Melihat Dengan Cara Allah

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Sungguh, di hadapan TUHAN berdiri yang diurapi-Nya” (1 Sam. 16:6). Demikianlah komentar Samuel ketika pertama kali melihat Eliab.

Komentar itu bukan tanpa sebab. Tujuan kedatangan Samuel ke Betlehem adalah mengurapi salah seorang anak Isai untuk menjadi pengganti raja Saul. Dan tentunya raja baru itu akan berhadapan dengan Saul, raja yang masih berkuasa—yang elok rupanya dan dari bahu ke atas ia lebih tinggi dari orang sebangsanya (bdk. 1Sam. 9:2).

Sekali lagi, Samuel akan mengurapi seorang raja baru—raja yang akan berhadapan langsung dengan Saul. Dalam benak Samuel telah tercetak sebuah cara pandang bahwa orang yang akan diurapinya setidaknya setampan dan segagah Saul. Dan semuanya itu ada dalam diri Eliab, anak sulung Isai. Cara pandang itulah yang membuat Samuel yakin bahwa Eliab adalah orang yang harus diurapinya sebagai raja.

Allah Melihat Hati

Namun demikian, Allah langsung mengoreksi cara pandang sekaligus komentar Samuel. Dengan tegas Allah menegur, tentunya dalam hati, Samuel, ”Jangan pandang rupanya atau perawakannya yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan seperti yang dilihat manusia, sebab manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” (1Sam. 16:7).

Kisah pengurapan Daud mengingatkan kita untuk tidak buru-buru menilai orang hanya dari penampilannya. Samuel sempat salah dalam menilai Eliab. Ia hanya memperhatikan penampilan luar Eliab. Di mata Samuel seorang raja haruslah seelok dan setegap Saul karena seorang raja sekaligus adalah panglima perang kerajaan. Apa jadinya jika panglima perang tampak loyo di hadapan para prajuritnya? Di mata Samuel Eliab cocok menjadi raja.

Lagi pula, Eliab adalah anak sulung. Artinya: ia akan mengganti ayahnya sebagai kepala keluarga kelak. Ia juga telah terbiasa memimpin adik-adiknya. Dalam pandangan Samuel, Eliab merupakan orang yang tepat untuk mengisi posisi kepemimpinan tertinggi Israel.

Namun, Allah berpendapat lain. Dalam hal kepemimpinan, Allah memakai cara pandang lain. Allah melihat hati. Dalam cara pandang Allah, hati seorang pemimpin lebih penting ketimbang fisiknya. Apa artinya fisik yang sempurna, tetapi bermental pengecut. Dalam perang pun, sifat berani lebih penting ketimbang fisik sempurna. Dan keberanian semacam itu ada dalam diri Daud (bdk. 1Sam. 17:34-36). Yang lebih penting dari semuanya itu, Daud percaya kepada Tuhan (bdk. 1 Sam. 17:37). 

Daud memang tidak segagah Eliab, tetapi dia punya kelebihan dalam bidang musik. Ia seorang pemain kecapi. Bahkan, dengan kemahirannya itu Daud berhasil masuk ke dalam lingkungan istana Saul. Belum lagi dengan keberaniannya dalam mengalahkan singa dan beruang yang hendak memangsa domba-dombanya. Perawakan Daud memang tidak setegap Eliab, namun dia punya kelebihan lain. Dan itu tidak mungkin terlihat dalam kesan pertama! Sekali lagi, janganlah menilai orang hanya dari penampilan luarnya.

Ukuran Allah

Kepada warga jemaat di Korintus, Paulus menegaskan untuk tidak lagi menilai seorang pun menurut ukuran manusia (2Kor. 5:16). Kalau kita merasa perlu menilai seseorang baiklah kita menilainya menurut ukuran Allah. Dalam hal ini, yang menjadi standar adalah Allah dan bukan manusia.

Kita perlu memandang orang lain sebagaimana Allah memandang orang tersebut. Jangan pandang orang menurut ukuran kita sendiri, tetapi pandanglah dia sebagaimana Allah memandangnya. Dan itu hanya dapat kita lakukan jika kita membiarkan diri dikuasai Allah.

Itu berarti kita bisa belajar dari Samuel. Ketika Allah menegur pendapatnya, Samuel tidak tetap pada pendiriannya. Samuel tidak ngeyel. Ia sadar bahwa dia telah menilai seseorang menurut cara pandang manusia. Ia tahu bahwa itu salah. Dan karena tahu bahwa itu tidak sesuai dengan kehendak Allah, Samuel mengubah pendapatnya. Samuel menunggu Daud yang masih berada di padang gembalaan.  Samuel telah bertindak sebagai hamba Allah. Artinya: Samuel membiarkan Allah menguasainya dan bukan sebaliknya.

Itulah sikap orang-orang yang berada dalam Kerajaan Allah. Jangan lupa, Kerajaan Allah berarti Allahlah yang menjadi raja. Kalau kita masih keukeuh pada pendapat kita sendiri, tidak mau mengindahkan pendapat Allah, pada titik itu kita sedang mengembangkan kerajaan kita sendiri.

Tak heran, jika Paulus berkata, ”Jadi, siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: Yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2Kor. 5:17). Ciptaan baru berarti berpikir dan bertindak sebagaimana Kristus.

Belajar dari Hal Kecil

Itu juga berarti kita perlu belajar dari hal-hal kecil. Ketika berbicara soal Kerajaan Allah Yesus menggambarkannya seperti seseorang yang menabur benih. Sejatinya seorang penabur memiliki pengharapan. Jika tidak pastilah dia tidak akan menaburkan benih. Dia sungguh berharap bahwa dari benih yang ditaburkannya itu akan tumbuh dan berkembang.

Dan itu hanya mungkin terjadi ketika seseorang mau menaburkan benih tersebut dan merawatnya. Tetapi, tak perlu sombong. Sebab Allahlah yang memberi pertumbuhan. Bagian kita memang menanam dan menyiram, Allahlah yang memberi pertumbuhan.

Benih itu memang kecil. Namun, ada potensi kehidupan dalam sebuah benih yang kecil. Kecil memang, tetapi hidup. Dan orang memang tidak menyangka bahwa sesuatu yang kecil itu akhirnya bisa menjadi tumbuhan besar. Yang dimaksudkan Yesus dengan biji sesawi bukanlah sawi, atau sayuran yang kita kenal di Indonesia. Tumbuhan sesawi merupakan tumbuhan keras yang besar.

Oleh karena itu, jangan pandang remeh yang kecil-kecil itu. Baiklah kita memandangnya menurut cara pandang Allah. Dan itulah nilai-nilai Kerajaan Allah.

Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media

Foto: Istimewa