Guru yang Menulis Buku

Published by Kris Hidayat on

Bang Victor Nikijuluw, begitu saya memanggilnya. Bang Victor adalah seorang senior dan guru yang saya kagumi. Sesekali kami berjumpa di rumah beliau di Bogor. Rupanya kami terhubung dengan satu minat yang sama, buku. Beliau menulis banyak buku, dan saya masih harus banyak belajar dari beliau.

Saya berkesempatan berkunjung, sebelumnya hanya bersapa via media. Ada kesempatan bertemu di sela waktu Bang Victor bekerja di rumah. Saya senang. Ada banyak hal yang ingin saya ceritakan dan tanyakan kepadanya.

Di teras rumahnya kami berbincang dengan suguhan kopi yang diseduhnya sendiri. Ketika beliau datang dengan dua cangkir minuman, saya melihat beliau malah minum air putih, tetapi menawarkan kopi kepada saya, wah.

Pemimpin dan Bukunya

Saya sengaja membawa buku Kepemimpinan di Bumi Baru: Menjadi Pemimpin Kristiani di Tengah Dunia yang Terus Berubah. Lalu Bang Victor berkisah tantang buku yang ditulisnya dengan almarhum Aristarchus Sukarto ini, yang diterbitkan oleh Literatur Perkantas. Bang Victor mungkin tak pernah pensiun untuk pekerjaan menulis, bergiat di lingkungan, juga kepeduliannya bagi Indonesia Timur—kegiatan yang tetap membuatnya bersemangat dengan kesehatan yang prima. Topik-topik berat, namun dengan hangat dan akrab Bang Victor menjelaskannya.

Bang Victor tidak saja menulis buku, tetapi mewariskan kebiasaan membaca dan mengoleksi buku-buku bagi kedua anaknya. Masing-masing mereka punya koleksi buku. Begitulah cara Bang Victor menceritakan pengaruh kegiatan membaca yang ditularkan bagi anak-anaknya.

Saya pun teringat akan sebuah rak buku unik yang ada di dekat meja makannya. Rak itu bahkan sudah ada dari rumah beliau sebelumnya. Buku seolah menjadi makanan jiwa keluarga ini. Bila ingin berkunjung ke rumah mereka, ketiklah ”Lima Buku-Dua Ikan” pada pencarian di peta elektronik Anda.

Melalui buku, Bang Victor berbagi kepedulian untuk gereja dan masyarakat. ”Untuk gereja-gereja kecil, apalagi yang di luar pulau jawa, mereka butuh dan masih haus akan buku. Di Bogor saya amati, hanya kami-kami yang membeli buku di kolportase gereja,” demikian Bang Victor berkisah. Beliau juga sering membeli buku dan dibagikan kepada para pendeta yang dikenalnya. ”Saya suka dengan jemaat kecil ini, saya rutin diundang berkhotbah di sana. Saya senang karena mereka gemar membaca.”

Kegemaran membaca dan kegiatan tulis-menulis rupanya perlu diarahkan oleh seorang pemimpin Kristen. Mungkin itu juga yang saya petik dari buku biru beliau—Kepemimpinan di Bumi Baru—, pada bab ”Pemimpin dan Bacaannya”. Bukalah persis di tengah-tengah buku tersebut. Setelah membahas tentang kriteria seorang pemimpin Kristen, yang diberi bobot penting adalah bagaimana seorang pemimpin membaca buku. Bagi saya, Bang Victor adalah seorang guru yang tidak hanya membaca, tetapi juga menulis buku.

Guru Kunci Pemberdaya

Diskusi kami berlanjut untuk pelayanan di daerah-daerah. ”Tangan Terbuka sudah melayani ke daerah pedalamankah?” Tiba-tiba Bang Victor bertanya tentang kegiatan kami. Ya, kami sudah melayani melalui buku yang kami kirimkan, begitu saya menjelaskan program-program donasi buku.

”Guru-guru di sekolah-sekolah daerah, mereka perlu diberi perhatian,” lanjut Bang Victor. Lalu Bang Victor menceritakan diskusi dengan beberapa penggiat yang memiliki visi pelayanan untuk Indonesia Timur, ”Salah satu kelemahan yang perlu dibantu adalah kemampuan guru-guru dalam menulis.” Bang Victor menambahkan satu prasyarat praktis tentang kemampuan menulis, yakni banyak membaca, gemar membaca dan menjadikannya sebagai referensi untuk mengembangkan diri.

Sejenak saya mengingat suasana berdiskusi dengan Bang Victor. Entah mengapa momen seperti ini jadi sangat berharga. Tidak saja saya dilibatkan dalam sebuah rencana besar kepedulian beliau, tetapi saya seolah diperlihatkan sebuah jalan setapak yang terang benderang. Jalan itu menggambarkan sebuah perjalanan pelayanan yang tulus, ketika ingin memberdayakan sebuah komunitas dan gereja dengan karya dan sebuah perencanaan yang matang. Sekali lagi, saya belajar kepemimpinan tentang bagaimana menyiapkan misi dan kerja berjejaring.

”Guru-guru harus ditingkatkan kemampuan menulisnya, lalu harus ada upaya supaya tulisan mereka itu menjadi poin penilaian kinerja, sekaligus mereka berproses dalam pengembangan dirinya,” demikain kira-kira kalimat Bang Victor dalam diskusi siang itu. Saya pun berusaha mengikutinya, dan tak terasa kopi di cangkir saya tak tersisa, namun jiwa ini bergirang karena pembelajaran penting yang saya dapatkan.

Saya pun pamit, setelah beliau memberi tahu bahwa sebentar lagi dia akan kembali ngantor. Pelajaran dari guru saya, Bang Victor, berakhir dengan rencana-rencana konkret yang dapat kami kerjakan di masa depan. Ziarah jalan setapak yang saya lakukan bersama Bang Victor di teras rumahnya, sampai di perhentian yang melegakan. Di depan kami terhampar ladang pelayanan yang akan kami kerjakan bersama-sama di dalam Tuhan, Sang Guru Agung kehidupan.

Kris Hidayat | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media

Foto: Istimewa