Keluarga yang Memberi Diri

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Kamu tidak tahu apa yang kamu minta” (Mrk. 10:38). Demikianlah tanggapan Yesus terhadap permohonan Yohanes dan Yakobus. Keduanya ingin duduk dalam kemuliaan Yesus kelak: yang satu di sebelah kanan, yang lain di sebelah kiri.

Lumrah sebenarnya. Bukankah cita-cita merupakan arah dalam hidup manusia? Tak punya cita-cita berarti tak punya tujuan hidup! Namun, Yesus menegaskan bahwa latar belakang atau movitasi permintaan mereka salah.

Yesus memang sosok mulia. Perjanjian Lama (PL) berisi banyak hal positif tentang-Nya. Misalnya: Mesias akan membebaskan Israel dan mencapai kemuliaan-Nya. Namun, yang kurang dipahami para murid—juga kebanyakan orang Yahudi—Mesias tak pernah menggunakan jalan mudah.

Salah satu nas PL yang merujuk kepada Mesias ialah ”Mereka akan menatang engkau di atas tangannya, supaya kakimu jangan terantuk batu” (Mzm. 91:12).

Bukankah nas itu yang dipakai Iblis kala mencobai Yesus? Kalau bagi Mesias akan terjadi hal demikian, apa pula yang akan terjadi dengan orang yang duduk di sebelah kanan dan kiri-Nya? Tentu, sangat luar biasa bukan?

Di sinilah persoalannya: mereka tak tahu apa yang mereka minta. Mereka sesat motivasi. Ketika minta kedudukan, mereka berpandangan bahwa penguasa boleh melakukan apa saja.

Duduk dalam Kemuliaan

Perhatikanlah permintaan mereka: ”Perkenankanlah kami duduk dalam kemuliaan-Mu kelak, yang seorang di sebelah kanan-Mu dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Mu.” Mereka menggunakan frasa ”duduk dalam kemuliaan”.

Tampaknya, mereka yakin Sang Guru akan mencapai kemuliaan. Mereka sungguh mengimani itu. Dan karena itulah, mereka berharap diperkenankan menjadi orang kedua dan ketiga. Dengan kata lain: mereka ingin menjadi tangan kanan dan tangan kiri Yesus Kristus. Mereka ingin duduk dalam kemuliaan Sang Guru.

Penting disimak mengapa mereka memakai kata ”duduk” dan tidak memakai kata ”berdiri”. ”Duduk” memang lebih enak ketimbang ”berdiri”. Lagi pula, ”duduk” merupakan kata dasar yang kalau mendapatkan imbuhan ”ke-an” akan menjadi ”kedudukan”. Dan banyak orang suka kedudukan.

Bagaimanapun, kedudukan berarti memiliki status terhormat. Kedudukan mengandaikan bahwa seseorang mempunyai kekuasaan mengatur ini dan itu. Dan banyak orang lebih suka mengatur ketimbang diatur.

Sedangkan orang yang berdiri sering kali berarti orang yang selalu siap untuk diatur. Mereka harus senantiasa siap untuk disuruh-suruh. Posisi mereka harus selalu dalam keadaan siaga. Sekali lagi, siap untuk diperintah. Siapa yang memerintah? Ya, yang duduk tadi. Tak heran, baik Yohanes maupun Yakobus ingin duduk dalam kemuliaan Yesus Kristus.

Namun, pemahaman macam begini bukan monopoli Yohanes dan Yakobus. Para murid lainnya ternyata punya anggapan yang sama. Hanya mereka tidak sepercaya diri kedua bersaudara itu. Mereka hanya diam. Buktinya, mereka marah kepada kedua anak Zebedeus itu. Mereka juga sesat pikir.

Yesus menantang mereka meminum cawan yang harus diminum Yesus dan dibaptis dengan baptisan yang harus di terima Yesus. Minum cawan dan dibaptis merupakan idiom umum masa itu.

Cawan berarti penderitaan dan baptisan berarti kematian. Jadi, meminum cawan dan dibaptis berarti menderita sampai mati sebagaimana Kristus. Keduanya menyatakan kesanggupannya: menderita sampai mati. Namun, sejarah mencatat, semua murid kabur tak tentu rimbanya kala Yesus ditangkap.

Berdiri dan Melayani

Sang Guru tak ingin para murid-Nya tetap dalam ketidakmengertian. Dia berkata, ”Siapa saja yang ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Siapa saja yang ingin menjadi yang pertama di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya” (Mrk. 10:43-44).

Yesus tak hanya bicara. Dia menjadikan diri-Nya sebagai teladan hidup. Yesus datang untuk melayani, bukan dilayani. Dan pelayanan-Nya itu tuntas: menanggung penyakit dan memikul kesengsaraan manusia (lih. Yes. 53:4).

Bahkan, penulis surat Ibrani menyatakan: ”Sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar taat dari apa yang telah diderita-Nya” (Ibr. 5:8). Yesus, Sang Anak Allah itu, mengambil jalan sengsara. Dia tidak mengambil jalan kemuliaan, tetapi mengambil jalan sengsara.

Duduk itu statis, sedangkan orang yang berdiri selalu dalam keadaan siap untuk bergerak. Itulah yang dipraktikkan Yesus. Semasa hidupnya, Dia jarang duduk, namun berkeliling untuk melayani orang.

Konsep mengenai Allah yang melayani merupakan konsep baru dalam kehidupan keberagamaan manusia pada masa itu hingga masa kini. Allah sering dipahami sebagai Allah yang besar. Itu benar. Namun, Yesus menyatakan Allah juga adalah Allah yang mau menjadi kecil. Allah yang mau melayani. Yesus tidak memperkenalkan Allah sebagai Pribadi yang duduk berdiam diri di singgasana-Nya. Tidak. Yesus memperkenalkan Allah sebagai Pribadi yang turun dari singgasana, bergerak, berdiri, dan melayani manusia.

Nah, berkait dengan Bulan Keluarga yang kita rayakan, Keluarga bisa menjadi tempat di mana orang lebih suka melayani ketimbang dilayani, di mana orang lebih suka diperintah ketimbang memerintah, di mana orang lebih suka berdiri ketimbang duduk. Keluarga semestinya menjadi tempat bagi anggotanya untuk belajar memberi diri.

Keluarga bisa menjadi tempat di mana orang selalu bertanya: ”Apa yang bisa kulakukan untuk anggota keluarga lain, dan bukan sebaliknya? Keluarga bisa menjadi tempat di mana orang memohon kepada Yesus, ”Perkenankanlah kami berdiri dalam kemuliaan-Mu kelak!”

Akhirnya, selamat berdiri, menjalani perintah, dan melayani.

Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media