Mei
Mei
Jakarta, 1998
Tubuhmu yang cantik, Mei
telah kau persembahkan kepada api.
Kau pamit mandi sore itu.
Kau mandi api.
Api sangat mencintaimu, Mei.
Api mengucup tubuhmu
sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi.
Api sangat mencintai tubuhmu
sampai dilumatnya yang cuma warna
yang cuma kulit, yang cuma ilusi.
Tubuh yang meronta dan meleleh dalam api, Mei
tubuh adalah juga tubuh kami.
Api ingin membersihkan tubuh maya
dan dusta kami dengan membakar habis
tubuhmu yang cantik, Mei.
Kau sudah selesai mandi, Mei.
Kau sudah mandi api.
Api telah mengungkapkan rahasia cintanya
ketika tubuhmu hancur dan lebur
dengan tubuh bumi;
ketika tak ada lagi yang mempertanyakan
nama dan warna kulitmu, Mei. Joko Pinurbo (2000)
Hari itu adalah hari dalam Bulan Mei yang tak akan terlupakan. Saat itu saya adalah mahasiswa tingkat akhir yang sedang melakukan praktik magang di salah satu perusahaan riset di Jakarta Pusat. Saya meminta izin kepada atasan untuk membeli material penelitian. Dengan menggunakan bus, saya mencari perusahaan yang dituju, berkenalan dengan orang-orang di kantor tersebut, dan pulang dengan hati gembira karena mendapatkan material yang sulit didapat, serta berkenalan dengan teman-teman baru.
Namun satu jam berlalu, dua jam berlalu, saya tidak mendapatkan kendaraan untuk kembali ke kantor. Sampai seorang kenalan baru dari kantor tersebut melihat saya masih berdiri di halte dekat kantor, dia mengantarkan saya ke mal terdekat, supaya saya mendapatkan pilihan kendaraan lain. Saat di mobil itulah saya mendengar radio mengatakan suasana menegangkan di ibu kota. Kenalan baru saya pun memberi pesan pada saya untuk hati-hati. Akhirnya saya mendapatkan bus untuk kembali ke kantor, dan memang di sepanjang jalan, begitu banyak petugas polisi anti huru-hara yang berjaga dengan membawa perlengkapannya. Suasana mencekam, membuat hening bus yang biasanya ramai.
Menjelang sore saya baru kembali ke kantor, teman-teman di kantor begitu lega melihat saya. Mereka sudah membereskan barang untuk pulang. ”Ada kerusuhan!” katanya. Dan ternyata, tempat yang saya lewati tadi adalah tempat terjadinya penembakan mahasiswa Trisakti yang memicu kerusuhan.
Keesokan harinya saya masih kembali ke kantor untuk melanjutkan riset saya. Lokasi kantor yang dekat tempat kos, membuat saya merasa bersalah jika tidak melanjutkan riset. Namun, saya disuruh kembali pulang. Suasana sangat menegangkan, saya pun disuruh melaporkan keadaan saya kepada keluarga dengan menggunakan telepon kantor. ”Beli makanan instan, dan diam di tempat kos untuk beberapa hari.” Demikian pesan tante ketika saya melaporkan situasi yang saya hadapi.
Kami menutup kantor pagi itu dengan berkumpul dan berdoa bersama. Seorang teman mengatakan bahwa atasan saya, rumahnya telah dijarah, orang-orang masuk mengambil apa saja yang ada di dalam rumah, katanya. Kami pun berpisah, dengan harap-harap cemas apakah bisa berkumpul kembali.
Saya diantar pulang oleh seorang petugas kebersihan kantor. ”Saya ke Indomaret dulu, Pak!” kata saya kepadanya, karena teringat pesan tante. Namun, dia bilang lebih baik ke warung terdekat untuk mencari makanan instan.
Dan ternyata memang, setelah pulang saya mendapatkan kabar Indomaret yang saya tuju sudah hancur berantakan. Setelah sampai di tempat kos, bapak itu menyelipkan kertas yang berisi nomor telepon. ”Ini nomor telepon Bapak, kalau sampai ada apa-apa, telepon Bapak, Bapak orang Betawi asli, rumah Bapak luas, kamu akan aman di rumah Bapak.” Mata saya pun berkaca-kaca melihat Bapak yang sehari-hari membersihkan kantor ini mengkhawatirkan saya.
Ketika saya menelepon kerabat di Tangerang untuk menjemput saya, teman kos saya mengatakan, ”Kamu di sini saja, jalanan terputus. Kamu lebih aman di sini, karena hanya kamu yang Tionghoa di tempat ini.” Dan mereka menjelaskan bagaimana kerusuhan sudah terjadi di mana-mana dengan target orang Tionghoa.
Beberapa hari itu adalah hari terpanjang pada bulan Mei yang saya rasakan. Kami hanya dapat mendengarkan berita, panik dengan keadaan yang terjadi. Terkadang kami naik ke lantai atas, melihat kepulan asap di mana-mana. Terkadang suara riuh terdengar di jalanan, dan kami pun tegang diam di dalam rumah.
Sampai ketika suasana mereda, seorang teman kuliah menjemput saya dari Bogor. ”Kamu aman!” katanya. Bekas-bekas kerusuhan masih tampak di sepanjang jalan. Gerimis pagi itu, tidak dapat menghapuskan kenangan betapa koyakan luka itu ada. Namun, beberapa hari pada bulan Mei itu juga, begitu banyak perhatian dan ketulusan yang saya rasakan dari orang-orang sekitar saya. ”Kamu aman.” Kata-kata itu membuat saya berani melangkah melewati gerimis hari itu.
Itulah mengapa saya tidak perlu mengganti nama saya untuk tinggal di bumi tempat Tuhan menempatkan saya. Perubahan nama tidak mengubah apa-apa karena kejahatan tidak mengenal nama. Demikian pun dengan kasih dan ketulusan.
Tjhia Yen Nie
Foto: Istimewa