Melakukan Segala Perintah Allah
”Sejak waktu itu Yesus mulai menyatakan kepada murid-murid-Nya bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga” (Mat. 16:21).
Demikianlah catatan penulis Injil Matius. Ada keterangan waktu yang tampaknya sengaja ditempatkan: ”Sejak waktu itu.” Mudah diduga ”sejak waktu itu” merujuk pada kisah pengakuan para murid yang diwakili Petrus. Di daerah Kaisarea Filipi, Simon Petrus lantang berkata, ”Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” (Mat. 16:15).
Pengakuan Iman
Pengakuan ini bukan sembarang pengakuan. Di tengah anggapan orang banyak yang menyatakan bahwa Yesus Orang Nazaret tak beda dengan manusia lain—Yohanes Pembaptis, Elia, Yeremia, salah seorang dari para nabi—Petrus menegaskan bahwa Yesus Orang Nazaret adalah Allah sendiri! Pengakuan ini begitu radikal sifatnya! Yesus bukan manusia biasa. Ia adalah Allah yang menjadi manusia.
Dan Yesus pun menanggapinya dengan antuasias: ”Berbahagialah engkau Simon anak Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di surga” (Mat. 16:17).
Jelaslah, pengakuan iman bukanlah upaya manusia belaka. Pengakuan iman adalah anugerah Allah! Kenyataan bahwa ada orang yang masih tak percaya meski telah begitu banyak mendapatkan pengetahuan iman Kristen memperlihatkan bahwa pengakuan iman memang anugerah semata. Dan karena pengakuan iman pada dasarnya bukanlah hasil olah pikir manusia semata, manusia perlu menghidupi pengakuan iman itu.
Jalan Kemesiasan Yesus
Berpijak dari pengakuan iman Petrus itu, Yesus mulai menceritakan dengan jelas bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan mengalami banyak penderitaan dari pemimpin-pemimpin, imam-imam kepala dan guru-guru agama. Ia akan dibunuh, tetapi pada hari ketiga Ia akan bangkit.
Di sini persoalan muncul. Petrus tak rela Sang Guru mengalami derita. Mungkin bagi Petrus aneh rasanya kalau Sang Pembuat Kebahagiaan—melalui mukjizat-mukjizat-Nya—mengalami sengsara. Ini sungguh mustahil. Dan Yesus marah. Sang Guru menyebut murid-Nya sebagai Iblis karena dia telah menghalang-halangi jalan Yesus untuk menyelamatkan manusia.
Sejatinya, Allah adalah sangkan ’asal” dan paran ’tujuan’ manusia. Manusia berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Menjalani kehendak Allah merupakan tindakan logis agar manusia bisa kembali kepada Allah. Dan Petrus menghalang-halangi kehendak Allah itu.
Dan Petrus agaknya lupa bahwa Sang Guru adalah Anak Allah yang Hidup. Mungkin Petrus tak terlalu suka dengan jalan derita yang akan ditempuh. Akan tetapi, itulah jalan yang dikehendaki Sang Guru. Dan menghalang-halangi jalan Sang Guru merupakan kebodohan semata!
Tentu Petrus punya pendapat. Jika ditelusuri pendapatnya ada benarnya. Bagaimana mungkin Yesus—yang biasa melepaskan manusia dari sengsara—menderita sengsara? Pendapat Petrus cukup masuk akal dan ada benarnya. Bisa jadi Petrus memang memahami bahwa kemesiasan Yesus adalah jalan kemuliaan dan bukan jalan derita.
Namun demikian, inilah jalan yang dipilih Yesus sendiri. Logika yang dikedepankan Yesus adalah bahwa Anak Manusia harus menanggung penderitaan. Itu memang bukan penderitaan-Nya, namun Yesus berinisiatif menanggung penderitaan itu, demi keselamatan manusia. Karena tak seorang pun yang mempunyai kapasitas menanggung penderitaan itu seluruh umat manusia kecuali Allah yang menjadi manusia. Inilah jalan Ilahi yang memang tak mudah dipahami oleh Petrus.
