Bukan Beban, Melainkan Kepercayaan

”Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat. 11:28). Demikianlah undangan Sang Guru.
Undangan ini kadang menimbulkan salah pengertian. Seakan-akan Yesus memanggil semua orang yang menderita. Sebenarnya yang dimaksudkan di sini adalah orang-orang Yahudi yang letih karena Taurat. Ahli Taurat telah menetapkan 613 aturan yang harus diikuti setiap orang Yahudi. Dan itu sungguh melelahkan.
Pengakuan Paulus
Banyak aturan itu malah membuat banyak orang Yahudi frustrasi. Itu jugalah yang dialami Paulus. Dia mengaku: ”Aku, manusia celaka!” (Rm. 7:24). Pengakuan ini beralasan karena Paulus sendiri menyatakan: ”Sebab apa yang aku lakukan, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku lakukan, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku lakukan” (Rm. 7:15).
Inilah kenyataan dosa. Dosa merupakan keadaan putusnya hubungan antara manusia dan Allah. Kala manusia memutuskan hubungan dengan Allah, dia cenderung melakukan apa yang jahat. Dan itulah yang dinyatakan Paulus pada kalimat-kalimat berikutnya.
Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Saya tahu bahwa tidak ada sesuatu pun yang baik di dalam diri saya; yaitu di dalam tabiat saya sebagai manusia. Sebab ada keinginan pada saya untuk berbuat baik, tetapi saya tidak sanggup menjalankannya. Saya tidak melakukan yang baik yang saya ingin lakukan; sebaliknya saya melakukan hal-hal yang jahat, yang saya tidak mau lakukan” (Rm. 7:18-19). Semakin berusaha melakukan yang baik, Paulus menemukan bahwa ia semakin tidak mungkin melakukannya.
Itulah pengakuan Paulus. Dia ingin melakukan apa yang baik, tetapi yang jahatlah yang diperbuat. Inilah pengalaman hidup Paulus. Dan sedikit banyak itu jugalah pengalaman kita.
Dosa cenderung membuat manusia melakukan kesalahan demi kesalahan. Aturan yang dimaksudkan untuk membuat kita hidup, malah sering kali kita langgar!
Kuk
Perkataan Yesus di sini merupakan undangan kepada setiap orang yang merasa putus asa. Yesus memberi kelegaan. Kelegaan di sini ialah bahwa pengikut Kristus tak perlu ribet dengan semua peraturan yang malah membuat kita malah merasa bersalah.
Tetapi, itu tidak berarti bahwa seorang Kristen boleh hidup liar. Yesus menyatakan bahwa pengikut-Nya harus hidup tertib. Perhatikanlah perkataan Yesus selanjutnya: ”Pikullah kuk yang Kupasang…. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.” (Mat. 11:29-30).
Yesus memberikan kuk. Kuk biasanya ditaruh di atas pundak sapi agar mampu bekerja sesuai perintah tuannya. Dan kuk yang baik ialah kuk yang tidak mencekik leher sapi. Namun, kuk yang membuat sapi dapat bekerja tanpa merasa sakit. Kuk merupakan kiasan untuk perintah Yesus. Perintah Yesus menyenangkan karena memang demi kehidupan—dan bukan demi kematian—manusia.
Itu jugalah yang dilakukan Yesus Orang nazaret. Dia taat kepada Bapa-Nya. Dan kita juga dipanggil untuk menaati Allah. Caranya adalah dengan rela menerima kuk dari Yesus Orang Nazaret. Dan belajar seperti Yesus dalam menaati Allah.
Belajar dari Eliezer
Kita juga bisa belajar dari Eliezer—hamba Abraham—dalam hal ini. Abraham menugasinya untuk mencari calon istri bagi Ishak. Pada masa itu hal kayak begini memang lazim terjadi. Kepala keluarga meminta hamba kepercayaannya mencarikan calon istri untuk anaknya. Lagi pula, jauh sebelum kelahiran Ismael dan Ishak, Abraham pernah berencana mengangkat Eliezer sebagai ahli warisnya. Dan menurut penulis Kitab Kejadian Eliezer adalah hamba Abraham yang paling tua dalam rumahnya dan mempunyai wewenang atas segala kepunyaannya. Jadi, hubungan antara Abraham dan Eliezer memang sangat baik. Tak heran, jika Abraham memercayainya untuk mencari jodoh bagi Ishak.
Namun demikian, syarat yang diberikan Abraham cukup berat. Calon istri Ishak haruslah berasal dari negeri asal Abraham sekaligus kerabat Abraham. Dan yang pasti lebih rumit: Ishak tidak boleh turut serta dengan Eliezer. Tak mudah bukan? Mencari istri yang sesuai, namun calon mempelai laki-laki tidak terlibat dalam proses pemilihan itu. Lalu, dari mana Eliezer tahu bahwa mereka merupakan pasangan sepadan?
Setelah mendengar semua titah majikannya itu, Eliezer pergi. Dia tidak protes. Dia taat, pasrah bongkokan, pergi ke Kota Nahor. Di kota itu, di sebuah mata air, Eliezer berdoa. Perhatikan doanya: ”TUHAN, Allah tuanku Abraham, jika Engkau berkenan membuat perjalanan yang kutempuh ini berhasil, lihatlah aku berdiri di dekat mata air ini, kiranya terjadilah begini: Apabila seorang gadis datang ke luar untuk menimba air dan aku berkata kepadanya: Tolong berikan aku minum air sedikit dari buyungmu itu, dan ia menjawab kepadaku: Minumlah, dan untuk unta-untamu pun akan kutimba air, maka dialah istri, yang telah TUHAN tentukan bagi anak tuanku itu” (Kej. 24:42-44).
Strateginya unik dan masuk akal. Eliezer ingin yang terbaik bagi Ishak. Dan yang terbaik itu bukanlah paras cantik, postur tubuh ideal, kepandaian, namun dia berharap calon istri Ishak adalah seorang yang gemar menolong orang asing. Cara seleksi yang unik karena tak banyak orang yang suka menolong orang yang tidak dikenalnya. Gemar menolong itulah kriteria yang ditetapkan Eliezer bagi calon istri anak majikannya. Dia tidak ambil kepentingan dalam hal ini. Dia sungguh-sungguh ingin yang baik bagi Ishak dan demi kepentingan anak majikannya itu. Eliezer sungguh-sungguh ingin calon istri Ishak sungguh-sungguh dapat menjadi penolong yang sepadan.
Dan tidak sekadar gemar menolong. Perhatikan: Eliezer minta kepada gadis itu agar diberi minum, tetapi Eliezer berharap gadis itu tidak hanya memberikan air kepada dirinya, tapi juga unta-untanya. Artinya, Eliezer berharap calon istri Ishak tidak sekadar gemar menolong, tetapi mau melakukan lebih dari yang diminta. Calon istri itu tidak hanya memberi pertolongan secukupnya, namun harus lebih dari yang diharapkan. Menolong lebih dari yang diharapkan merupakan sifat keutamaan karena banyak orang memberi secukupnya. Dan Eliezer ingin calon istri majikannya memberi dari yang seharusnya. Bukankah sulit mencari orang macam begini? Itulah strategi Eliezer yang keluar dari hati yang ingin memberikan yang terbaik bagi tuannya sekaligus buah dari akal budi yang terlatih baik! Dan Allah menjawab doa sekaligus strateginya.
Apa yang menarik dari doa Eliezer ini. Dia memahami bahwa doa merupakan hal yang penting. Artinya, dia menyerahkan semua persoalan kepada Tuhan. Akan tetapi, dia juga berkeyakinan bahwa tak hanya cukup berdoa. Eliezer tidak berkata, ”Terserah-Mulah, Tuhan! Yang penting, saya dapat menjalankan tugas saya dengan sebaiknya.” Tidak. Manusia harus berusaha. Dan usaha Eliezer adalah membuat strategi di dalam doa. Dan strateginya ternyata jitu. Sebab memang tak banyak orang yang senang menolong tanpa pamrih.
Eliezer memandang tugasnya bukan sebagai beban. Itu adalah kepercayaan. Dan dia memegang teguh kepercayaan itu dengan memberikan yang terbaik, lebih dari yang diinginkan Abraham. Bagaimana dengan kita?
Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa Via Media
Foto: Istimewa