Insan-insan Merdeka

Bacaan Leksionari Minggu, 20 Agustus 2023, memperlihatkan kepada kita sikap dan perilaku insan-insan Merdeka.
Yusuf
Yusuf adalah insan Merdeka. Dia telah bebas dari beban masa lampaunya. Apa yang dialami pastilah menyakitkan hati. Mungkin kita maklum jika Yusuf merasa perlu memberikan sedikit pelajaran kepada saudara-saudaranya.
Bayangkan kondisi Yusuf! Dalam usia 17 tahun dijual saudara-saudaranya sebagai budak. Alasannya: rasa iri. Mereka tidak mungkin protes kepada Yakub. Dan Yusuflah yang menjadi korbannya. Yusuf tidak diculik oleh orang asing untuk dijadikan budak. Namun, saudara-saudaranyalah yang menjadikannya budak belian.
Menjadi budak berarti hidup orang tersebut berada di tangan majikannya. Sang majikan tidak akan dituntut atas apa yang dilakukan terhadap budaknya. Ia boleh memperlakukan budak sekehendak hatinya.
Itu jugalah yang dialami Yusuf. Potifar begitu mudahnya menjebloskannya ke dalam penjara. Tak perlu proses hukum karena majikan selalu benar dan budak selalu salah.
Namun demikian, itu tidak dilakukan Yusuf. Ia mampu melihat masa lampau dari perspektif masa kini. Ia percaya apa yang terjadi pada dirinya merupakan cara Tuhan untuk menjadikan dirinya berkat bagi orang lain.
Yusuf tidak merasa perlu memberi pelajaran kepada Saudara-saudaranya karena dia menyadari bahwa Allah mengizinkan semua itu terjadi untuk kebaikan dirinya. Tidak saja dirinya, tetapi negara di mana dia tinggal, dalam hal ini Mesir, juga negara-negara tetangga. Bahkan, keluarga Yakub pun bisa membeli gandum di Mesir.
Perhatikan: ”Aku ini Yusuf, saudaramu, yang kamu jual ke Mesir. Sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini. Justru menyelamatkan hiduplah Allah mengutus aku mendahului kamu.” (Kej. 45:4-5)
Yusuf merupakan sosok manusia merdeka. Ia telah merdeka dari beban masa lampaunya. Bahkan, ia mengatakan kepada saudara-saudaranya untuk tidak bersusah hati dan menyesali diri.
Bisa jadi dalam benak saudara-saudaranya terlintas adanya kemungkinan balas dendam. Bukankah sekarang dia telah menjadi orang kedua dalam pemerintahan Mesir?
Yusuf adalah manusia merdeka dan dia mengajak saudara-saudaranya untuk melihat masa lampau dari perspektif masa kini. Yusuf telah merdeka dari beban masa lampaunya. Dan karena itulah dia mampu membebaskan saudara-saudaranya pula.
Hanya orang merdekalah yang mampu membebaskan orang lain. Bagaimana mungkin orang membebaskan orang lain, jika dia sendiri belum merasa merdeka.
Seandainya Yusuf belum merasa merdeka, pastilah balas dendam menjadi agenda pribadinya. Dan apa yang dilakukannya pasti akan didukung, atau setidaknya orang lain bisa memahami apa yang dilakukannya.
Namun, itu tidak dilakukan Yusuf. Yusuf belajar dari masa lampau. Waktulah yang mendewasakan dirinya. Dia merasa merdeka. Dan karena itulah dia mampu membebaskan saudara-saudaranya dari beban masa lampaunya.
Saudara-saudaranya pastilah juga merasakan kemerdekaan itu. Kemerdekaan sejati bukanlah kemerdekaan dari rasa lapar saja, tetapi juga kemerdekaan dari kesalahan yang pernah diperbuat. Mereka masih membawa beban masa lampau. Dan beban masa lampau yang terberat ialah beban kesalahan masa lampau. Ada sesuatu yang mereka sembunyikan selama 13 tahun.
Ingatlah Doa Bapa Kami! Yesus tidak hanya berbicara soal kebutuhan makanan, tetapi juga kebutuhan pengampunan. Yesus tidak hanya bicara soal kebutuhan jasmani, namun juga kebutuhan rohani.
Dalam pemahaman Yahudi, kesalahan merupakan suatu bentuk utang kepada Allah. Tak heran dalam Alkitab NIV dinyatakan Forgive us our debts. Dan sebelum dihapuskan kesalahan atau utang masa lampaunya setiap orang pastilah masih merasakan beban tadi.
Sekali lagi, sebagai manusia merdeka, Yusuf telah memerdekakan orang lain. Kenyataan memang demikian: hanya orang merdekalah yang sanggup memerdekakan orang lain.
Perempuan Kanaan
Perempuan Kanaan itu juga sosok insan Merdeka. Ia berseru, ”Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud! Anakku perempuan kerasukan setan dan sangat menderita” (Mat. 15:22).
Ia sosok manusia merdeka karena memperjuangkan kemerdekaan anak perempuannya. Ia memang punya beban. Namun, dia juga meyakini bahwa beban yang dikandung anaknya lebih besar lagi. Karena itulah, dia berusaha memperjuangkan kemerdekaan anak perempuannya itu
Perempuan itu layak disebut pejuang. Ia gigih berseru, bahkan makin nyaring berteriak ketika Yesus tidak menggubrisnya. Tak hanya itu, ia malah melakukan perdebatan intelektual. Ketika Yesus berkata, ”Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.”; perempuan itu dengan tangkas berargumen: ”Benar, Tuhan. Namun, anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya.”
Demi kemerdekaan anaknya, perempuan itu berpikir keras soal jawab yang harus diberikannya. Ia tidak mutung ketika Yesus menghinanya. Bahkan, merasa penghinaan itu merupakan jalan masuk bagi dia untuk mendapatkan belas kasihan Sang Anak Daud.
Yang penting anaknya sembuh. Lagi pula, baik roti besar maupun remah-remah roti cuma masalah ukuran. Sama-sama roti bukan? Itulah yang diyakini perempuan Kanaan itu.
Mengapa perempuan itu begitu gigih berjuang? Jawabnya satu: ia mengasihi anaknya. Ia ingin anaknya merdeka dari penyakitnya. Ia sedang memperjuangkan kemerdekaan orang lain. Dan untuk itu ia pantang mundur. Dan karena itu, Yesus Orang Nazaret memerdekakannya!
Perjuangan Kita
Bagaimana dengan Saudara? Sudahkah kita memperjuangkan kemerdekaan orang lain? Atau, jangan-jangan kita belum merdeka?
Berkaitan dengan hubungan antarmanusia, mungkin saja kita masih merasa sakit hati terhadap orang lain. Kita bisa meneladani Yusuf yang merdeka dari beban masa lampaunya sehingga mampu memerdekakan orang lain.
Lagi pula, setiap Kristen merupakan sosok manusia merdeka karena Allah telah membebaskannya dari belenggu dosa. Setiap Kristen merupakan sosok manusia merdeka.
Oleh karena itu, menjadi bagian kitalah untuk mempertanggungjawabkan kemerdekaan itu dengan memerdekakan orang lain. Ini juga perjuangan kita!
Merdeka!
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa