Kasih Ibu
”Dek, rasanya kalo sakit, punya empat anak juga nggak cukup,” celoteh saya kepada si bungsu, ”Duh, gimana nanti ya… Mama cuma punya 2 anak.”
Rasanya baru kemarin ibu mertua saya berpulang setelah sebelumnya sakit. Dalam percakapan keluarga besar, mereka saling memberi info bahwa mereka bukanlah yang tepat untuk merawat almarhumah. ”Yang paling tepat adalah anak bungsu karena dialah yang paling lama bersama dengan orang tua,” demikian kalimat yang dilontarkan kepada saya—istri si bungsu.
Namun sekarang, Ketika ibu saya masuk rumah sakit, kejadian yang sama seperti terulang kembali. Saya bercerita kepada seorang teman bagaimana semua menantikan pendapat saya untuk bertindak. Ia hanya berkata, ”Itu adalah hak kesulungan.” Sebab, saya anak sulung.
Akan tetapi, jika ditelisik, alasan itu bukan dibuat-buat. Memang semuanya sibuk. Ada yang harus bekerja, berangkat pagi pulang malam. Ada yang harus mengurus rumah tangga, antarjemput anak sekolah. Ada yang tinggal di luar kota. Ada juga yang harus pelayanan. Semuanya sibuk dengan alasan yang sebenarnya.
Saya jadi teringat film Ngeri-Ngeri Sedap, yang dimainkan Tika Panggabean, begitu sulitnya membuat anak pulang ke rumah karena semua memang sibuk. Namun, memang saya pun sibuk, sebagai si sulung maupun istri si bungsu, rasanya hari-hari berlalu dengan cepat. Jika saya bisa merasakan posisi anak saat ini dengan berbagai kesibukannya, apakah saya dapat memaklumi jika suatu hari anak saya pun sibuk menghadapi saya?
Seorang teman sepelayanan yang suka melawat orang sakit memberi tahu saya bagaimana perbedaan antara menjenguk orang tua dan pasangan/anak yang sakit. Biasanya jika anak yang sakit, orang tua akan memasukkan ke kelas rumah sakit yang terbaik, namun tidak sebaliknya. Apakah benar demikian?
Ketika saya menceritakan uneg-uneg ini kepada seorang teman yang merupakan anak tunggal, dia mengatakan, berhubung hanya sendiri, dia tidak ada pilihan untuk merawat ibunya. Demikian pun sang ibu dengan pilihan anaknya. Namun, untuk kelas rumah sakit, semua dilihat dari kepentingan dan ilmu ekonomi, kalau bisa berhemat, mengapa tidak? Dunia memang penuh perhitungan dan prinsip ekonomi.
Tiba-tiba sebuah pesan whatsapp masuk dalam HP saya, rupanya dari anak sulung saya yang sudah lama tidak berkabar, ”Saya pesankan sambal roa buat Mama!” Hati saya pun meleleh karena sebotol sambal yang baru dipesan. Menjadi ibu dan menjadi anak, memang dua posisi yang berbeda. Perhatian anak yang sekecil apa pun membuat hati Ibu tergetar. Sebuah anugerah yang besar dapat merasakannya bersamaan saat ini. Dan semoga saya tetap berbesar hati jika sekeliling saya pun akan sibuk sama seperti saya saat ini.
Sama seperti lagu yang sering saya lantunkan semasa SD, ”Kasih Ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali. Bagai Sang Surya menyinari dunia.”
Tjhia Yen Nie
Foto: Istimewa