Jurang

Anak kami sangat menyukai keindahan alam. Belum lama ini dia berkemah bersama teman-teman dan para pembinanya selama tiga hari dua malam di kawasan Puncak, Bogor. Tak dinyana di hari kedua, dari pembinanya, kami mendapatkan kabar bahwa anak kami demam. Dari jauh kami terus memantau perkembangan kesehatannya. Tim medis yang ada di sana sudah memberikan obat penurun panas, namun kepalanya masih terasa sakit. Ingin rasanya kami datang ke sana, namun hari sudah mulai senja dan cuaca tidak begitu bersahabat.
Melalui internet kami mengetahui lalu lintas ke arah Puncak terpantau macet total karena hari libur. Agaknya anak kami memahami ketidaknyamanan yang kami rasakan, sehingga melalui telepon dia menginformasikan bahwa dia sudah meminta izin kepada para pembinanya untuk tidak mengikuti kegiatan di malam kedua agar dapat beristirahat. Lalu dia menyarankan agar kami tidak menjemputnya karena hari sudah malam, lagi pula hujan lebat dan lokasinya sulit dijangkau. ”Harus menyusuri jalan yang rusak dan sempit. Di beberapa tempat terdapat jurang yang dalam,” tambahnya. Kami terus mendoakannya. Singkat cerita keesokan harinya dia sudah sehat kembali dan pulang ke rumah dengan ceria. Puji Tuhan!
”Jurang yang dalam” mengingatkan saya bahwa sejak manusia jatuh ke dalam dosa relasi Allah dengan manusia menjadi terpisah. Dosalah yang memisahkannya. Allah yang kudus dan mulia terpisah dengan manusia yang berdosa. Relasi itu dipisahkan seperti jurang yang dalam, yang tak terjembatani bahkan manusia tidak mendengar suara Allah lagi. Namun, karena kasih Allah—melalui pengorbanan Kristus Putra tunggal-Nya—memperdamaikan kembali keterpisahan relasi manusia dengan Allah, sehingga kini relasi itu menjadi begitu indah. Tugas manusia hanyalah percaya kepada-Nya.
Yudi Hendro Astuti | Sobat Media
Foto: Unsplash/Eleni Afiontzi