injil Markus mencatat: ”Lalu pergilah mereka memberitakan bahwa orang harus bertobat, dan mereka mengusir banyak setan, dan mengoles banyak orang sakit dengan minyak dan menyembuhkan mereka.” (Mrk. 6:12-13).

Para murid tidak tinggal diam. Mereka sungguh-sungguh hidup dan dihidupi oleh Injil Yesus Kristus. Mereka tidak ingin menikmati Kabar Baik itu sendirian. Mereka bergerak. Tanpa peduli rintangan, para murid terus mengumandangkan Injil. Tak jarang dengan nyawa mereka.

Itu jugalah yang dilakukan Paulus, rasul ketiga belas. Ia bersikap: ”Karena itu, aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan karena Kristus. Sebab, jika aku lemah, maka aku kuat.” (2Kor. 12:10).

Umat percaya masa kini merupakan buah dari pekabaran Injil para murid di masanya. Kita pun dipanggil untuk melanjutkan tugas perutusan itu agar semakin banyak orang yang merasakan Injil.

Rintangan selalu ada. Tetapi, seperti kepada Daud, para murid abad pertama, janji Tuhan tidak berubah: Tuhan Semesta alam menyertai dan memimpin kita! (Lih. 2Sam. 5:10, Mzm. 48:10).

Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media

Foto: Istimewa