Mari Berbusana Pesta

Published by Yoel M. Indrasmoro on

Lupa diri. Inilah inti ”Perumpamaan tentang Perjamuan Kawin” (Mat. 22:1-14). Ada dua episode. Keduanya berkisah tentang orang-orang yang tidak tahu diri. Mereka agaknya lupa diri atau melupakan status mereka.

Episode pertama berkisah tentang seorang raja yang mengundang orang-orang untuk hadir dalam resepsi perkawinan anaknya, tetapi yang diundang menolak hadir. Sang Raja yang kecewa berusaha membujuk para undangan itu melalui hamba-hambanya. Mereka tetap tidak mengindahkan undangan itu, malah membunuh hamba-hambanya. Sang Raja murka dan memerintahkan para hambanya untuk membinasakan para pembunuh itu dan membakar kota mereka.

Lupa Status

Kelihatannya para undangan itu lupa akan status mereka. Mereka lupa bahwa mereka adalah hamba raja itu. Dan memang aneh, ada hamba yang menolak undangan raja.

Apa pun alasannya, menolak undangan berarti meremehkan sang pengundang. Itu berarti mereka menolak raja itu sebagai raja mereka. Dengan kata lain, mereka telah lupa atau melupakan status kehambaan mereka. Ini namanya pemberontakan.

Agaknya mereka lupa, mereka orang pilihan. Tentunya, tidak semua orang diundang. Dan mereka termasuk dalam daftar undangan. Artinya, mereka orang pilihan.

Diundang raja berarti mereka dianggap penting untuk diundang. Pada titik ini raja menganggap mereka penting. Jika tidak, tentulah raja tak akan mengundang mereka. Sepertinya, mereka tidak merasa dianggap penting. Mereka tidak merasa dihargai. Dan mereka menganggap sepi undangan itu.

Kesempatan Kedua

Murkakah raja? Tidak. Anehnya lagi, Sang Raja memberi kesempatan kedua. Raja sepertinya merasa bahwa mereka kurang memahami maksudnya. Mereka merasa bahwa undangan itu untuk keuntungan dan kepentingan Sang Raja. Oleh karena itu, raja merasa perlu mengundang mereka sekali lagi, bahkan seperti membujuk: ”Katakanlah kepada orang-orang yang diundang itu: Sesungguhnya hidangan telah kusediakan, lembu-lembu jantan dan ternak piaraanku telah disembelih; semuanya telah tersedia, datanglah ke perjamuan kawin ini.” (Mat. 22:4).

Dalam kalimat ini, jelas terlihat bahwa Sang Raja ingin mereka datang. Namun, Sang Raja hendak mengatakan bahwa kehadiran mereka bukan untuk kepentingan atau keuntungan raja saja. Lebih dari itu, kehadiran para undangan itu adalah untuk kepentingan dan keuntungan para undangan itu sendiri. Mereka tinggal datang. Semuanya telah tersedia. Dan semua hidangan itu memang bukan untuk raja, tetapi untuk mereka. Bagaimanapun, raja sudah sering makan enak.

Menilik kesempatan kedua ini, sesungguhnya raja telah bertindak merendahkan dirinya. Mana ada raja kayak begini? Raja yang masih sabar terhadap orang-orang yang tinggal di kerajaannya. Maksud raja ialah agar para undangan tersebut sadar bahwa apa yang dilakukan raja memang bukan untuk memuaskan ego raja. Sekali lagi untuk kepentingan para undangan itu.

Meski demikian, mereka kembali menganggap sepi undangan itu. Mereka tidak menghargai kesempatan kedua itu. Mereka agaknya nggak ngeh ’tidak sadar’ bahwa raja telah merendahkan dirinya. Mereka sekali lagi lupa bahwa mereka telah dihargai raja begitu tinggi. Tak ada yang hadir memenuhi undangan itu, ada yang pergi ke ladang, ada yang mengurus usahanya, dan yang lebih ekstrem lagi ada yang membunuh kurir raja!

Raja murka. Para undangan itu telah melupakan status mereka sebagai hamba. Melupakan status sebagai hamba berarti juga menganggap remeh Sang Raja sebagai tuan mereka. Bahkan, mereka pun tak mengindahkan undangan kedua. Mereka tak layak lagi hidup di kerajaan itu karena mereka tidak menghargai kelayakan yang dikaruniakan atas mereka. Dan raja menghukum mati mereka.

