Lebih Berharga dari Burung Pipit

Published by Yoel M. Indrasmoro on

Habis manis sepah dibuang. Peribahasa itu agaknya bisa menggambarkan hidup Hagar dan Ismael (Kej. 21:8-21). Bagaimana tidak, Hagar adalah seorang budak perempuan Sara, istri Abraham. Sebagai budak perempuan—meski pada waktu itu bisa menjadi istri dari suami nyonyanya—pastilah tidak pernah mengajukan diri agar menjadi istri Abraham.

Kisah Hagar dan Ismael

Sebagai budak perempuan, Hagar diajukan Sara untuk menjadi istri Abraham. Pemahaman Sara sungguh masuk akal. Bagaimanapun, anak yang lahir dari Hagar itu akan memanggil Sara, sang permaisuri, Ibu dan memanggil Hagar, ibu kandungnya sendiri, Bibi. Dengan demikian, meski Ismael bukan darah dagingnya sendiri, di mata Sara Abraham telah mendapatkan keturunan. Sebagai seorang kepala suku, Abraham memang perlu keturunan.

Abraham, orang pilihan Allah itu, berpikir selogis istrinya. Bukankah yang penting dia punya anak, entah dari Sara maupun Hagar. Lagipula, cara semacam itu lumrah pada waktu itu. Dengan pikiran jernih dan logis, Abraham pun menerima Hagar menjadi istri. Dan benar, dia mendapatkan Ismael.

Menarik untuk dicermati bahwa Ismael berarti Allah mendengar. Agaknya, ketika Abraham mendapatkan Ismael, dia sangat yakin bahwa Ismael adalah jawaban Allah akan doa-doanya selama ini. Abraham meyakini bahwa Allah memedulikannya. Sekali lagi, Abraham sangat membutuhkan anak. Nama Ismael, semakin membuat Abraham yakin bahwa Ismael merupakan anugerah Allah.

Mulanya, Abraham sangat menyayangi Ismael. Ketiadaan teguran Allah terhadap tindakannya, membuat Abraham yakin bahwa perbuatan mengambil Hagar sebagai istri merupakan kehendak Allah. Di sini, kita perlu berhenti sejenak dan merenungkan sebuah kenyataan sejarah: Kalau Allah tidak melarang, belum tentu Allah menyetujui apa yang kita lakukan! Di sini dituntut sebuah kearifan.

Kita semua tahu tindakan Abraham selanjutnya. Kelahiran Ishak dan kecemburuan Sara memaksa Abraham harus memilih. Dan Abraham, bapa orang percaya itu, lebih memilih Ishak. Bahkan, atas perintah Sara, Abraham pun mengusir Ismael dan ibunya. Dan semakin jelaslah kenyataan hidup Hagar dan Ismael: habis manis, sepah dibuang.  

Meski kasih sayang Abraham berubah, Allah tetap mengasihi Hagar dan Ismael. Jika manusia berpola habis manis sepah dibuang, Allah tetap setia. Allah tetap peduli. Ia tahu, Hagar dan Ismael adalah korban tindakan tuan dan nyonya mereka. Dan Allah senantiasa berdiri di pihak para korban.

Jangan pula kita lupa, nama Ismael berarti Allah mendengar. Dan Allah memang mendengar penderitaan Ismael. Bahkan, Allah menjadikan Ismael bangsa yang besar pula. Jika Allah begitu mengasihi Ismael, masakan Dia tidak mengasihi umat pilihan-Nya?

Umat Allah

Itu jugalah yang dinyatakan Yesus kepada para murid-Nya: ”Bukankah dua ekor burung pipit dijual seharga satu keping uang terkecil? Namun, seekor pun tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu …. Karena itu, janganlah takut! Kamu lebih berharga daripada banyak burung pipit” (Mat. 10:29-31).

Konteks nasihat ini ialah perutusan para murid. Mereka diutus seperti domba ke tengah-tengah serigala. Pengutusan ini bukanlah suatu upaya bunuh diri. Bukan. Bukan itu. Tujuan pengutusan ini ialah karena dunia memang membutuhkan para murid. Dunia butuh Injil. Dan para murid memilikinya. Oleh karena itu, Allah mengutus mereka.

Dan bekal penting bagi mereka ialah nasihat agar cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Cerdik berkait dengan strategi, kiat, cara berkomunikasi. Namun, tak sekadar itu, mereka juga harus tulus seperti merpati.

Para murid harus menggunakan strategi, tetapi strategi itu bukanlah untuk mengalahkan orang lain, tetapi untuk memenangkan orang lain. Memenangkan orang lain berarti membuat orang lain itu memang. Strategi itu bukanlah untuk mempermalukan orang lain, tetapi menyadarkan mereka akan kebutuhan mereka sendiri.

Namun, di atas semua itu adalah kenyataan bahwa Allah memedulikan para murid, sebagaimana Allah peduli terhadap hidup burung pipit. Umat Allah tak perlu khawatir karena Allah akan setia memelihara. Itulah modal terbesar umat Allah di dunia ini.

Persoalan besarnya: Bersediakah kita terus dipelihara oleh-Nya?

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa