Kasih-Nya untuk Semua

Published by Yoel M. Indrasmoro on

Marilah kita arahkan pandangan kepada Yesus Orang Nazaret. Penulis Injil Markus mulai dengan kalimat: ”Lalu Yesus berangkat dari situ dan pergi ke daerah Tirus” (Mrk. 7:24). Guru dari Nazaret itu memang gemar bergerak. Ia tidak mau diam. Ia suka berkarya. Dan itu bukan untuk diri-Nya sendiri, melainkan orang lain.

Melewati Garis Demarkasi

Kalimat ”Lalu Yesus berangkat dari situ dan pergi ke daerah Tirus” memperlihatkan kepada kita juga bahwa Dia adalah pribadi yang merdeka. Dia bebas bergerak. Dia tidak bergerak menurut kata orang, tetapi Dia melakukan semuanya itu menurut kata hati-Nya sendiri. Dan menurut kata hati-Nya itu berarti melewati garis-garis demarkasi yang dibuat orang pada masa itu.

Frasa ”pergi ke daerah Tirus” berarti melangkahkan kaki ke tempat yang dianggap kafir oleh orang Yahudi pada masa itu. Ini bukan perkara biasa. Bagaimanapun, kebanyakan orang Yahudi menganggap diri umat pilihan. Dan sebagai umat pilihan, mereka berupaya untuk tidak tercemar. Tak heran, kalau mereka segan bergaul akrab dengan orang non-Yahudi. Sekali lagi, takut tercemar.

Dan Yesus berbeda. Guru dari Nazaret itu secara sengaja menjejakkan kaki-Nya di daerah Tirus. Dia tidak takut tercemar. Bahkan dengan sengaja Dia memasuki daerah tersebut. Dan di sanalah guru dari Nazaret ini menyembuhkan beberapa orang.

Semua Orang Sama

Di mata Yesus semua orang sama. Dia tidak membedakan antara Yahudi dan non-Yahudi. Di mata-Nya semua orang sama, sama-sama ciptaan Allah. Dan karena sama-sama ciptaan Allah, sejatinya tak seorang pun berhak membeda-bedakan orang. Membedakan orang sama halnya dengan menghina Allah, yang telah menciptakan mereka.

Dalam pandangan ini bergema kembali amsal Yahudi: ”Orang kaya dan orang miskin memiliki kesamaan: TUHANlah yang menjadikan mereka semua” (Ams. 22:2).

Memang ada beda di antara keduanya. Namun, satu hal tetap sama: mereka semua adalah ciptaan Allah. Artinya, keadaan mereka pun tak lepas dari pemeliharaan Allah. Sehingga, si kaya tak perlu menjadi tinggi hati, dan si miskin pun tak perlu rendah diri. Bagaimanapun, keberadaan mereka tak lepas dari campur tangan Allah.

Persoalannya, manusia sering membedakan orang berdasarkan apa yang dimilikinya. Dengan sangat tajam, penulis surat Yakobus berkata:

Saudara-saudaraku! Sebagai orang yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, Tuhan Yang Mahamulia, janganlah kalian membeda-bedakan orang berdasarkan hal-hal lahir. Sebab kalau ada seorang kaya yang memakai cincin emas dan pakaian bagus datang ke pertemuanmu, lalu datang pula seorang miskin yang memakai pakaian compang-camping, maka kalian lebih menghormati orang yang berpakaian bagus itu. Kalian berkata kepadanya, ”Silakan Tuan duduk di kursi yang terbaik ini.” Tetapi kepada orang yang miskin kalian berkata, ”Berdirilah di sana,”atau ”Duduklah di lantai di sini.”  Dengan berbuat demikian, kalian membuat perbedaan di antara sesamamu dan menilai orang berdasarkan pikiran yang jahat (Yak. 2:1-4, BIMK).

Yesus paham bahwa setiap orang berbeda. Namun, Guru dari Nazaret ini tidak menjadikan perbedaan sebagai alasan untuk melakukan pembedaan. Dia melangkahkan kaki-Nya ke Tirus. Artinya, Yesus menganggap bahwa orang Tirus sama berharganya dengan orang Yahudi. Mereka pun harus merasakan kasih Allah. Dan sikap Yesus kepada orang-orang Tirus yang beragam pun ternyata sama.

Perempuan Siro Fenesia

Bukanlah kebetulan jika penulis Injil Markus menempatkan kisah penyembuhan anak perempuan dari seorang ibu Siro-Fenesia dan seorang tuli dan gagap. Sepertinya penulis Injil Markus sengaja menempatkan kisah penyembuhan seorang tuli dan gagap tepat setelah kisah penyembuhan anak perempuan Siro-Fenesia.

Kisah pertama penuh dialog. Ibu itu ingin anak perempuannya sembuh. Dan ibu itu bercakap-cakap dengan Yesus. Bukan percakapan biasa. Ini percakapan iman.

Bayangkan: Ibu itu rela menyatakan dirinya sebagai anjing asal anaknya sembuh! Tentunya, ini bukan sekadar kerendahan hati. Juga bukan trik yang akan membuat Yesus iba. kita bisa melihatnya sebagai ungkapan pengakuan iman ibu tersebut. Berkaitan dengan penyelamatan Allah, sang ibu menyadari bahwa manusia secara asasi bergantung penuh kepada Allah. Allahlah yang berdaulat.

Perempuan Siro-Fenesia itu sadar pula bahwa dalam kedaulatan-Nya itu, Allah memilih Israel untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa lain. Ibu itu menerima kenyataan bahwa Israel adalah umat pilihan. Israel adalah sarana. Ini bukan masalah adil atau tidak adil, ini persoalan kedaulatan Allah. Dan ibu itu menerima kedaulatan Allah itu tanpa syarat.

Oleh karena itu, sang ibu pun yakin bahwa kasih Tuhan itu memang bukan hanya untuk Israel. Sekali lagi, Israel hanya alat. Tak heran, dia berani mendebat Sang Guru dari Nazaret yang sedang naik daun itu. Dia juga yakin, Yesus memahami hal itu.

Sehingga, sang ibu merasa tak perlu baginya mendapatkan roti utuh, dia sudah merasa cukup dengan remah-remah roti. Secara fisika, tampaknya ibu itu memahami bahwa besar kecilnya roti tak jadi persoalan. Baik remah-remah maupun roti utuh, toh namanya tetap roti. Dengan kata lain, ibu tersebut memahami bahwa yang penting bukan besar atau kecilnya anugerah, tetapi anugerah Allah itu sendiri. Dan Yesus mengabulkan permintaannya.

Seorang yang Tuli dan Gagap

Kisah kedua tak ada dialog. Tak ada permintaan dari si sakit. Wajar. Ia seorang yang tuli dan gagap. Sulit bagi dia menyatakan keinginannya. Dia pun tak datang sendiri kepada Yesus sebagaimana perempuan Siro-Fenesia itu. Orang-orang membawanya kepada Yesus. Merekalah yang meminta Guru dari Nazaret itu untuk menyembuhkannya.

Sekali lagi tak ada dialog. Hanya monolog. Yesuslah yang berbicara. Di sini kita perlu berhenti sejenak dan bertanya, ”Mengapa Yesus menyembuhkannya?”

Bisa jadi Yesus terkesan akan kegigihan orang-orang yang membawa orang yang tuli dan gagap itu kepada-Nya. Atau, saya rasa Yesus juga melihat iman dalam diri si penderita tuli dan gagap. Memang tanpa kata. Namun, bisa jadi Yesus membaca hasrat si penderita itu dari sorot matanya. Mata dapat menyiratkan keinginan terdalam manusia. Kemungkinan besar Yesus melihat mata orang itu.

Si penderita tuli dan gagap pun tampaknya ingin sembuh. Tak heran, jika dia juga menjadi pekabar berita kesembuhannya itu kepada banyak orang.

Lalu, apa yang hendak kita katakan berdasarkan kedua kisah ini? Yesus tidak memberikan perlakuan yang berbeda. Ia mengasihi orang yang berani beradu argumentasi dengan-Nya, tetapi juga mengasihi orang yang tak mampu mengucapkan keinginannya. Yesus merasa kagum dengan iman perempuan itu, tetapi juga tidak mengabaikan keberadaan si tuli dan gagap. Ia tetap menolong orang tersebut. Dia tidak pilih kasih. Semua orang berharga di mata-Nya. Kasih-Nya untuk semua.

Bagaimana dengan kita?

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa