Membuka Hati

”Lalu mereka mau menaikkan Dia ke dalam perahu, dan seketika itu juga perahu itu sampai ke pantai yang mereka tuju” (Yoh. 6:21). Demikianlah catatan penutup penulis Injil Yohanes berkait kisah Yesus berjalan di atas air. Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Lalu dengan senang hati mereka menerima Dia ke dalam perahu, dan saat itu juga perahu mereka itu sampai di tempat tujuan.” Suasana berubah drastis ketika para murid itu dengan senang hati menerima Yesus ke dalam perahu mereka. Dan pertanyaannya adalah mengapa?
Besar kemungkinan mereka memercayai perkataan Sang Guru: ”Ini Aku, jangan takut!” Sesungguhnya mereka merasa takut. Ketakutan pertama adalah situasi danau yang bergelora karena tiupan angin kencang, yang membuat mereka dalam keadaan hidup atau mati. Ketakutan kedua adalah mereka mengira sosok yang berjalan di atas air adalah hantu. Dan pada situasi itu mereka mendengar Yesus berkata, ”Ini Aku, jangan takut!” Karena percaya dengan rela mereka mengizinkan Yesus masuk dan hadir dalam perahu mereka.
Akhir kisah ini sungguh amat berbeda dengan catatan penutup dalam kisah pemberian makan 5.000 orang. Penulis mencatat: ”Karena Yesus tahu bahwa mereka hendak datang dan hendak membawa Dia dengan paksa untuk menjadikan Dia raja, Ia menyingkir lagi ke gunung, seorang diri” (Yoh. 6:15). Kalau dalam kisah Yesus berjalan di atas air Sang Guru mendekati mereka; dalam kisah pemberian makan 5.000 orang, Yesus malah menjauh. Sebab ia tahu mereka akan memaksa Dia menjadi raja mereka. Itu berarti mereka menempatkan diri pada posisi lebih tinggi dari Sang Guru. Dan karena itu, Yesus menjauhi mereka.
Sebenarnya itu jugalah posisi yang dipilih Daud ketika merampas istri orang. Ia merasa lebih tinggi dari Allah dan bebas melakukan apa saja. Mungkin Daud merasa diri sebagai raja yang boleh melakukan apa saja. Memang itulah yang terjadi. Ia meminta Betsyeba menemuinya dan bersetubuh dengan dia, menipu Uria agar mau pulang untuk bersetubuh dengan Batsyeba untuk menutupi perselingkuhannya, dan akhirnya meminta Yoab bersekongkol dengannya untuk membunuh Uria.
Pada saat itu juga Daud telah bertindak seperti orang bebal di dalam mazmurnya: ”Orang bebal berkata dalam hatinya, ’Tidak ada Allah.’ Busuk dan jijik perbuatan mereka, tidak ada yang berbuat baik.” Entah mengapa orang bebal beranggapan seperti itu. Mungkin karena mereka ingin hidup serbabebas. Pengakuan akan Allah Pencipta, yang kemudian dipercaya sebagai Tuhan, meniscayakan manusia tunduk kepada-Nya. Namun, ya di sini soalnya, mereka ingin mengatur dirinya sendiri. Dan ketika kehidupan mereka aman-nyaman saja, anggapan itu akhirnya menjadi sebuah kepercayaan.
Kemungkinan kedua, bisa jadi awalnya mereka memercayai Allah, tetapi kepercayaan itu agaknya tak berbanding lurus dengan kesejahteraan hidup. Lalu, di manakah Allah? Buat apa percaya kepada Allah jika hidup malah makin susah. Sehingga mereka mengolok-olok orang masih yang tekun percaya. Bisa jadi dalam hatinya mereka mengakui bahwa Allah ada, tetapi mereka merasa Allah tak lagi peduli. Kalau Allah tidak peduli, mengapa pula mereka harus memedulikan-Nya?
Bagaimana dengan kita? Bisa jadi kita berada pada posisi yang kedua. Ya, masihkah kita memercayai Allah? Mungkin kita pun jadi ikut-ikutan berpikir—bisa jadi karena bingung dan frustasi menyaksikan Allah ada, namun tak lagi peduli.
Jika demikian halnya, mari kita perhatikan puisi Uskup Camara: ”Tuhan ada di sana. Ia menyertai kita. Baik di kala suka, apalagi di kala duka.” Apa pun keberadaan kita sekarang ini, apa pun yang kita rasakan, percayalah bahwa Allah ada. Nama-Nya pun masih Imanuel—Allah menyertai kita.
Jika kita percaya bahwa Allah ada dan masih setia menemani kita, kita dipanggil untuk memuliakan Dia dan hanya Dia (Ef. 4). Itu jugalah yang membedakan murid Kristus dari yang lainnya.
Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media
Foto: Istimewa