Mengapa Petrus tidak sependapat? Kemungkinan besar karena Petrus tidak cermat mendengarkan perkataan Yesus sendiri: menanggung penderitaan, dibunuh, dan dibangkitkan. Petrus kemungkinan besar tidak terlalu menyimak kata kerja ketiga—bangkit! Yang dipikirkannya hanyalah sengsara dan kematian-Nya.
Apa artinya semuanya itu? Tampaknya, sebagai murid kita perlu belajar mendengarkan hingga tuntas. Bahkan, ketika logika kita tak mampu memahami, baik jika kita tetap percaya karena Dia adalah Allah. Dan kebenaran Allah jauh lebih tinggi dari kebenaran manusia.
Belajar dari Musa
Pada titik ini, kita perlu belajar dari kisah pengutusan Musa. Yang menarik, ketika Musa diminta untuk menanggalkan kasut, dia melakukannya. Ia menaati perintah itu. Ia tidak mengatakan sudah telanjur melangkah. Atau, Allah pasti maklum. Tidak. Musa melakukannya. Musa melakoni aturan ilahi.
Ketika Musa keluar mindernya—bagaimanapun dia seorang buronan—Allah dengan tegas berkata, ”Aku akan menyertai engkau! Inilah tanda bagimu, bahwa Aku yang mengutus engkau: Apabila engkau telah membawa bangsa itu keluar dari Mesir, kamu akan beribadah kepada Allah di gunung ini” (Kel. 3:12). Perhatikan bahwa tanda yang diberikan bukanlah tanda yang sudah ada, tetapi tanda yang masih akan terjadi. Dan persoalan besarnya adalah apakah Musa percaya?
Dan ketika Musa bertanya mengenai nama, Allah pun berkata, ”AKU ADALAH AKU.” Nama Allah sendiri memperlihatkan bahwa Allah berdaulat. Nama ”AKU ADALAH AKU”, yang kemudian karena kesamaan bunyi dikenal dengan tetragram YHWH, memperlihatkan bahwa Allah itu Allah.
Nama ”AKU ADALAH AKU” bisa diterjemahkan dengan ”Aku akan ada yang Aku akan ada”, yang artinya: ”Kamu akan mengenal Aku dalam tindakan-tindakan yang akan Kuambil demi kamu”. Dengan demikian Allah mempertahankan rahasia-Nya dan sekaligus menyatakan keterlibatan-Nya dalam sejarah bangsa Israel. Allah dikenal dari tindakan-Nya. Allah yang bertindak. Allah yang Ada. Allah yang hadir! Sejatinya konsep ini sama dengan konsep sengsara dan kematian Kristus. Itu hanya mungkin karena Allah yang bertindak!
Sehingga jalan terlogis bagi Musa adalah terus mengandalkan Allah. Itulah yang ditekankan pemazmur untuk kita semua orang percaya abad XXI agar terus mencari TUHAN dan kekuatannya (Mzm. 105:4).
Semua nasihat praktis Paulus (Rm. 12:9-21) merupakan wujud hidup dalam kebenaran Allah, dan bukan kebenaran diri sendiri. Hidup dalam kebenaran Allah berarti memikirkan apa yang dipikirkan Allah, dan bukan apa yang dipikirkan manusia. Dan itu berarti melakukans segala perintah-Nya.
Mari kita ambil satu tindakan sebagai contoh: ”Hendaklah kasih itu tulus ikhlas!” (Rm. 12:9). Tindakan mengasihi bisa berbahaya ketika tindakan itu tak lagi sepi pamrih. Bahkan itu menjadi kejahatan ketika dilakukan tanpa ketulusan. Ketika kita melakukan hal yang baik, mari kita bertanya dalam hati mengapa kita melakukannya. Apakah karena kita ingin dianggap baik? Itu artinya kita telah mencoba menjadi tenar. Ya, mengapa kita melakukannya?
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa