Manusia Merdeka

Published by Admin on

Sabda-Mu Abadi | 23 Mei 2024 | Kej. 45:4

”Aku ini Yusuf, saudaramu, yang kamu jual ke Mesir” (Kej. 45:4). Demikianlah pengakuan Yusuf di hadapan saudara-saudaranya. Bukan pengakuan biasa. Pengakuan itu bisa berlanjut dengan pembalasan dendam.

Tindakan saudara-saudara Yusuf di masa lam­pau memang keji. Karena rasa iri akan perlakuan Yakub terhadap anak-anaknya, mereka menjual Yusuf, saudara seayah, sebagai budak belian.

Menjadi budak belian berarti tak punya hak, bahkan atas diri sendiri. Yang ada hanyalah ke­wajiban. Hidup bergantung penuh pada majikan. Sang majikan tidak akan dituntut atas apa yang dilakukannya terhadap para budaknya. Dia boleh memperlakukan budak sekehendak hatinya.

Itu jugalah yang dialami Yusuf. Potifar gam­pang saja menjebloskannya ke dalam penjara. Tak perlu proses hukum karena majikan selalu benar dan budak selalu salah.

Namun, kenyataan pahit di masa lampau itu tak menjadikan Yusuf merasa perlu membalas dendam. Dia telah mampu melihat peristiwa masa lampau dari kacamata masa kini. Anak kesayangan Yakub itu tak lagi dibelenggu masa lampau. Dia percaya apa yang terjadi pada dirinya merupakan cara Tuhan untuk menjadikan dirinya berkat bagi orang lain.

Yusuf tidak merasa perlu memberi pelajaran kepada saudara-saudaranya karena dia sadar bah­wa Allah mengizinkan semua itu terjadi untuk ke­baikan dirinya. Tak saja dirinya, tetapi negara di mana dia tinggal, dalam hal ini Mesir, juga nega­ra-negara tetangga. Bahkan keluarga Yakub pun bisa membeli gandum di Mesir.

Dengan jelas Yusuf berkata: ”Sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini. Justru un­tuk menyelamatkan hiduplah Allah mengutus aku mendahului kamu” (Kej. 45:5).

Yusuf merupakan sosok manusia merdeka. Dia telah merdeka dari beban masa lampaunya. Bahkan dia mengatakan kepada saudara-saudara­nya untuk tidak bersusah hati dan menyesali diri.

Yusuf adalah sosok manusia merdeka. Dia juga mengajak saudara-saudaranya untuk melihat masa lampau dari perspektif masa kini. Yusuf telah merdeka dari beban masa lampaunya. Karena itu, dia mampu membebaskan saudara-saudaranya pula. Hanya orang merdekalah yang mampu mem­bebaskan orang lain.

Seandainya Yusuf belum merdeka, balas dendam akan menjadi agenda utama. Apa yang dilakukannya pasti akan didukung, atau setidaknya orang lain bisa memahami apa yang dilaku­kannya. Namun, itu tidak dilakukannya. Yusuf memilih untuk mengampuni saudara-saudaranya!

Yusuf belajar dari masa lampau. Waktulah yang mendewasakan dirinya. Dia merasa merde­ka. Dia ingin saudara-saudaranya merasakan ke­merdekaan yang sama dari beban masa lampau.

Kemerdekaan sejati bukanlah kemerdekaan dari kebutuhan fisik saja, tetapi juga kemerdekaan dari kesalahan yang pernah diperbuat. Sauda­ra-saudara Yusuf agaknya masih membawa beban kesalahan masa lampau. Ada sesuatu yang mereka sembunyikan selama 13 tahun terakhir. Tak heran, mereka menjadi begitu ketakutan setelah mendengar pengakuan Yusuf. Sekali lagi, sebagai manusia merdeka, Yusuf ingin memerdekakan saudara-saudaranya. Sejatinya: hanya orang merdeka yang sanggup me­merdekakan orang lain. Dan itulah yang perlu kita tanamkan dalam diri anak-anak kita.

Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media

Foto: Unsplash/Rowan H.