Ia Mau, Supaya Kita Hidup di Dalamnya
”Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.” (Ef. 2:10). Inilah peneguhan, sekaligus nasihat, Paulus kepada warga jemaat. Ada beberapa hal yang menarik disimak di sini.
Pertama, Paulus hendak mengingatkan warga jemaat di Efesus—juga setiap orang yang membaca suratnya pada masa kini—bahwa mereka adalah ciptaan Allah. Alasan Paulus menyatakan semuanya ini adalah karena manusia cenderung alpa dengan kenyataan bahwa mereka itu ciptaan Allah. Segala persoalan dunia ini, jika kita telusuri bersumber pada kenyataan bahwa manusia sering lupa bahwa mereka hanya ciptaan.
Paulus mengingatkan bahwa warga jemaat adalah ciptaan Allah. Dan tidak hanya itu. Mereka bukan sembarang ciptaan karena—ini yang kedua— Allah begitu peduli terhadap mereka. Begitu pedulinya Allah, sehingga Dia mati untuk manusia. Ini yang dinyatakan Paulus dengan frasa diciptakan dalam Kristus Yesus.
Penulis Injil Yohanes mencatat: ”Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh. 3:16). Jelaslah, kasih Allah adalah satu-satunya alasan Allah menyelamatkan manusia. Paulus menyatakan kepada warga jemaat di Efesus bahwa hanya ”oleh anugerah kamu diselamatkan” (Ef. 2:5). Sola Gratia! Hanya anugerah!
Gratia seakar kata dengan gratis. Artinya, sesuatu yang diberikan cuma-cuma, namun bukan murahan. Diberikan gratis karena kita tak mungkin membayarnya. Terlalu mahal. Bagaimanakah kita membayar kematian Kristus di atas kayu salib? Isaac Watts menulis syair pada tahun 1707, terekam dalam KJ 169, demikian:
Memandang salib Rajaku yang mati untuk dunia,
kurasa hancur congkakku dan harta hilang harganya.
Dalam syair ini Isaac Watts jujur. Berapakah harga kematian Kristus? Atau, mau kita hargai berapakah kematian Kristus itu? Isaac Watts mengaku keakuannya luluh lantak dan harta menjadi hilang harganya saat memandang salib Yesus. Dan inilah cara yang dipakai Allah untuk menyelamatkan manusia.
Lalu, mengapa Allah memakai cara kayak begini? Salah satu jawabnya ialah karena Dia Allah. Allah mengambil jalan salib karena pada salib tampaklah keadilan dan kasih Allah. Salib menyatakan keadilan Allah—upah dosa adalah maut. Setiap manusia berdosa dan upahnya adalah maut. Artinya: manusia berdosa harus mati. Akan tetapi, Allah mengasihi manusia. Allah tidak ingin manusia binasa. Oleh karena itu, harus ada pribadi nirdosa untuk menggantikan manusia berdosa. Yesus menggantikan manusia berdosa. Itulah kasih Allah sekaligus keadilan Allah. Salib menyatakan keadilan dan kasih Allah. Dan jalan itulah yang harus ditempuh Yesus: Allah yang menjadi manusia.
Demikianlah sola gratia itu. Saya dan saudara hanya diundang untuk percaya. Sola fide! Hanya iman terhadap sola gratia tadi! Dalam percakapan dengan Nikodemus, Yesus sengaja mengutip peristiwa Ular Tembaga ketika bangsa Israel keluar dari tanah Mesir. Dalam bayangan kematian akibat gigitan ular itu, Allah memberikan jalan keluar. Umat Israel akan tetap hidup jika mereka mau memandang Ular Tembaga itu.
Kisah Ular Tembaga ini masih hidup hingga hari ini. Tidak saja di kalangan Kristen. Dunia farmasi mengambil lambang ular tadi sebagai lambang apotek. Analog memang. Jika seorang penderita sakit ingin sembuh, maka tak ada jalan bagi kecuali meminum obat sesuai dengan anjuran dokter.
Kok gampang amat! Memang begitu jalannya. Namun, sebetulnya itu merupakan jalan yang teramat sulit bagi seorang pasien yang tidak lagi percaya kepada dokter. Dan sebagaimana para dokter, Allah memberikan sarana keselamatan bagi manusia. Soal percaya atau tidak itu merupakan tanggung jawab manusia. Itulah bagian manusia.
Dan tidak hanya percaya, melainkan—ini yang ketiga—hidup di dalam kepercayaan itu. Paulus dengan tegas menyatakan bahwa umat yang diselamatkan Allah itu ”diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik” dan Allah mau kita kita hidup di dalamnya. Artinya: melakukan hal-hal yang baik.
Dalam slogan reformasi inilah yang dimaksud dengan sola scriptura. Iman seharusnya berbuah dalam tindakan. Tentunya tindakan-tindakan yang sesuai dengan kehendak Allah. Allah telah menjabarkan kehendak-Nya panjang lebar dalam Alkitab, sehingga sola scriptura merupakan keniscayaan bagi orang-orang yang telah menyatakan dengan tegas imannya.
Dalam bait terakhir dari syairnya, Isaac Watts menulis:
Andaikan jagad milikku dan kuserahkan pada-Nya,
tak cukup bagi Tuhanku – diriku yang diminta-Nya.
Diri kitalah yang diminta Tuhan. Artinya: hidup kita menjadi persembahan kepada Tuhan. Hidup yang dipersembahkan. Artinya, apa pun yang kita perbuat merupakan persembahan bagi Tuhan. Karena persembahan, baiklah kita melakukan semuanya itu dalam sikap hidup sembah.
Itu berarti kita mesti secara berkala perlu bertanya, ”Pekerjaaan baik apakah yang Tuhan ingin kita lakukan?” Bicara soal pekerjaan, bahkan setelah pensiun, kita bertanya dalam hati pekerjaan baik apakah yang Tuhan sediakan bagi kita. Jika kita dipanggil Tuhan pada usia 80 tahun, pension pada usia 55 tahun, maka ada 25 tahun pekerjaan baik yang telah disiapkan Tuhan untuk kita lakukan—bisa berbayar, bisa tidak. Sehingga setiap orang bisa punya karier kedua, bahkan ketiga. Lalu, tekuni pekerjaan itu.
Allah sungguh mau kita hidup di dalamnya. Jadikan pekerjaan kita juga persembahan kita kepada Allah. Inilah hidup yang diperkenan Allah.
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa