Jangan Berhenti Berbuat Baik!

Kisah Emaus tak ubahnya sebuah metamorfosis dua orang murid yang berjalan menuju Emaus. Ada perubahan, terutama berkait pengenalan mereka terhadap orang asing yang menemui mereka dalam perjalanan.
Mulanya, Lukas mencatat: ”Ketika mereka sedang bercakap-cakap dan bertukar pikiran, Yesus sendiri mendekati mereka, lalu berjalan bersama-sama dengan mereka. Namun, ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia” (Luk. 24:15-16).
Kita tak pernah tahu—Lukas sendiri tidak merasa perlu menjelaskannya—mengapa kedua murid itu tidak mengenal Yesus. Meski terjadi percakapan mengasyikkan, yang membuat hati mereka berkobar-kobar.
Perjalanannya sendiri relatif cukup jauh—11 kilometer. Jika naik Trans Jakarta, itulah jarak antara Pulo Gadung dan Dukuh Atas (koridor 4). Tentunya, mereka pun tidak sedang dalam perlombaan jalan sehat apa lagi jalan cepat. Kalau satu kilometer ditempuh dalam 5 menit. Maka perjalanan itu sendiri berlangsung selama 55 menit. Akan tetapi, itulah faktanya, kedua murid itu tidak mengenal Yesus.
Pada Waktu Memecah-mecahkan Roti
Menarik disimak, Lukas menutup kisah Emaus itu dengan catatan: ”Lalu kedua orang itu pun menceriterakan apa yang terjadi di tengah jalan dan bagaimana mereka mengenal Dia pada waktu Ia memecah-mecahkan roti.” (Luk. 24:35).
Mereka mengenal Sang Guru bukan ketika Dia berbicara penuh semangat, tetapi ketika sedang memecah-mecahkan roti. Pada titik ini menggemalah peribahasa: ”Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama.” Peribahasa itu bermakna bahwa seorang manusia terutama diingat jasa-jasanya atau kesalahan-kesalahannya. Perbuatannya itu—baik atau buruk—akan tetap dikenal setelah meninggal.
Manusia dikenali bukan dari berapa banyak omongnya, tetapi apa yang diperbuatnya. Tak heran, dalam Kitab-kitab Injil, para penulis memang memperlihatkan dengan jelas apa yang dilakukan Yesus, yang berpuncak pada kematian dan kebangkitan-Nya! Yang lebih banyak dicatat adalah perbuatan ketimbang perkataan.
Apa itu artinya bagi kita? Tak ada jalan lain, pengikut Kristus harus meneladan Sang Guru. Kata-kata tentu penting. Namun, apa artinya sekumpulan kata tanpa perbuatan. Itu seperti tong kosong nyaring bunyinya.
Apa yang Harus Kami Perbuat?
Itu jugalah yang ditegaskan Petrus dalam khotbahnya di Hari Pentakosta: ”Jadi, seluruh kaum Israel harus tahu dengan pasti bahwa Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus” (Kis. 2:36).
Menarik diperhatikan, khotbah Petrus begitu runut, jelas, dan lugas, sehingga para pendengarnya langsung bertanya dengan tulus kepada Petrus dan rasul-rasul yang lain, ”Apa yang harus kami perbuat, Saudara-saudara?”
Ini salah satu contoh dari khotbah yang baik. Khotbah yang baik tak hanya memuaskan intelektual atau perasaan, melainkan menggerakkan para pendengarnya untuk berubah. Hati dan otak yang berkobar-kobar mendorong mulut untuk bertanya, ”Apa yang harus kami perbuat?
Petrus tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Dengan tegas, dia menjawab, ”Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia, yaitu Roh Kudus. Sebab, bagi kamulah janji itu, bagi anak-anakmu dan bagi orang yang masih jauh, sebanyak yang akan dipanggil oleh Tuhan Allah kita” (Kis. 2:38-39).
Dan Lukas mencatat: ”Orang-orang yang menerima perkataannya itu dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa” (Kis. 2:41). Dan semuanya itu berawal dari penjelasan Petrus.
Mengapa? Karena Petrus sungguh mengalami kebangkitan Tuhan. Dia tidak hanya menyaksikan Yesus yang bangkit dengan mata kepala sendiri, tetapi dia juga merasakan bagaimana Yesus memulihkan dirinya.
Dia yang awalnya mungkin tak lagi dianggap para murid lagi, karena peristiwa penyangkalan di halaman rumah imam besar, akhirnya dipulihkan Yesus di tepi danau Galilea. Petrus sungguh-sunggu mengalami kebangkitan Tuhan. Sekali lagi, tak sekadar kebangkitan, tetapi Petrus sungguh-sungguh mengalami kebangkitan Tuhan dalam hidupnya.
Itulah sebabnya, Petrus sungguh-sungguh mampu menjadi saksi yang efektif, khotbahnya begitu menggerakkan hati orang, karena dia telah mengalami kebangkitan Tuhan dalam hidupnya.
Bagaimana akan Kubalas?
Itu jugalah kesaksian pemazmur. Perhatikan kembali Mazmur 116:1-4: ”Aku mengasihi Tuhan, sebab Ia mendengarkan suaraku dan permohonanku. Sebab Ia menyendengkan telinga-Nya kepadaku, maka seumur hidupku aku akan berseru kepada-Nya. Jerat maut meliliti aku, kegentaran terhadap dunia orang mati menimpa aku, aku susah dan merana. Tetapi aku menyerukan nama Tuhan, ‘Ya Tuhan, luputkanlah kiranya aku!’”
Tampak jelas bagaimana pemazmur memperlihatkan bahwa Allah adalah pribadi yang berbuat. Perhatikan kata kerja yang digunakan: mendengarkan, menyendengkan. Semuanya aktif: mendengarkan dan menyendengkan.
Dan karena itulah, sungguh merupakan keniscayaan jika pemazmur mengambil sikap pada ayat 13-14: ”Aku akan mengangkat piala keselamatan, dan akan menyerukan nama Tuhan, aku akan membayar nazarku kepada Tuhan di depan seluruh umat-Nya.”
Ada sebuah janji yang terucap dari mulut pemazmur, yang merupakan jawaban atas pertanyaannya sendiri—yang mengakui Allah sebagai pribadi yang menganugerahkan segala kebajikan kepadanya.
Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Aku akan membawa persembahan anggur bagi Tuhan untuk bersyukur atas pertolongan-Nya. Aku akan memenuhi janjiku kepada-Nya di depan seluruh umat-Nya” (BIMK). Menarik juga diperhatikan bahwa perbuatan Allah mendorong pemazmur untuk berbuat pula. Perbuatan baik berbuah perbuatan baik—membawa persembahan dan memenuhi janji.
Membawa persembahan mungkin bukan terlalu soal bagi kita. Akan tetapi, bagaimana dengan janji-janji kita kepada Tuhan? Semua orang sepakat bahwa janji itu tak ubahnya utang sehingga harus dipenuhi. Hanya persoalannya, mungkin kita kadang ingkar janji. Dan sering kali lagi, kepada manusia yang selalu menuntut saja, dan pasti terlihat, kita kerap ingkar; apalagi dengan Allah yang memang tidak kasatmata?
Mari sekarang kita memeriksa diri! Berkait dengan dua hal ini—persembahan dan pemenuhan janji kepada Tuhan—bagaimanakah sikap dan perbuatan kita?
Hidup dalam Keagungan Tuhan
Dalam suratnya, Petrus menyatakan: ”Jika kamu menyebut Dia Bapa, yaitu Dia yang tanpa memandang muka menghakimi semua orang menurut perbuatannya, hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini” (1Ptr. 1:17). Yang dimaksud dengan ketakutan di sini adalah agar setiap orang percaya memuliakan Allah dalam hidupnya. Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Sebab itu selama kalian masih ada di dunia ini, hendaklah kalian mengagungkan Allah dalam hidupmu.”
Alasan Petrus satu saja: ”Sebab, kamu tahu bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat” (1Ptr. 1:18-19).
Kristus mati agar kita Hidup. Sekali lagi, Petrus telah merasakan betapa mahalnya harga darah Kristus dalam hidupnya. Oleh karena itu, dia mendorong orang percaya bersungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hidup. (lih. 1Ptr. 1:22).
Perhatikan sekali lagi, perbuatan baik Allah seharusnya mendorong kita juga untuk melakukan hal yang baik. Perbuatan baik berbuah perbuatan baik pula. Karena itu, jangan berhenti untuk berbuat baik. Selama hidup kita, marilah kita mengagungkan Allah dalam hidup kita!
Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media
Foto: Istimewa