Tak Berbusana Pesta

Dalam episode kedua, raja membuka pintunya untuk semua orang tanpa kecuali. Dan penuhlah orang yang hadir dalam pesta itu. Namun, raja murka tatkala ada orang yang tak mengenakan baju pesta.

Mungkin ada nada protes dalam benak: mengapa raja marah? Bukankah undangan itu terbuka untuk semua orang? Jadi, kenapa pula raja harus marah?

Memang undangan itu untuk semua orang, tetapi setiap orang yang hadir seharusnya menghargai undangan tersebut. Menghargai undangan tersebut berarti pula menghargai Sang Raja yang telah melayakkan mereka hadir dalam undangan tersebut. 

Di mata raja, orang-orang yang tak mengenakan baju pesta memang tidak menghargai diri mereka sendiri. Sesungguhnya, raja telah mengangkat derajat mereka begitu tinggi, dari orang yang tak diundang menjadi orang undangan, tetapi tingkah laku mereka tak sesuai dengan derajat mereka. Tak menghargai diri sama halnya dengan tak menghargai raja. Mereka lupa akan status mereka yang baru. Mereka tetap berkutet pada status lama mereka. Artinya, tak beda dengan kelompok manusia pertama, mereka tidak menghargai kelayakan yang telah mereka terima.

Kisah perjamuan kawin, yang diceritakan Yesus ini, menyatakan bahwa Allah akan mengundang semua orang, tidak hanya Israel, ikut menikmati persekutuan dengan Allah. Setiap orang diundang untuk bersekutu dengan Allah. Pertanyaannya: apakah ada orang yang menyambut undangan tersebut? Lalu, yang juga penting, apakah orang-orang yang menyambut persekutuan itu memang memperbarui diri mereka agar layak dalam persekutuan itu?

Pada titik ini, ungkapan Yesus ”banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih” menjadi kenyataan. Persoalannya bukan pada yang memanggil, tetapi pada yang dipanggil. Yang dipanggil tidak mampu mempertahankan status diri sebagai orang-orang undangan.

Siapakah Kita?

Kedua kelompok manusia dalam perumpamaan Yesus itu memang tak layak hidup di kerajaan itu. Sekali lagi, karena lupa. Lupa diri. Lupa diri berarti pula melupakan Pribadi yang telah memberikan status diri tersebut.

Lalu, siapakah diri kita? Jika Saudara adalah orang-orang yang masih di luar persekutuan dengan Tuhan, usul saya terimalah undangan-Nya. Menarik disimak, undangan dalam episode kedua memang diperuntukkan oleh semua orang. Perhatikan, perintah Sang Raja kepada para hamba-Nya: ”Karena itu pergilah ke persimpangan-persimpangan jalan dan undanglah setiap orang yang kamu jumpai ke perjamuan kawin itu.”

Perhatikan bahwa undangan itu terbuka untuk semua orang! Setiap orang diundang. Inilah keselamatan yang dari Allah itu. Semua serbagratis. Namun, itu bukan murahan. Tetapi, diberikan gratis karena Saudara dan saya tidak mungkin sanggup membayarnya. Ya, siapakah di antara kita yang sanggup membayar biaya untuk pengorbanan Kristus di atas kayu salib.

Jika Saudara sudah berada dalam persekutuan, usul saya marilah kita memperbarui diri. Marilah kita menghargai kelayakan yang telah Tuhan karuniakan kepada kita itu dengan melayakkan diri sendiri agar kita tidak diusir dari perjamuan itu.

Bagaimana caranya? Jangan lupa, apa lagi melupakan, status Saudara! Kita adalah hamba Allah. Ingatlah terus status ini! Dan hiduplah dalam status ini! Marilah berbusana pesta! Perbaruilah diri Saudara agar Saudara sungguh-sungguh layak sebagai hamba Allah.

Dan Paulus mempunyai kiat konkret, ”Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang” (Flp. 4:5). Perhatikan, panggilan kita adalah menjadi berkat bagi orang lain. Dan menarik disimak, Paulus mengajak umat di Filipi, juga kita sekarang ini, untuk menyatakan kebaikan itu dengan tidak pilih-pilih. Perhatikan frasa ”semua orang”!  Ya, marilah kita terus berbusana pesta!

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa