Lisa White Pink

Untuk liburan lebaran kali ini saya dan ibu pergi berdua dengan sebuah paket tur. Setelah mempertimbangkan jadwal program liburan dan biayanya, saya sepakat untuk pergi ke salah satu pulau di luar negeri yang sekarang sedang dipromosikan untuk pariwisata. Saat menunggu di bandara Soekarno Hatta, saya mengobrol dengan seseorang di sebelah saya yang mau pulang kampung ke Padang. ”Tapi transit dulu di Kuala Lumpur,” katanya, ”Lebih murah.” Saya pun mengangguk-angguk, ”Ternyata pergi ke luar negeri, memang lebih murah daripada di dalam negeri,” kata saya dalam hati, karena saya pun mengalami hal yang sama.
Dan setelah menanti pesawat yang delay selama empat jam, kami pun berangkat dari Soekarno Hatta menggunakan pesawat yang di-charter gabungan grup tur di Indonesia, semua dengan destinasi yang sama, berlibur ke tempat yang sama, dengan program yang tidak berbeda jauh. ”My name is Lisa, you can remember me as Lisa white pink,” kata tour leader lokal yang menyambut kami. Terus terang saya tertarik dengan dirinya, bukan hanya karena dia begitu detail memperhatikan kami, dia pun tanggap pada setiap keadaan dengan langkahnya yang cepat sambil memegang bendera tur. Ketika satu hari kami terlambat 20 menit, dia dengan sigap mengubah susunan jadwal grup yang sudah direncanakan.
Antusiasmenya menceritakan objek wisata dan kehidupan sosial yang ada di sana, mencerminkan kebanggaannya akan tanah airnya. Dia juga menjelaskan bagaimana mereka terbiasa bekerja enam hari seminggu, dengan jam kerja dari jam 9 pagi – 9 malam.
Saat terakhir menjelang kepulangan kami dengan pesawat jam dua dini hari, Lisa berkaca-kaca mengucapkan perpisahan di bus, sambil tetap mengawal grup kami di bandara yang sesak. Dia pun akan kembali menyambut grup tur berikutnya dari pesawat yang datang menjemput kami pagi itu. Kehidupan dengan jam kerja yang padat, apakah dia tidak lelah? pikir saya dalam hati.
Dari liburan dan perjumpaan dengan dirinya selama beberapa hari, saya pun berkaca pada diri sendiri, apakah saya sudah seserius dan secinta itu dalam melakukan pekerjaan saya? Apakah saya sebangga dia saat menceritakan kehidupan di tanah air saya?
Kepercayaan, kecintaan, dan kebanggaan akan tanah air adalah modal utama pembangunan. Ketiga hal itu adalah api yang membakar semangat juang dan kerja para masyarakat. Jadi, janganlah membuat masyarakat Indonesia tidak bangga dengan tanah airnya.
Tjhia Yen Nie | Sobat Media
Foto: Unsplash/Xiao jinshi